Share

BAB 4

Pandangan Yulianna menyapu sesisi ruangan kamar hotel yang sangat luas itu, sangat luas karena semua perabotan yang lengkap di kamar Exclusive VVIP. Namun, lagi-lagi, ada sosok bayangan yang Yulianna lihat. 

“Jangan main-main! Siapa di sana?” tanya Yulianna setengah memekik. 

Sementara itu, Harry merasa terpuruk atas kepergian istrinya. Termenung di dalam kamarnya. Merasa suntuk, dia pun keluar dan berniat menemui David. 

"Sampai kapan kamu terus begini?" lirih Harry merasa sedih mengingat Yulianna. 

Harry berjalan sembari mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk kecil. Dia melihat meja makan hanya bersisa tempe dengan potongan kecil. Dirinya hanya dapat menghela napas atas tingkah laku istrinya. Rasa heran selalu muncul acap kali melihat putranya harus makan dengan lauk yang tak layak dengan uang seratus ribu yang setiap hari dia berikan. Seorang ayah yang memandangi anaknya selalu tidak pernah mengeluh, walaupun terkadang sedikit cengeng. Harry hanya bisa tersenyum kecil ketika melihat kepolosan anak satu-satunya itu. 

"Anak ayah sedang belajar apa?" tanya Harry sambil mencium pipi putranya. 

"Ini, Yah, matematika,” jawab David sambil menunjukkan buku pelajarannya. 

"Coba ayah lihat." Harry memperhatikan buku tulis milik anak kesayangannya tersebut. 

"Ini mengapa tiga ditambah satu hasilnya lima, Sayang?"  tanya Harry.

David mengangkat wajahnya. "Itu angka empat, Ayah," jawab David sambil mengerucutkan bibirnya.  

Harry tertawa melihat tingkah laku anaknya. "Angka empat bukan begitu, David."  

David yang baru saja seminggu duduk di bangku Sekolah Dasar memang belum memiliki banyak pengetahuan cara tulis menulis. David tidak melewati tahap sekolah Taman Kanak-kanak karena minimnya ekonomi Harry. Untung saja sekolah di sana mau membantu pendaftaran David karena dapat berhitung melalui lisan, tetapi lemah melalui tulisan. 

Beberapa minggu yang lalu sebelum pendaftaran sekolah, seorang kepala sekolah bertanya langsung kepada David karena ingin mengujinya. "Bapak akan coba tes kamu, Nak! Pertama, mulai berhitung. Kedua, mengucapkan huruf abjad. Ketiga, membaca dan menulis." 

Setelah melewati tes yang telah diberikan, betapa terkejutnya kepala sekolah karena David bisa berhitung, bahkan sampai puluhan angka dengan penyebutan secara sempurna. Serta pelafalan abjad yang baik dan benar. Hanya saja, David tidak menguasai membaca dan tulis menulis secara benar. 

Akan tetapi, dalam hatinya kepala sekolah tetap membiarkan dan mengizinkan David segera mengikuti pendidikan. 

"Dari mana kau bisa berhitung dan melafalkan abjad secara sempurna begitu, Nak?" tanya Kepala Sekolah saat itu. 

"Saya sering mendengar Guru ketika mengajar," jawab David.  

"Kau sudah pernah sekolah sebelumnya?" tanya Kepala Sekolah penasaran. 

"Belum, tetapi aku mendengarkannya dari balik kaca," ujar David tersipu. 

"Balik kaca? Di mana?" tanya Kepala Sekolah lagi. 

"Kelas yang di sana Om," tunjuk David mengarah kelas di luar. 

"David, jangan panggil Om, tetapi Pak, ya!" bisik Harry dengan hati-hati.  

            Kepala Sekolah hanya tersenyum dan membiarkan, "Sudah berapa lama kamu melakukan hal itu, Nak?" tanyanya.

"Sudah lama, Om, eh, Pak, maaf …." David menunduk malu karena merasa dirinya tidak sopan salah mengucapkan panggilan untuk Kepala Sekolah itu.  

Harry bersama Kepala Sekolah yang mendengarkan ucapan David hanya tercengang dan berdecak kagum.  

"Anak Anda sungguh cerdas Pak Harry, dia harus segera disekolahkan di sini agar mendapatkan pendidikan yang layak. Saya yakin anak Anda menjadi siswa terpintar di sekolah ini,” ungkap Kepala Sekolah dengan senyum memuaskan tampak di wajahnya. 

Harry yang mendengar persetujuan dari mulut Kepala Sekolah merasa senang dan memberikan hormat dengan membungkukkan badannya. 

"Pak Harry, jangan berlebihan begitu, saya ingin anak-anak seperti David mendapatkan pendidikan yang layak. Dan Anda bisa mengajukan beasiswa dengan syarat-syarat hitam di atas putih yang akan saya jelaskan nanti kepada Anda." Kepala Sekolah menjelaskan.  

Harry yang usai mengingat kejadian tersebut, kemudian mengambil pensil. "Nih, ayah tuliskan semua angka deret nol sampai Sembilan. David kan belum bisa mengenal angka. Jadi, ayah menulis semua bilangan angka dasar dan kamu bisa perhatikan semua itu dengan berkonsentrasi mengingat semuanya," ujar Harry tersenyum.

Setelah mengajarkan beberapa cara dengan singkat, bunyi suara perut keroncongan terdengar dari kedua belah pihak. Harry sebelumnya melupakan akan membelikan makanan, menjadi teringat kembali dengan alarm perut mereka berdua. 

"Wah perut kita berbunyi bersamaan, Ayah," ucap David dengan polosnya tertawa sambil menutup mulutnya. 

Harry tertawa diikuti dengan dirinya yang langsung berdiri dan berkata. "Ayah keluar sebentar membelikan makanan untuk kita makan, Nak." Sambil mengelus kepala David dengan kasih sayang.

"Kamu tunggu di rumah dan lanjutkan belajarnya," sambungnya. 

David hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian melanjutkan aktivitas. 

Harry perlahan menutup pintu rumah melihat sosok anaknya dengan tatapan hangat serta membuat senyuman tipis di garis wajahnya.  

Harry berjalan keluar rumah melangkahkan kaki sambil melihat langit-langit malam dan sesampainya di persimpangan, secara tidak sengaja menabrak seorang wanita. Wanita tersebut sedang melirik sebuah pesan di ponsel dan sedikit kehilangan keseimbangan akibat benturan dari tubuh bidang Harry. 

Harry segera menangkap wanita itu, secara respons dia melingkarkan tangan pada pinggang wanita paruh baya itu.  

Mereka saling menatap, tanpa sadar wanita itu terhanyut dalam lamunan karena tatapan hangat sang pria.  

Wanita itu adalah Rita, ia memang tidak tampak seperti berusia empat puluh tiga tahunan di mata semua orang. Karena rutinitas perawatan kecantikan yang dia jalani sehari-hari. 

"Hemm, Nyonya, apa Anda baik-baik saja?" Harry mencoba menghentikan momen yang menciptakan kecanggungan.  

Rita yang tersentak berusaha berdiri dengan normal kembali. 

Dan Harry yang telah melepas tangannya berkata, "Maafkan saya, saya tidak menggunakan mata saya secara benar ketika berjalan tadi .…" Harry membungkukkan badan memohon permintaan maaf. Dan, dia segera melanjutkan perjalanan meninggalkan Rita. 

Rita hanya bisa terdiam dan tersenyum kecil, perasaan berkecamuk membuat dirinya kagum pada sosok pria rendah hati, tersentak tersadar dari lamunan melanjutkan tujuannya, yaitu untuk menjemput David.  

Dirinya hanya mengetahui Yulianna dari seorang yang bekerja untuk dirinya. Informasi yang diberitahukan sangat minim. Sehingga Rita tidak mengetahui tentang Harry.  

Rita telah sampai di gubuk reyot yang sebelumnya pernah dia singgahi. Rita telah berdiri di depan pintu. "Dasar wanita egois, sangat bodoh dan mudah tertipu, bahkan dia tidak tahu kalau aku memberikan cek palsu." Rita membicarakan Yulianna sambil tersenyum licik. 

Rita pun mengetuk pintu tersebut berkali-kali. Seseorang yang di dalam, tak lain adalah David, mendengar suara tersebut. David mengira ayahnya telah kembali, segera berlarian membukakan pintu. Namun, ternyata seorang wanita paruh baya telah dia dapati berdiri di balik pintu rumahnya.  

Dirinya memperhatikan sekitar. Kepalanya celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri untuk memastikan, bertanya-tanya seorang wanita sendirian bertamu malam-malam ke rumahnya. 

"Tante siapa?" tanya David kebingungan. Dengan ciri khas mata membulat menggemaskan dan pipi sedikit tembam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status