Share

Petaka Menikahi Duda Tampan
Petaka Menikahi Duda Tampan
Penulis: Lyra Vega

Siapalah Aku

"Masa iya calon istrinya burik gitu." 

"Iya, selera Pak Riko anjlok banget." 

"Menukik tajam dibandingkan mantan istrinya dulu." 

"Hihihi." 

Bisik-bisik terdengar dari gerombolan wanita berseragam hitam biru di deretan kursi belakangku. Sepelan apa pun kasak kusuk itu tetap saja tertangkap telinga. Paling sakit hati kalau mereka kompak cekikikan. Persis perkumpulan tetangga julid yang sering nongkrong di warung Ceu Entin sebelah rumah. 

"Mas, aku malu," bisikku pada duda tampan di sebelah. 

"Malu kenapa, Ran?" Yassalam, teduhnya tatapan mata itu. Adem ayem tanpa beban, berbeda dengan wanita yang sedari tadi menjadi sorotan publik. 

"Insecure aja." 

"Sudahlah, cuek aja. Sebentar lagi acaranya mulai." 

Cuek? Itu gampang buatmu, Mas. Namun, tekanan batin untukku. 

Pria itu berperawakan ideal dengan tinggi 179 cm. Berambut cepak, berahang kokoh, plus hidung mancung. Berkulit sawo matang serta memiliki senyuman khas. Manis. Benar-benar Ji Chang Wook dengan cita rasa kearifan lokal. Kurang lebih seperti Fedi Nuril, itu gambaranku. 

Petaka itu dimulai sejak rajinnya Mas Riko menyambangi rumahku. Bukan, bukan untuk mengapel. Namun, untuk menjemput putri satu-satunya yang tak lain adalah murid di Taman Kanak-kanak tempatku mengajar. 

Yesha lebih suka mengintil ikut pulang denganku, ketimbang dititipkan di sekolah sebelum sang ayah menjemput di jam makan siang. 

"Coba Bunda Ranty tinggal di rumah kita, ya, Yah!" celetuk bocah lima tahun itu suatu hari. 

Aku mati kutu, pun sama dengan Mas Riko. Belum, saat itu belum ada indikasi saling tertarik satu sama lain. Tahu dirilah, siapalah aku? Cuma kerak nasi gosong yang nempel di panci. Sedang dirinya adalah pria idaman sejuta manfaat eh umat. 

"Mari, Bun!" Mengalihkan kepolosan sang anak, Mas Riko berpamitan. 

Sejak itu, diakui atau tidak, sedikit banyak ada yang tertinggal di sini, di sini, dan di sini. 

Mata, pikiran dan ... hati. 

Cukup lama mengusik dan membekas di sanubari. Sebelum akhirnya Mas Riko mulai aktif mengirim chat. Semula hanya membahas tentang perkembangan Yesha di sekolah. Lambat laun menjadi canda, lalu sedikit akrab, kemudian .... 

"Apa Bunda Ranty bersedia menikah dengan saya?"

Bukan melalui telepon atau chat, tapi langsung di depanku juga Yesha. Mau bilang iya takut kena prank. Mau bilang tidak, sang anak terlanjur jingkrak-jingkrak. 

"Yeee! Yesha punya bunda baru!" pekiknya. Mengundang beberapa tetangga yang nongkrong di warung Ceu Entin untuk menoleh dan mulai kepo. 

"M-maksud Pak Riko?" Ya, waktu itu aku masih memanggilnya secara formal. 

"Saya serius!" tegasnya. 

Bangun Ranty! Ini cuma mimpi. Wanita berkulit eksotis dengan tampang B aja dilamar lelaki tampan itu adanya hanya di film, drama dan cerbung-cerbung di KBM saja. 

Dalam hitungan ketiga kamu akan terbangun. Satu, dua, tiga .... 

"Ran!" Bahuku ditepuk seseorang. 

"I--iya, Pak. Saya bersedia." 

"Bersedia?" 

Aku menoleh pada lelaki berkemeja marun yang sedikit keheranan. Mas Riko? 

Memastikan penglihatan ini sekali lagi, aku mengucek mata. Bukan, ini bukan mimpi. Aku masih di sini, di bawah naungan tenda acara gathering perusahaan tempat Mas Riko bekerja. Lumayan juga durasi melamunku. 

"Ayah, Yesha mau pulang." Bosan berlarian ke sana kemari, gadis cilik bermata sipit itu mulai rewel. 

"Sebentar lagi, ya, Sayang." Belum sampai pertengahan acara, pasti malu dengan atasan jika undur diri duluan. 

"Sini sama Bunda!" Aku menarik tubuh kecil itu, menaruhnya di pangkuan. Yesha merangkul leherku, manja. 

"Baby sitter-nya beruntung banget, ya. Dapet majikan ganteng, anaknya lengket lagi." 

Bisik-bisik terdengar lagi dari deretan kursi sebelah kiri. Ya Allah, belum jadi istri saja cobaanku sudah seberat ini. Apa jadinya di hari pernikahan nanti? 

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status