"Ran, kok dari tadi diam saja? Lagi mikirin apa?" tanya Mas Riko. Sekarang tengah fokus menyetir mobil dalam perjalanan pulang.
"Enggak papa, Mas." Aku mengecup pucuk kepala Yesha yang terlelap di pangkuan. Sekaligus menyembunyikan kecamuk dalam otak ini.
Sepanjang acara gathering, aku tak benar-benar menikmati hiburan yang tersuguh. Padahal rencana awal ingin berfoto dengan personil band pengisi acara. Mas Riko sudah bersedia mengantar ke back stage. Namun, antusiasku ambyar terbawa kasak kusuk yang menyesakkan dada.
Lebih-lebih saat aku diperkenalkan sebagai calon istri di depan rekan-rekan kerja Mas Riko. Ekspresi mereka beragam, ada yang biasa saja, ada yang sok-sokan terkejut, ada juga yang pura-pura antusias di depan tapi pada ketawa ketiwi di belakang. Rata-rata dari kaum sesama hawa.
"Mas ...."
"Ya."
"Mas Riko benar-benar yakin ingin menikah denganku?" Tidak bisa. Ini perkara serius, aku harus mempertimbangkan matang-matang.
"Kalau ditulis dalam catatan, mungkin ini adalah pertanyaan ke-100 dengan kalimat yang sama. Kamu mau mendengar jawaban saya untuk ke-seratus kalinya juga, Ran?"
"Maaf, Mas."
Iya juga. Kalau Mas Riko berniat iseng, tidak mungkin dia membawa kedua orang tuanya resmi mempersuntingku di depan Bapak dan Ibu.
Bahkan aku sempat mengutarakan kegundahan hati ini pada ibunda Mas Riko. Sebelum terlanjur, mereka masih ada waktu. Barangkali tidak setuju putra tampannya menikahi wanita serba biasa-biasa saja sepertiku.
Ketakutan dan kekhawatiran ini malah berbalas senyuman sekaligus wejangan.
"Bagi kami, kecantikan hati itu jauh lebih penting, Nduk. Banyak wanita yang dikaruniai fisik sempurna, tapi selalu tidak puas dengan apa yang ada pada dirinya. Harus melakukan treatment ini itu untuk menunjang penampilan. Kalau penghasilan suami tidak memadai lantas dengan mudahnya memaki dan meninggalkan," terang wanita yang telah tampak garis keriput di keningnya.
Saat itu, aku tidak tahu apakah ada kaitannya dengan masa lalu Mas Riko. Namun, ungkapan itu sangat tulus.
Sebelum mengenal Mas Riko, aku lebih dulu mengenal nenek Yesha. Beliaulah yang mengurus sang cucu sedari bayi hingga masuk Playgroup.
Karena sang suami sakit-sakitan, terpaksa beliau pulang kampung. Lantas memasrahkan Yesha untuk dititipkan di sekolah selama Mas Riko bekerja.
Terkadang sang ayah menjemput pada jam istirahat siang. Namun, jika benar-benar sibuk, terpaksa harus menunggu sampai jam pulang kantor.
Pernah suatu kali menggunakan jasa pengasuh, tetapi karena kurang amanah Mas Riko mengalami trauma tersendiri. Takut terjadi sesuatu dengan sang putri. Sampailah saat ini, aku yang dipercaya untuk menjaga bocah malang yang sedari kecil haus kasih sayang sang ibu.
"Kamu lihat sendiri, Ran! Yesha begitu nyenyak dalam dekapan kamu. Bahkan saya belum tentu bisa melakukan itu." Mobil meluncur dengan kecepatan sedang. Gadis di pangkuan tak terusik dengan guncangan saat ban melewati jalanan yang sedikit berlubang.
Aku dikenal sebagai tenaga didik paling penyabar di kalangan teman seprofesi, juga wali murid yang mempercayakan anak-anak mereka di sekolah.
Teringat pertemuan pertamaku dengan Yesha tiga tahun lalu. Dituntun sang nenek, dia begitu antusias membaur dengan kawan-kawan baru.
Pernah suatu kali aku mendapati kemurungan di wajah polosnya. Di saat teman lain bercengkrama diantar jemput sang ibu. Bisa bermanja dan merengek meminta dibelikan mainan di depan gerbang sekolah. Dia hanya bisa terdiam dan memperhatikan. Mungkin juga mempertanyakan, di mana sosok sang bunda yang telah melahirkan?
Entah cerita apa yang Yesha dengar dari sang ayah juga keluarga lainnya tentang sang ibu. Kurasa dia masih terlalu kecil untuk berpikir secara nalar tentang permasalahan orang dewasa.
"Sini sama Bunda, Sayang." Aku merangkulnya, memeluknya, memberi kenyamanan yang mungkin selama ini tidak pernah dia dapatkan.
Dan benar, sejak saat itu Yesha mulai terbiasa denganku.
Baik Mas Riko hanya menjelaskan bahwa dia terpaksa bercerai dengan sang istri karena ketidakcocokan. Namun, aku butuh alasan lebih dari itu.
Ah, entahlah. Ke depan, yang kuhadapi akan jauh lebih berat lagi. Sanggupkah hati ini menghadapi cibiran dari berbagai sisi? Kuatkan mentalku ya Allah.
"Jadi hanya karena Yesha, Mas Riko terpaksa menikahiku?"
Mas Riko sampai harus menghentikan laju mobil saat kulontarkan pertanyaan itu. Mungkin terlampau kesal dengan keragu-raguan yang terus menerus kulayangkan padanya.
"Tidak ada yang memaksa untuk niat baik saya ini, Ran. Termasuk Yesha. Jangan menjungkalkan diri dalam kegamangan saat saya sudah memantapkan hati untuk menjadikan kamu sebagai istri saya."
Aku tahu, Mas. Namun, kamu belum tahu betapa maha dahsyatnya lidah netijen di luar sana.
Next
"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant
Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua
"Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka
POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah
"Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la