“Git … hape,” ceracau Mas Haris yang masih setengah sadar sembari tangan kirinya menggapai-gapai nakas.
Kulepaskan pelukan dari tubuh Mas Haris. Tanganku yang gemetar merogoh bawah bantal dan meraih ponsel yang kusembunyikan tadi. Secepat mungkin aku membuka ponsel Mas Haris dengan kode tanggal ulang tahun adik kesayangannya tersebut, kemudian mengeluarkan penelusuran galeri. Segera kuberikan ponsel tersebut ke tangan Mas Haris yang masih menggapai nakas, sementara matanya masih tertutup rapat tersebut. Butuh usaha keras untuk menjulurkan badan dan tangan demi melewati tubuh besar Mas Haris, sekaligus tanpa menyentuhnya saat aku meletekkan ponsel tersebut kembali ke asalnya.
“Itu hapemu di atas meja, Mas,” kataku dengan suara yang diparau-paraukan.
&nbs
“F-fo-to, Mas ….” Tangan Mas Haris melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar. Lelaki itu bangkit dan kembali duduk di sofa dengan bunyi napas yang memburu. Aku benar-benar sangat syok dan takut luar biasa. Duduk aku di sampingnya. Menangis sembari menutup wajah dengan kedua belah tangan. “Kamu terlalu lancang, Gita! Apa yang kamu takutkan?” Suara Mas Haris sangat dingin dan ketus. Hatiku mencelos demi mendengarnya. Ketahuan sudah kelakuanku tadi malam. Padahal aku telah sangat berhati-hati. Namun, kok dia bisa tahu kalau tadi malam membuka ponselnya? Dia kan terpejam dan mendengkur. Apa hanya pura-pura tidur dan sengaja membiarkanku sejenak melihat isi ponsel? “Maumu apa sekarang?” Tubuh Mas Haris meringsek dekat dengank
Sebelum beranjak ke dapur, aku masuk kamar terlebih dahulu. Menukar kimono tidur dengan sebuah kaus berwarna kuning dan celana joger warna abu-abu. Hanya sikat gigi dan cuci muka saja. Tak perlu mandi sebab aku akan bergumul dengan asap dan aroma bumbu masakan yang pastinya bakal lengket di rambut maupun tubuh. Ke luar kamar, aku buru-buru ke dapur tanpa melongok ke ruang tengah yang sebenarnya berada di seberang kamar kami tetapi disekat dengan tembok dan diberi celah tanpa daun pintu. Malas aku mengecek sedang apa Mas Haris di sana. Muak juga aku mencari tahu di mana keberadaan si Fitri yang tak terdengar sekadar embusan napasnya. Padahal anak itu kalau ada di rumah suara dia saja yang terdengar. Sampai di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengecek segala bahan makanan yang kubeli minggu lalu. Stok masih sangat berlimpah. Aku haru
“Mbak Gita kenapa?” “Kamu kenapa sih, Git!” Sebuah sentuhan di pundak membuatku membuka mata. Aku sontak kaget melihat sosok Fitri yang duduk sembari memeluk guling dengan selimut yang masih menutupi paha ke bawahnya. Kutoleh lagi sumber sentuhan tadi. Ada Mas Haris yang berdiri di belakangku. Jadi … tadi yang kulihat itu apa? Aku benar-benar syok dan speechless saat menyadari bahwa bayanganku tak seperti fakta yang tersuguh. Tadinya perasaanku telah hancur berkeping-keping dan siap untuk lari sejauh mungkin dari rumah. Namun, nyatanya aku salah besar. Tak ada sosok Mas Haris di dalam selimut itu. Ternyata hanya ada Fitri yang tengah memeluk guling sembari tertawa-tawa di bawah lindungan selimut tebalnya.“Kamu k
Aku betul-betul BAB dengan sangat lancar dan cenderung diare usai minum jus apel tersebut. Perutku langsung sakit, padahal minuman berpencahar itu baru kuteguk beberapa detik. Kacau! Semua jadi kacau akibat kebodohan dan kekurangtelitianku. Aku menyesal mengapa aku seceroboh dan set*lol ini. Sekarang aku menyadari, bahwa di rumah ini benar-benar tak aman. Aku tak bisa leluasa mengerjai mereka, sebab kedua beradik itu bagai cenayang yang tahu segalanya. Sekitar sepuluh menit aku di dalam toilet. Rasanya isi perutku terkuras. Aku yakin ini juga dikarenakan mentalku yang down duluan sewaktu di meja makan tadi. Huhft, bakal seperti apa lagi reaksi keduanya setelah aku keluar dari kamar mandi. Apakah Fitri akan mengejekku habis-habisan setelah ini? Entah. Ragu-ragu, aku melangkahkan kaki keluar dari bilik kakus menuju ruang makan. Ternyata Ma
“Pa, Papa! Tolong bukakan aku pintu. Aku mohon, Pa!” Kedua tanganku menggedor-gedor pintu dengan kencang. Aku tak peduli lagi dengan ribut suara yang ditimbulkan. Hari ini aku hanya ingin mendengarkan cerita dan penjelasan. Itu saja. Sebab kesempatan yang kumiliki untuk datang ke sini sendirian tidaklah banyak. “Aku hanya ingin tahu tentang Mas Haris dan Fitri. Itu saja. Aku mohon, bukakan pintu untukku. Setelah itu aku akan pergi!” Aku tak ingin berputus asa. Terus kuketuk daun pintu lebar yang terbuat dari kayu tebal berpelitur tersebut. Memang, tak ada jawaban. Sunyi senyap. Namun, bukan berarti aku harus menyerah sampai di sini saja. “Papa, aku mohon, Pa.” Tanganku bahkan sampai ngilu. Kutekan-tekan bel yang tertempel di dinding secara berulang-ulang. Bahkan dari sini aku mampu mendengarkan suarany
“Gita, lho, kok ke rumah Papa nggak bilang-bilang?” Mas Haris bertanya dengan wajah yang mengumbar senyum. Dia semakin mengeratkan rangkulan tangannya ke tubuh mungil sang adik yang kini menatapku dengan wajah tak bersahabat. Aku langsung berdiri dengan tungkai yang gemetar. Bingung harus menunjukkan ekspresi apa. Bagaimana bisa dia menyusul ke sini? Apakah … di mobilku dipasanginya GPS? Bulu kuduk ini semakin meremang. “I-iya,” jawabku dengan terbata dan keringat dingin yang tiba-tiba membasahi telapak. Mereka berdua semakin dekat denganku. Saat Mas Haris tiba di sampingku dan melepaskan Fitri dari rangkulan, aku benar-benar takut luar biasa. Ya Tuhan, apa yang akan d
Papa membawaku ke kamarnya yang berada di dekat ruang keluarga. Dia membukakan pintu dan memapahku hingga ke tepian ranjangnya yang besar bersprei warna marun tersebut. Aku terkesiap saat lelaki itu menyuruhku untuk beristirahat sejenak di dalam kamarnya yang luas. “Silakan kamu istirahat. Luka di wajahmu banyak. Lehermu juga tampak memar. Aku ambilkan obat dulu di belakang. Kamu tunggu di sini.” Sosok Papa terlihat lebih tenang ketimbang waktu aku datang barusan. Tak ada lagi mimik muntab dan nada yang kasar. Entah mengapa aku langsung merasa nyaman dan tak takut sama sekali untuk rebah di atas kasurnya. Papa lalu keluar dari kamar dan menutup kembali daun pintu. Saat itulah mataku menyapu ke seluruh bagian kamar yang ukurannya bahkan lebih besar dari kamar kami di rumah milik Mas Haris. Kamar ini dilengkapi dengan lemari pa
Bagian 15 “A-aku … akan segera menceraikannya, Pa,” kataku dengan agak terbata. Kutatap Papa. Mencari penguatan di bola matanya. Lelaki itu mengangguk mantap. Wajahnya kini lebih tenang. Tak ada gejolak amarah di sana. “Bagus. Hidupmu masih panjang. Apa yang kau takutkan?” “Sebenarnya … aku malu jika harus menjanda secepat ini. Apalagi usiaku sudah 35 tahun.” Jujur saja kukatakan padanya tentang keresahan hati ini. Aku sama sekali tak malu untuk berbagi kegundahan kepada Papa. Sebab, bagiku beliau pun sudah mau jujur dan tak keberatan untuk menceritakan luka masa lalunya. “Lantas, mengapa kalau sudah 35 tahun? Kau takut cibiran orang?&rd