"Kenyamanan itu soal rasa, Ran. Bukan masalah visual saja, tapi letaknya di sini. Dan itu yang saya dapatkan dalam diri kamu." Mas Riko menunjuk dada bidangnya.
Tatapanku mengabur, ada yang setengah mati ingin keluar. Namun mampu kutahan, jangan sampai terjatuh.
Sebelum ini, ada beberapa pria yang sengaja dijodohkan denganku. Melalui kawan, juga saudara yang mencoba berikhtiar mencarikan pasangan. Qadar Allah, satu per satu mundur tanpa ingin mengenal pribadiku lebih jauh.
Jujur, kurang percaya diri sempat menghinggap dalam hati. Sekian lama berpasrah dan berserah pada Yang Maha Pemberi jodoh. Bahkan, sudah tak terlalu peduli saat orang-orang terdekat belum berputus asa mengenalkan sosok pria dengan latar belakang berbeda-beda.
Ya, aku selalu merasa rendah diri. Penolakan bagi seorang wanita pastilah menyakitkan. Aku trauma.
Lalu sekarang? Dengan sendirinya sesosok pria tampan dan mapan hadir dalam penantian panjang. Menawarkan kesungguhan hati.
Benarkah ini jawaban dari-Nya?
"Jika Mas memang sudah yakin, in syaa Allah aku siap?" Mudah-mudahan ini memang jalanku.
Selarik senyum di sudut bibir Mas Riko menguraikan ketegangan yang sempat ada. Perlahan kendaraan roda empat silver berhenti di salah satu rumah. Sang pengemudi turun terlebih dulu. Dengan hati-hati, aku menyandarkan kepala Yesha pada sandaran jok lantas menutup pintu mobil.
"Belajarlah untuk tidak peduli dengan kata orang, Ran. Kita yang menjalani, bukan mereka."
"Iya, Mas."
"Salam buat Bapak dan Ibuk, hari ini saya tidak mampir. Kasihan Yesha, sepertinya kelelahan." Mas Riko menjulurkan tangan, mengelus rambut putri semata wayangnya yang masih terlelap memeluk boneka di jok depan.
"Iya, Mas. Pasti kusampaikan."
"Saya pulang dulu, Ran."
"Hati-hati, Mas!"
Tumben sekeliling sepi, sepeninggal Mas Riko tak tertangkap beberapa kepala yang sengaja melongok dari jendela rumah para biang gosip. Mungkin sedang tidur siang.
Hanya Wanda saja yang tersenyum masam setelah bertabrakan mata denganku. Itu pun karena kebetulan dia melintas di depan rumah. Kami berteman sejak kecil, pernah dekat malah. Namun, sekarang seperti orang asing meski rumah kami bersebelahan. Aku tidak tahu kapan semua itu bermula. Kentara sekali dia ingin menjaga jarak denganku.
Lepas SMA, Wanda tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Langsung bekerja sebagai SPG di salah satu pusat perbelanjaan.
Wanda sempurna secara fisik, banyak lelaki yang memperebutkan posisi sebagai pacar. Bahkan tiap hari ada saja yang bergantian bersambang ke rumah.
Kerap kali sindiran demi sindiran lewat di telinga. Dibanding-bandingkan sudah menjadi hal biasa.
"Wanda pintar, ya, cari pacar."
"Iya, sudah ganteng anak orang kaya lagi."
"Kasihan tetangga sebelah, belum laku-laku juga. Padahal umurnya sudah lewat 25 tahun."
Cukupkah kehadiran Mas Riko membungkam kenyinyiran itu? Ternyata tidak. Malah bermunculan spekulasi negatif lainnya yang tak kalah membuat telinga panas.
"Ranty!"
Aku membuka besi pengait pagar, tetapi langkah ini tertahan oleh penggilan wanita berdaster ungu polos dari arah kiri. Aku memanggilnya Budhe Wati, beliau adalah ibu kandung Wanda.
"Ya, Budhe."
"Budhe cuma mau tanya." Wanita berambut ikal itu menoleh kanan kiri dan berbicara setengah berbisik.
"Tanya apa Budhe?"
"Kamu pasang susuk kecantikan di mana?"
"Maksud Budhe apa?"
Budhe Wati merapatkan jari telunjuk di bibirnya. Wajar intonasiku meninggi, tiba-tiba ditanya perihal susuk kecantikan.
"Budhe janji akan merahasiakan hal ini, asal kamu memberitahu di mana rumah dukun yang kamu datangi."
"Sumpah! Saya enggak ngerti apa maksud Budhe."
"Lha itu buktinya kamu bisa menggaet duda tampan, manajer pabrik lagi." Nada bicara Budhe Wati memang sangat berhati-hati, tapi sakitnya sampai ke ulu hati.
"Astaghfirullah hal adzim. Tega sekali Budhe berbicara seperti itu." Kelopak mataku tak mampu menampung genangan cair. Berjatuhan tanpa henti.
Setengah berlari kutinggalkan wanita bermulut tajam Itu di luar pagar.
"Ranty! Diajak ngobrol sama orang tua malah pergi. Gak sopan kamu!"
Aku tak memedulikan teriakan itu, batinku terlanjur sakit. Cobaan apa lagi ini?
Next
"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant
Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua
"Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka
POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah
"Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la