"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Masa iya calon istrinya burik gitu." "Iya, selera Pak Riko anjlok banget." "Menukik tajam dibandingkan mantan istrinya dulu." "Hihihi." Bisik-bisik terdengar dari gerombolan wanita berseragam hitam biru di deretan kursi belakangku. Sepelan apa pun kasak kusuk itu tetap saja tertangkap telinga. Paling sakit hati kalau mereka kompak cekikikan. Persis perkumpulan tetangga julid yang sering nongkrong di warung Ceu Entin sebelah rumah. "Mas, aku malu," bisikku pada duda tampan di sebelah. "Malu kenapa, Ran?" Yassalam, teduhnya tatapan mata itu. Adem ayem tanpa beban, berbeda dengan wanita yang sedari tadi menjadi sorotan publik. "Insecure aja." "Sudahlah, cuek aja. Sebentar lagi acaranya mulai." Cuek? Itu gampang buatmu, Mas. Namun, tekanan batin untukku. Pria itu berperawakan ideal dengan tinggi 179 cm. Berambut cepak, berahang kokoh, plus hidung mancung. Berkulit sawo matang serta memiliki senyuman khas. Manis. Benar-benar Ji Chang Wook dengan cita rasa kearifan lokal. Kurang
"Ran, kok dari tadi diam saja? Lagi mikirin apa?" tanya Mas Riko. Sekarang tengah fokus menyetir mobil dalam perjalanan pulang. "Enggak papa, Mas." Aku mengecup pucuk kepala Yesha yang terlelap di pangkuan. Sekaligus menyembunyikan kecamuk dalam otak ini. Sepanjang acara gathering, aku tak benar-benar menikmati hiburan yang tersuguh. Padahal rencana awal ingin berfoto dengan personil band pengisi acara. Mas Riko sudah bersedia mengantar ke back stage. Namun, antusiasku ambyar terbawa kasak kusuk yang menyesakkan dada. Lebih-lebih saat aku diperkenalkan sebagai calon istri di depan rekan-rekan kerja Mas Riko. Ekspresi mereka beragam, ada yang biasa saja, ada yang sok-sokan terkejut, ada juga yang pura-pura antusias di depan tapi pada ketawa ketiwi di belakang. Rata-rata dari kaum sesama hawa. "Mas ...." "Ya." "Mas Riko benar-benar yakin ingin menikah denganku?" Tidak bisa. Ini perkara serius, aku harus mempertimbangkan matang-matang. "Kalau ditulis dalam catatan, mungkin ini ada
"Kenyamanan itu soal rasa, Ran. Bukan masalah visual saja, tapi letaknya di sini. Dan itu yang saya dapatkan dalam diri kamu." Mas Riko menunjuk dada bidangnya. Tatapanku mengabur, ada yang setengah mati ingin keluar. Namun mampu kutahan, jangan sampai terjatuh. Sebelum ini, ada beberapa pria yang sengaja dijodohkan denganku. Melalui kawan, juga saudara yang mencoba berikhtiar mencarikan pasangan. Qadar Allah, satu per satu mundur tanpa ingin mengenal pribadiku lebih jauh. Jujur, kurang percaya diri sempat menghinggap dalam hati. Sekian lama berpasrah dan berserah pada Yang Maha Pemberi jodoh. Bahkan, sudah tak terlalu peduli saat orang-orang terdekat belum berputus asa mengenalkan sosok pria dengan latar belakang berbeda-beda. Ya, aku selalu merasa rendah diri. Penolakan bagi seorang wanita pastilah menyakitkan. Aku trauma. Lalu sekarang? Dengan sendirinya sesosok pria tampan dan mapan hadir dalam penantian panjang. Menawarkan kesungguhan hati. Benarkah ini jawaban dari-Nya? "
"Nduk, ada apa? Kok, nangis." Aku berjalan lurus ke kamar usai mengucap salam. Namun, Ibu terlanjur tahu saat tangan ini mengusap pipi beberapa kali. "Enggak papa, Buk."Ini bukan jawaban memuaskan untuk Ibu. Anak sulungnya menangis mustahil tanpa sebab. "Mbak Ranty kenapa, Buk?" Mira merapat di depan pintu kamar yang kubiarkan terbuka. Ibu hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan anak bungsunya. Dua wanita beda usia itu akhirnya mendekat. Duduk mengapitku di bibir ranjang. Mira merangkul dan meletakkan kepala di pundakku. "Cerita, Mbak," ucap Mira pelan. Pada siapa lagi aku berbagi cerita selain pada dua orang yang sepenuhnya bisa kupercayai. "Mbak sudah terbiasa digunjingkan sana sini, Mir. Tapi kali ini sangat menyakitkan hati. Budhe Wati menganggap bahwa Mbak menggunakan jasa dukun untuk menggaet Mas Riko." "Astaghfirullah hal adzim!" Ibu dan adikku kompak mengelus dada. "Yang sabar, ya, Mbak. Mira yakin, sebenernya Budhe Wati itu cuma iri. Mbak Wanda memang cantik, tapi
"Bunda!" Yesha melepas pegangan tangan sang ayah, lantas menghamburku. "Hallo, Sayang!" Aku mengelus pemilik rambut hitam berkilau berhias pita rambut merah muda. "Assalamualaikum, Ran!" sapa Mas Riko. Ah, lelaki itu. Selalu tampil rapi di berbagai kesempatan. Kali ini mengenakan kemeja batik dengan bawahan celana kain hitam. Rambut beraroma pomade tersisir rapi ke atas. Tidak ada sentuhan tangan wanita saja sudah pandai mengurus diri sendiri. Yakin, aku nanti bisa berguna? "Wa'alaikum salam. Silakan masuk, Mas!" Pemilik jenggot tipis itu benar-benar membuktikan ucapannya tempo hari. Tentang rencana tanggal pernikahan yang akan dimajukan bulan depan. Mas Riko mengikuti langkahku dan duduk di salah satu kursi ruang tamu. Aku meninggalkannya sejenak bersama Yesha, meneruskan langkah ke dalam memanggil Bapak dan Ibu yang juga menunggu. "Riko sudah datang, Nduk?" tanya Bapak yang langsung mematikan layar televisi. "Sudah, Pak." "Ayo, Buk!" Bapak memberi komando pada Ibu. "Mira e
"Hust! Kalian ini jangan su'udzon. Ada orang beli rujak wes mikir macem-macem." Ucapan lantang Budhe Yanti meredekan bisik-bisik yang ada. "Emang alasan pernikahan dipercepat itu kenapa, Ran?" Ketua tukang ghibah alias Budhe Wati bertanya dengan pandangan menyelidik. Lainnya juga melayangkan tatapan yang sama. "Ya, karena niat baik itu memang harus disegerakan. Bukan cuma diboncengin ngalor ngidul bertahun-tahun tapi enggak ada kepastian." Belum sempat aku menjawab, Budhe Yanti sudah menyiapkan jawaban menohok. "Kowe nyindir Wanda, yu?" Wajah Budhe Wati memerah, menahan malu. Sedang lawan berdebatnya hanya tersenyum sinis. Setidaknya, masih ada orang yang berpikiran positif tentangku di sini. Bahkan membelaku. "Permisi Budhe semua, monggo!"Menyelesaikan transaksi dengan Abang penjuala rujak, aku melipir dari perkumpulan tidak sehat itu. Tak mau tahu juga apa yang akan terjadi setelah ini. Akankah dua orang berusia sepantaran itu saling bermusuhan? Yang jelas, sekali-kali Budhe W
Mercedes-Benz C-Class hitam metalik berhenti tepat di depan rumah. Sedikit menghalangi motorku, hingga terpaksa kuparkirkan di belakang kendaraan mewah tersebut. Tak lama sang pengemudi keluar. Entah siapa, yang jelas jarang-jarang rumah Bapak didatangi orang yang kelihatan sangat berkelas seperti ini. "Maaf, saya mau tanya. Rumah Wanda di sebelah mana?" tanya pria botak dengan perut agak buncit tersebut. "Oh, di sebelah situ, Pak," jawabku sambil menunjuk rumah bercat hijau. "Oh, iya. Terima kasih." Lelaki dengan setelan jas abu-abu itu kembali ke mobil dan memarkirkannya tepat di depan rumah Wanda. Tak lama, pagar rumah itu berderit. Budhe Wati keluar dari sana, menyambut semringah sang tamu lantas mempersilakan masuk. "Hei, Ranty!" Budhe Wati melangkah cepat ke arahku, menghentikanku menuntun motor. "Ada apa Budhe?" "Ngobrol apa saja kamu tadi dengan tamu saya?" cecarnya tiba-tiba. "Orang tadi cuma tanya alamat rumah Budhe. Lalu Ranty kasih tahu. Itu saja." Rupanya Budhe Wa