Share

Kok, Jadi Begini?

 

"Nduk, ada apa? Kok, nangis." Aku berjalan lurus ke kamar usai mengucap salam. Namun, Ibu terlanjur tahu saat tangan ini mengusap pipi beberapa kali. 

 

"Enggak papa, Buk."

 

Ini bukan jawaban memuaskan untuk Ibu. Anak sulungnya menangis mustahil tanpa sebab. 

 

"Mbak Ranty kenapa, Buk?" Mira merapat di depan pintu kamar yang kubiarkan terbuka. Ibu hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan anak bungsunya. 

 

 

Dua wanita beda usia itu akhirnya mendekat. Duduk mengapitku di bibir ranjang. Mira merangkul dan meletakkan kepala di pundakku. 

 

"Cerita, Mbak," ucap Mira pelan. 

 

Pada siapa lagi aku berbagi cerita selain pada dua orang yang sepenuhnya bisa kupercayai. 

 

"Mbak sudah terbiasa digunjingkan sana sini, Mir. Tapi kali ini sangat menyakitkan hati. Budhe Wati menganggap bahwa Mbak menggunakan jasa dukun untuk menggaet Mas Riko." 

 

"Astaghfirullah hal adzim!" Ibu dan adikku kompak mengelus dada. 

 

"Yang sabar, ya, Mbak. Mira yakin, sebenernya Budhe Wati itu cuma iri. Mbak Wanda memang cantik, tapi dari sekian lelaki yang pernah jadi pacarnya belum ada yang serius ingin menikahinya. Boleh aja Budhe Wati bangga anaknya digaet banyak lelaki, bisa panas-panasin Mbak Ranty. Tapi sekarang kena batunya sendiri, mereka seperti cacing kepanasan lihat Mbak mau menikah dengan Mas Riko." 

 

Cerocosan Mira ini membuatku teringat akan sesuatu. Benar, Wanda mulai menjauh saat tersiar kabar bahwa aku akan menikah. Ini tidak mengherankan, misal hari ini satu orang mendengar berita, keesokan hari pasti sudah merembet kemana-mana. 

 

Inikah alasan Budhe Wati menanyakan perihal konyol tadi? Supaya anak cantiknya tidak merasa disaingi tentang calon pendamping hidup. 

 

"Kita tetap tidak boleh su'udzon, Nduk. Mending diabaikan saja. Ibu tahu, pasti kamu sangat marah dan sedih mendengarnya. Padahal, apa yang harus diirikan? Bukankah mudah bagi Wanda  untuk mencari lelaki seperti apa pun yang dia mau." Ibu menenangkanku dengan kalimat bijaknya. 

 

"Jelas iri lah, Bu. Di kompleks perumahan sini, siapa yang enggak kenal dengan Mas Riko. Perempuan single mana yang enggak  mau jadi istrinya. Untung aja, gadis pilihan Pak Manajer udah tepat." Mira menyikut lenganku, cekikikan.  

 

Perumahan ini sebagian besar memang dihuni karyawan pabrik karena berdekatan dengan kawasan industri. Banyak pula yang bekerja di pabrik yang sama dengan tempat Mas Riko bekerja. 

 

"Hust! Jangan godain mbakmu terus, kasihan lagi sedih." 

 

"Justru Mira kepingin menghibur Mbak Ranty, Buk. Biar bisa senyum lagi." 

 

"Sudah, ayo keluar! Biarkan mbakmu istirahat." Ibu menarik paksa lengan Mira yang masih belum puas menggodaku. 

 

Sudut bibir ini masih terangkat meski mereka telah menghilang di balik pintu yang tertutup. Bercengkrama dengan mereka adalah obat mujarab penyembuh sakit hati. 

 

Tubuhku merebah menatap langit-langit. Mengingat betapa hari ini telinga, mata, dan hati kembali di uji. Tidak di pabrik, tidak di rumah, sama-sama menggoreskan perih di kedalaman hati. 

 

Seolah gadis biasa menikahi lelaki tampan itu adalah sesuatu yang pantas untuk dipertanyakan. Lalu salahku di mana jika pada akhirnya jalan jodohku mengarah pada Mas Riko? 

 

Ponsel di atas bantal menjerit, buru-buru kuseka pipi yang membasah lagi saat tahu nama siapa yang tertera di layar. Panggilan video dari Mas Riko. 

 

"Assalamualaikum, Ran!" Lelaki itu menyapa. 

 

"Wa'alaikum salam, Mas." 

 

"Kok lama ngangkatnya, Ran." 

 

"Iya, Mas. Tadi aku pakai hijab dulu," kilahku. 

 

"Ooh." 

 

Semula Mas Riko tak menaruh curiga. Namun tak lama kemudian, pria berkaus oblong putih itu mengernyit. Seperti menangkap hal janggal dalam tampilan layar ponselnya. 

 

"Mata dan hidung kamu kenapa, Ran? Kok, merah gitu. Kamu habis nangis?" 

 

"E--enggak, kok, Mas. Tadi ngantuk banget, habis itu langsung cuci muka. Ngomong-ngomong, ada apa Mas Riko telepon?" Kalau sekadar chat sehari bisa beberapa kali. Namun, untuk menelepon atau panggilan video jarang sekali dia lakukan. Kecuali sangat penting atau saat aku sedang bersama Yesha. 

 

"Oh, lusa saya datang lagi ke rumah. Ingin memastikan sekali lagi tanggal pernikahan kita. Kalau bisa dimajukan bulan depan saja." 

 

"Loh, bukannya kemarin keluarga kita sudah deal tentang tanggal dan bulannya, Mas." 

 

"Memang benar, tapi setelah saya pikir-pikir mengulur waktu itu justru akan menambah keragu-raguan kamu tentang keseriusan saya." 

 

Kok, jadi begini? 

 

Next 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status