Share

5

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

*

            Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut.

            Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memejamkan mata demi meresapi pijatan dari hujan air hangat yang mampu mengendurkan tegang pada otot pundak. Nikmat sekali rasanya. Setidaknya rasa penat dan muntab yang tersimpan dalam hati, perlahan dapat terhapus.

            Usai mandi, aku membangunkan Mas Yazid. Lelaki itu bakal marah jika dirinya kesiangan. Meski agak susah, akhirnya Mas Yazid mau juga terbangun dan bergegas mandi. Selama lelaki itu membersihkan diri dari hadas besar, maka aku menyiapkan pakaian dan sarung untuknya salat.

            Setelah itu, kami salat berjamaah di mushala yang berada di tengah rumah. Merdu sekali suara lantunan ayat suci yang dikumandangkan Mas Yazid. Selalu saja aku terkagum dengan kemampuannyan mentartilkan Alquran. Sampai tak sadar air mataku meleleh kala Mas Yazid membacakan surat Annisa ayat tiga yang kira-kira artinya begini:

            “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

            Tertegun aku mendengarkan bacaan tersebut hingga selesai. Air mata ini jatuh membasahi pipi hingga mukena. Entah ada unsur kesengajaan atau hanya kebetulan semata. Seakan ayat ini sangat pas bagi keadaan rumah tangga kami saat ini. Seketika aku tersadar, bahwa Mas Yazid hanyalah manusia biasa. Dia bukan ulama apalagi nabi. Mana mungkin dia dapat berlaku adil jika memang poligami bakal terjadi di kemudian hari. Namun, lagi-lagi kehendak Abi dan Ummi tak bakal bisa dihentikan oleh siapa pun kecuali Yang Punya Hidup.

            Dalam rukuk dan sujud terakhir, aku berdoa pada Tuhan agar Dia mau menyelamatkan hati dan jiwa ini. Aku hanya minta dikuatkan bahu untuk memanggul setiap beban berat yang pasti akan muncul pada hari-hari ke depan. Kusebut nama Mas Yazid berkali-kali, minta dijaga hatinya agar dia hanya dapat mencintai diriku seorang. Sungguh, hati ini belum ikhlas untuk berbagi.

            Setelah salam, langsung tanganku meraih tangan Mas Yazid untuk kucium dengan takzim. Lelaki itu seperti biasa mengusap kepalaku berkali-kali dengan lembut. “Mira, maaf ya, jika akhir-akhir ini kata-kataku sering menyakitimu.”

            Terdiam membeku aku mendengarnya. Mas Yazid benar-benar labil, pikirku. Sebentar dia ketus dan emosional, sebentar lagi ucapannya waras serta mampu menggugah hati. Sebenarnya, apa yang dirasakan lelaki ini? Tertekankah dia? Atau bagaimana? Lantas, sebagai istri, apa yang harus kulakukan? Ya Tuhan, kondisi seperti ini membuatku bingung sekaligus resah bukan kepalang.

            “Keadaan ini benar-benar membuatku bingung campur pusing, Mir. Kamu bisa mengerti posisiku, kan?” Mas Yazid yang berkopiah rajut warna putih itu menatapku dengan lembut. Tangannya tak henti menggenggam jemari ini.

            Aku mengangguk pelan. Berusaha kuat dan tabah atas segala cobaan yang bakal menerjang. Percuma memberontak untuk saat ini. Tak bakal ada hasil atau guna.

            “Baiklah, Mir. Semoga hari ini kita bisa sama-sama melewatinya. Kamu harus kuat, ya. Supaya aku juga semangat.” Mas Yazid melayangkan kecupan di keningku. Hangat sekali. Namun, jujur ada rasa nyeri yang menghunjam dada. Sungguh tak dapat dipungkiri jika sedikt banyak aku tetap meras kecewa.

            Pagi itu, kusiapkan pakaian terbaik untuk dikenakan Mas Yazid. Sepotong kemeja batik lengan panjang corak burung cendrawasih dengan warna ekor yang cerah. Tak lupa celana bahan yang telah kusetrika licin juga telah siap untuk dipakai Mas Yazid untuk pertemuan ‘spesial’ di rumah Abi-Ummi.

            Aku juga menyiapkan gaun warna magenta dan khimar warna soft pink. Semua baju-baju tersebut kulipat serapi mungkin dan memasukkannya ke dalam paper bag untuk kemudian dibawa ke rumah depan. Setelah nanti selesai masak, maka pakaian ini akan kami kenakan untuk menyambut kehadiran Dinda sekeluarga.

            Kami berdua berjalan sembari bergandengan tangan untuk meyambangi rumah depan. Suasana pagi ini begitu syahdu. Burung berkicau ramah dengan sinar mentari yang mulai menyingsing dari ufuk timur. Semilir angin pagi yang sejuk berembus menerpa wajah. Namun, hati ini begitu pilu meski pagi menyambutku dengan begitu gempita. Hampa benar perasaan ini. Kecamuk memenuhi dada hingga begitu sesak kala menarik napas. Ah, bisakah aku bertahan dalam keadaan yang serba sulit ini?

            Bi Tin membukakan pintu dengan senyuman ramahnya. Dia tak lupa menyapa dan mengucapkan selamat pagi pada kami berdua. Aku bisa menangkap sinar prihatin dari matanya kala kami saling bersitatap. Paham jika perempuan paruh baya yang selalu memperlakukanku dengan hangat itu sedang merasa tak baik-baik saja pagi ini. Kami seakan satu hati dan saling mengerti bahwa keadaan yang akan terjadi pada beberapa jam ke depan sungguh tak diinginkan.

            “Bi, mari kita masak. Bahan makanannya sudah diantar oleh tukang sayur belum?” Aku menggandeng Bi Tin. Sementara Mas Yazid bersantai di ruang tengah untuk menyalakan televisi.

            “Sudah, Neng. Pas selesai azan Subuh, Pak Dahlan ngantarin sayur mayur dan lauk pauknya. Ummi yang pesan ke dia dari kemarin malam katanya.” Mata Bi Tin seolah menyiratkan kesedihan.

            “Baik, Bi. Bibi yang masak, Mira bikin marble cake, bolu mangkok, sama es buah, ya.” Aku berkata pada Bi Tin sembari membuka kabinet atas pada kitchen set, menurunkan segala perlengkapan untuk membuat kue.

            “Iya, Neng. Ummi masih di kamar. Perlu dipanggil nggak, Neng? Bibi takut salah masak. Nanti jadi ribut lagi.” Wajah Bi Tin menatap takut-takut.

            “Ini aku datang!” Suara Ummi lantas mengejutkan kami. Hampir saja sebungkus tepung yang berada di tanganku jatuh ke lantai.

            “Maaf, Ummi. Bibi kira Ummi masih di kamar.” Bi Tin tertunduk lesu. Perempuan paruh baya itu selalu saja takut apabila Ummi marah meski pembantu setia itu telah bekerja selama berpuluh tahun. Bi Tin pernah bilang, kalau bukan karena gaji yang sangat tinggi, sudah pasti dia hengkang dari dulu. Itu dikarenakan sikap Ummi yang angin-anginan. Kadang baik, kadang juga luar biasa sensitif.

            “Iya, nggak apa-apa.” Ummi menjawab ketus. Namun, tak berapa lama wajahnya kembali semringah. Senyumnya mengembang begitu manis.

            “Almira, mantu Ummi yang paling cantik, mau bikin apa?” Ummi mendekatiku. Perempuan yang mengenakan kaftan lengan ¾ warna hitam dengan aksen manik-manik warna gold di daa itu menegur ramah. Bahkan Ummi tak segan merangkulku.

            “Marble cake, Mi. Rencana mau bikin bolu mangkok dan es buah juga. Ummi punya ide lagi untuk menu lain?” Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengukir senyum di bibir, menyembunyikan rasa gamang yang menyelimuti hati.

            “Itu saja cukup, Mira. Pintar sekali kamu, Mir. Semua bisa. Cuma sayang, nggak bisa punya anak aja kekuranganmu. Coba kalau kamu bisa hamil. Nggak bakal ini terjadi.” Ummi tersenyum getir. Dia langsung membuang pandang ke arah lain.

            Walaupun terbesit rasa sakit yang mendalam, aku coba untuk tegar di hadapannya. “Mungkin ini sudah takdirnya, Mi. Siapa tahu, dosa-dosa Mira selama ini akan terhapus akibat sabar dan ikhlas saat Mas Yazid melakukan poligami.” Bohong jika aku sungguhan mengatakan hal tersebut dengan lapang dada. Tentu saja ucapan barusan hanya pantas-pantasan saja. Demi menyenangkan hati Ummi belaka. Namun, di balik itu semua, terpatri pilu yang tak bakal dapat dihapus dengan apa pun.

            “Syukurlah kalau kamu bisa menerima, Mir. Ummi dan Abi Cuma ingin punya cucu untuk meneruskan keturunan. Itu saja. Sebenarnya tak ada maksud sama sekali untuk menyakitimu apalagi Yazid. Mengerti, kan?” Selembut apa pun kata-kata Ummi, tetap saja aku sama sekali tak bakal merasa tenang. Bagiku ini adalah petaka.

            Aku hanya mengangguk hormat pada Ummi, kemudian tangan ini segera memecahkan telur dan memasukkan bahan lainnya untuk dikocok menggunakan mixer. Sepanjang waktu, aku hanya membayangkan betapa hancurnya hatiku untuk beberapa jam ke depan. Sosok Dinda yang hanya beberapa kali kutemui selama tujuh tahun menikah dengan Mas Yazid, samar-samar tergambar dalam benak.

Perempuan cantik dengan tubuh tinggi semampai dan gemar mengecat rambut dengan warna-warna terang tersebut terakhir kali berjumpa kami dua tahun yang lalu saat Idulfitri. Sikapnya lumayan cuek dan jarang tersenyum. Terkesan kurang ramah dan tidak banyak bicara. Saat itu dia masih bersuami dan putra mereka masih sangat kecil. Entah bagaimana sekarang wanita yang bekerja di sebuah perusahaan penyedia jasa asuransi tersebut. Apakah dia masih bersikap seperti dulu atau sudah berubah, aku pun tak tahu.

            Meski pikiran ini kalut, untung saja semua sajian kue buatanku dapat terhidang dengan cantik. Dua cetak marble cake dan dua puluh kap bolu mangkok kukus tersusun rapi di dalam wadah khusus kue yang terbuat dari keramik bertutup kaca tebal. Kutata semuanya di atas meja makan, berdampingan dengan es berisi aneka potongan buah yang terhidang dalam wadah kaca besar.

            Masakan Bi Tin dan Ummi pun telah matang semua. Ikan kakap acar, sop iga sapi, perkedel jagung, dan cumi asin balado kini turut memenuhi meja makan. Untung saja ukuran meja yang terbuat dari kayu jati kualitas wahid ini ukurannya lumayan luas dan panjang. Makanan sebanyak apa pun masih bisa tertampung di atasnya.

            “Mira, kamu mandi lagi. Pakai baju yang bagus dan dandan yang cantik. Yazid disiapkan juga. Pakai kamar kalian di sini saja. Jangan pulang ke rumah depan.” Ummi memberi titah yang tak boleh dibantah. Aku pun hanya dapat menurut dan bergegas mendatangi Mas Yazid yang sedari tadi berbaring santai di ruang televisi bersama Abi.

            “Mas, Ummi bilang kita harus siap-siap sekarang,” kataku pada sang suami yang terlihat asyik menyaksikan serial western kesukaannya. Lelaki itu kemudian bangkit dan menggandeng tanganku.

            “Nikmatilah masa-masa kalian berdua karena sebentar lagi bakal ada orang ketiga.” Abi terkekeh geli. Itu sama sekali tidak lucu bagiku. Hanya menambah sayatan luka dalam hati yang kian menganga.

            Mas Yazid menoleh ke arahku dengan wajah yang pias. Dia memberikan kode agar kami segera pergi dan tak usah meladeni kata-kata Abi barusan. Aku menurut dan berjalan sembari terus menggandeng Mas Yazid, menuju kamar yang biasa kami gunakan kala menginap di rumah besar bergaya klasik ala Eropa yang catnya serba putih ini.

            Saat berdua di kamar, kami berdua segera mengganti pakaian dengan baju yang kubawa dari rumah. Kubantu Mas Yazid untuk mengancing bajunya. Lelaki ini begitu gagah saat mengenakan batik yang kupilih. Pas sekali di badannya yang proporsional.

Mas Yazid menyisir rambut ikalnya dengan gaya belah tengah. Sudah setengah tahun dia tidak pangkas sehingga rambutnya telah lumayan panjang, hampir menyentuh pundak. Tampan sekali dia, apalagi saat tersenyum. Aduhai, senanglah dirimu Dinda. Mendapat suami orang yang begini rupawan dengan harta melimpah. Luar biasa. Apalah dayaku yang perempuan mandul tak beranak ini. Syukur-syukur tak ditendang ke tong sampah.

Tak lupa kusemprotkan parfum beraroma campuran orange, ginger, dan kelopak bunga peony ke leher dan pakaian Mas Yazid. Harum betul suamiku. Membuat siapa saja pasti terkesima jika berada di dekatnya. Yakin, Dinda pasti langsung luluh dalam sekali tekuk. Tak ada lagi kesan geli saat sadar bahwa mereka ini bersepupu dan pernah akrab saat kecil dulu.

“Mira, kamu sungguh kuat. Apakah di hatimu sedang tersenyum juga?” Mas Yazid melingkarkan tangannya saat aku hendak memakai gamis.

“Entahlah, Mas,” jawabku dengan setengah hati sembari menepis pelan tangannya. Kukenakan gamis tersebut, lalu Mas Yazid membantu menarik ke atas ritsleting yang berada di punggung. Dia berdiri di belakangku, sembari kembali memeluk dan menatap ke arah cermin besar yang tertempel pada lemari jati.

“Wajahmu cantik, Mir. Dari dulu aku selalu sayang padamu. Makanya, saat lulus kuliah aku langsung melamar dirimu untuk menjadikan seorang istri. Ternyata, takdir itu pahit ya, Mir.” Ucapan Mas Yazid kali ini membuatku sedikit merasa tersentuh. Teringat akan masa lalu yang indah.

“Sudahlah, Mas. Ini adalah keputusan kita bersama.” Ketegaran kini adalah sahabat karibku. Kami sangat dekat dan hanya dia yang saat ini kubutuhkan. Tanpa rasa tegar, mungkin aku hanya butiran partikel debu yang enyah saat angin meniupnya.

Tanpa membuang banyak waktu, aku segera mengenakan make up. Tak perlu tebal, yang penting terlihat fresh. Mas Yazid ikut membantuku untuk mengikat rambut lurus sebahu ini. Tumben sekali dia berlaku seperti ini. Bahkan, khimarku pun dia bantu untuk memasangkannya. Mas Yazid, tingkahmu semakin membuatku terpuruk dan takut kehilangan. Harusnya kau tampar saja pipi ini agar pelan-pelan aku bisa membencimu.

“Kamu cantik, Mir.” Mas Yazdi mengusap kepalaku yang kini telah terbungkus khimar.

“Namun sayang, mandul. Begitu kan, Mas?” Bergetar bibir ini berucap. Terasa hangat sekali mataku, seolah akan runtuh bulir air mata dari pelupuk.

Mas Yazid terdiam beku. Matanya mengawang. Tiba-tiba bibirnya mencebik. Oh, Allah. Priaku ternyata meneteskan air mata. Guguannya semakin terisak hingga seorang Mas Yazid yang kupikir telah abai dan tak peduli itu sesegukan.

“M-maaf, Mir ....” Pelukan Mas Yazid begitu erat. Mas, mengapa kamu harus menampilkan sikap seperti ini di kala waktu sudah semakin dekat? Ini membuatku hancur tak keruan, Sayang. Rasanya aku ingin kita berdua mati saja agar cinta ini tetap abadi tak ternoda. Andaikan bisa semua kita atur, Mas ....

(Bersambung)

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Padahal bs bikin kue itu bs jd usaha tinggal modal duit aj. Padahal bs minjem ke bank dsr bodoh. Haji hajjah tp sikap kayak gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status