Share

Kok, Jadi Begini?

Penulis: Lyra Vega
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-29 11:39:12

 

"Nduk, ada apa? Kok, nangis." Aku berjalan lurus ke kamar usai mengucap salam. Namun, Ibu terlanjur tahu saat tangan ini mengusap pipi beberapa kali. 

 

"Enggak papa, Buk."

 

Ini bukan jawaban memuaskan untuk Ibu. Anak sulungnya menangis mustahil tanpa sebab. 

 

"Mbak Ranty kenapa, Buk?" Mira merapat di depan pintu kamar yang kubiarkan terbuka. Ibu hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan anak bungsunya. 

 

 

Dua wanita beda usia itu akhirnya mendekat. Duduk mengapitku di bibir ranjang. Mira merangkul dan meletakkan kepala di pundakku. 

 

"Cerita, Mbak," ucap Mira pelan. 

 

Pada siapa lagi aku berbagi cerita selain pada dua orang yang sepenuhnya bisa kupercayai. 

 

"Mbak sudah terbiasa digunjingkan sana sini, Mir. Tapi kali ini sangat menyakitkan hati. Budhe Wati menganggap bahwa Mbak menggunakan jasa dukun untuk menggaet Mas Riko." 

 

"Astaghfirullah hal adzim!" Ibu dan adikku kompak mengelus dada. 

 

"Yang sabar, ya, Mbak. Mira yakin, sebenernya Budhe Wati itu cuma iri. Mbak Wanda memang cantik, tapi dari sekian lelaki yang pernah jadi pacarnya belum ada yang serius ingin menikahinya. Boleh aja Budhe Wati bangga anaknya digaet banyak lelaki, bisa panas-panasin Mbak Ranty. Tapi sekarang kena batunya sendiri, mereka seperti cacing kepanasan lihat Mbak mau menikah dengan Mas Riko." 

 

Cerocosan Mira ini membuatku teringat akan sesuatu. Benar, Wanda mulai menjauh saat tersiar kabar bahwa aku akan menikah. Ini tidak mengherankan, misal hari ini satu orang mendengar berita, keesokan hari pasti sudah merembet kemana-mana. 

 

Inikah alasan Budhe Wati menanyakan perihal konyol tadi? Supaya anak cantiknya tidak merasa disaingi tentang calon pendamping hidup. 

 

"Kita tetap tidak boleh su'udzon, Nduk. Mending diabaikan saja. Ibu tahu, pasti kamu sangat marah dan sedih mendengarnya. Padahal, apa yang harus diirikan? Bukankah mudah bagi Wanda  untuk mencari lelaki seperti apa pun yang dia mau." Ibu menenangkanku dengan kalimat bijaknya. 

 

"Jelas iri lah, Bu. Di kompleks perumahan sini, siapa yang enggak kenal dengan Mas Riko. Perempuan single mana yang enggak  mau jadi istrinya. Untung aja, gadis pilihan Pak Manajer udah tepat." Mira menyikut lenganku, cekikikan.  

 

Perumahan ini sebagian besar memang dihuni karyawan pabrik karena berdekatan dengan kawasan industri. Banyak pula yang bekerja di pabrik yang sama dengan tempat Mas Riko bekerja. 

 

"Hust! Jangan godain mbakmu terus, kasihan lagi sedih." 

 

"Justru Mira kepingin menghibur Mbak Ranty, Buk. Biar bisa senyum lagi." 

 

"Sudah, ayo keluar! Biarkan mbakmu istirahat." Ibu menarik paksa lengan Mira yang masih belum puas menggodaku. 

 

Sudut bibir ini masih terangkat meski mereka telah menghilang di balik pintu yang tertutup. Bercengkrama dengan mereka adalah obat mujarab penyembuh sakit hati. 

 

Tubuhku merebah menatap langit-langit. Mengingat betapa hari ini telinga, mata, dan hati kembali di uji. Tidak di pabrik, tidak di rumah, sama-sama menggoreskan perih di kedalaman hati. 

 

Seolah gadis biasa menikahi lelaki tampan itu adalah sesuatu yang pantas untuk dipertanyakan. Lalu salahku di mana jika pada akhirnya jalan jodohku mengarah pada Mas Riko? 

 

Ponsel di atas bantal menjerit, buru-buru kuseka pipi yang membasah lagi saat tahu nama siapa yang tertera di layar. Panggilan video dari Mas Riko. 

 

"Assalamualaikum, Ran!" Lelaki itu menyapa. 

 

"Wa'alaikum salam, Mas." 

 

"Kok lama ngangkatnya, Ran." 

 

"Iya, Mas. Tadi aku pakai hijab dulu," kilahku. 

 

"Ooh." 

 

Semula Mas Riko tak menaruh curiga. Namun tak lama kemudian, pria berkaus oblong putih itu mengernyit. Seperti menangkap hal janggal dalam tampilan layar ponselnya. 

 

"Mata dan hidung kamu kenapa, Ran? Kok, merah gitu. Kamu habis nangis?" 

 

"E--enggak, kok, Mas. Tadi ngantuk banget, habis itu langsung cuci muka. Ngomong-ngomong, ada apa Mas Riko telepon?" Kalau sekadar chat sehari bisa beberapa kali. Namun, untuk menelepon atau panggilan video jarang sekali dia lakukan. Kecuali sangat penting atau saat aku sedang bersama Yesha. 

 

"Oh, lusa saya datang lagi ke rumah. Ingin memastikan sekali lagi tanggal pernikahan kita. Kalau bisa dimajukan bulan depan saja." 

 

"Loh, bukannya kemarin keluarga kita sudah deal tentang tanggal dan bulannya, Mas." 

 

"Memang benar, tapi setelah saya pikir-pikir mengulur waktu itu justru akan menambah keragu-raguan kamu tentang keseriusan saya." 

 

Kok, jadi begini? 

 

Next 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 30

    "Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 29

    "Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 28

    Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 27

    "Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 26

    POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah

  • Petaka Menikahi Duda Tampan   Bab 25

    "Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status