Share

Kasih Sayang

Aku merubah arah perjalananku yang tadinya menuju Baghdad sekarang menjadi ke arah ibukota Kwarezmia, Urgench. Aku pernah mendengar bahwa disana terdapat ibuku yang dulu hingga sekarang bekerja sebagai pelayan. Aku lalu mengusulkan kepada Hasan supaya kami singgah terlebih dahulu ke arah Urgench.

“Boleh, tapi waktu kita tinggal sedikit karena kita harus melaporkan kepada Khalifah jika Mongol sudah mencapai Kwarezmia dan menghacurkan segala yang ia temui disini.” Pungkas Hasan.

“Apakah kamu mau jika aku mengajakmu bertemu ibuku, Ruqqayah?”

“Aku sangat senang jika aku bertemu dengan ibundamu, suamiku.” Jawab Ruqqayah.

Perjalanan dari tempat Ruqqayah tinggal dengan Urgench membutuhkan waktu hampir seminggu perjalanan.  Dan aku berharap disana aku mendapatkan busur panah dan beserta perlengkapannya.

“Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan kuda disana. Jadi perjalanan kita menuju ke arah Baghdad menjadi cepat dan tidak terlalu capek. ” Saran Abdullah.

“Baiklah, sekarang kita makan sahur terlebih dahulu karena waktu sudah mulai subuh. Karena di dalam makan sahur terdapat berkah.” Perintah Hasan kepada kami.

Setelah kami makan lalu kami sholat Subuh dan mempersiapkan diri menuju Urgench. Kami berharap agar tidak bertemu dengan musuh yang akan membinasakan kami. Kami berencana akan berjihad setelah kami berkumpul dengan pasukan Abbasiyah.

“Nerva, berapakah umurmu?” Ruqayyah mengajakku berbicara dengan nada yang pelan.

“15 Tahun, kalau kamu?” tanyaku balik.

“13 Tahun, dan aku telah menghapal Al Qur’an diusia 10 tahun lho.”

“Benarkan? Masya Allah...... ajari aku Ruqqayah agar aku juga bisa menghapalnya.” Aku terkejut dan aku pun terpana dengan Ruqqayah.

“Ada 1 syaratnya!”

“Apa itu?”

“Kamu harus mengamalkan isinya selama hidupmu.”

“Setuju!” Sahutku

Kemudian aku diajarkan oleh istiriku sebuah kitab Al Qur’an yang nanti akan aku jadikan bekal dalam hidupku. Memang cukup berat, tapi aku sangat senang ada yang mau mengajarkannya kepadaku.

Selama perjalanan aku mengulang-ulang apa yang telah diajarkannya kepadaku. Aku sangat senang sekali. Ketika aku salah, Ruqayyah membetulkan bacaanku.  Saat kami beristirahat aku memperlihatkan buku yang aku dapatkan dari desa yang pernah menjamuku kepadanya.

“Hai Ruqqayah, aku memiliki buku ini, apakah kamu tertarik?” Ruqqayah lalu menundukkan kepala.

“Apa kamu tidak bisa membaca, Ruqqayah?” tanyaku, lalu dia mengangguk. “Aku bacakan ya, mudah-mudahan kamu senang.”

“Bersumber dari Abdulllah bin Mas’ud radhialllahu’anhu, dia berkata, aku pernah membezuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam ketika beliau menderita sakit parah. Aku usapkan tanganku di tubuh beliau, kemudian aku katakan, ‘Ya, Rasulullah, Anda menderita sakit parah?’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, Ya, aku menderita sakit berat seperti sakitnya dua orang diantara kalian.’ Aku bertanya, ‘Apakah itu karena engkau mendapat pahala dua kali lipat?’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, ‘Ya’. Setelah itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda,’ Tidak seorang muslim pun tertimpa suatu sakit dan sebagainya melainkan dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Hadits riwayat Muslim”. Kemudian aku menutup kitabku.

Aku melihat Ruqayyah menangis dan aku bertanya kepadanya,”Apakah kamu mengingat kembali nenekmu?” Ruqayyah mengangguk pelan kemudian dia menyeka air matanya.

“Nenekku yang merawatku sejak kecil dan telah mendidikku menghapal al- Qur’an. Dia adalah nenekku yang sangat baik terhadapku.”

“Bersabarlah wahai Ruqqayah.”

“Aku marah kepadamu Nerva, kenapa engkau tidak membawanya bersama kita?” kemudian aku tertunduk lesu atas pertanyaan Ruqayyah barusan. “Maafkan aku Ruqqayah, aku tidak bisa membawanya karena aku takut dia menjadi semakin sakit ketika berjalan jauh bersama kita.

Abdullah datang dan menghampiri kami, kemudian menanyakan kepada kami apa yang seadang terjadi diantara kami. Kemudian aku menjelaskannya kepadanya.

“Tenang saja anakku, nenekmu pasti selamat. Pasti orang Mongol tidak akan membunuh manula yang lemah.

“Tetapi kenapa kalian biarkan dirinya sendirian?” lidah kami tersekat atas perkataan Ruqqayah.

Hasan lalu datang dan meluruskannya.

“Apakah kamu tidak menuruti apa wasiat nenekmu? Apakah kamu ingin agar nenekmu mati sia-sia melihat engkau mati disana dibunuh dan disiksa oleh pasukan Mongol? Atas nasib nenekmu, sesungguhnya Allah lah sebaik-baik Pelindung dan Penolong, dan hanya kepadaNya-lah kita bertawwakal.” Perkataan Hasan menyadarkan Ruqayyah dan diapun kembali tenang.

Aku membisikkan kepada Ruqayyah agar tidak menyerah dan putus asa kepada Allah. Dia pun lalu menyeka air matanya dan memelukku dengan erat. Setelah beberapa saat Ruqayyah tidur diatas pangkuanku. Aku lalu menyeka sakitnya di pelipisnya dengan kain basah yang aku tambahkan garam seperti apa yang dahulu Abdullah perlakukanku sewaktu aku jatuh dan lecet, yakni dimasa aku bermain kejar-kejaran dengan domba kesayanganku dahulu.

Dibawah naungan tebing kami beristirahat. Aku melihat Hasan naik di atas tebing untuk melihat keadaan di sekitar, dan Abdullah sedang berdiri mengerjakan sholat Dhuha. Kemudian Hasan melihat ada yang aneh di arah menuju kota Urgench.  Kemudian ia datang kepada kami.

“Kita sudah hampir sampai ke kota Urgench, aku melihat banyak para pengungsi berjalan memanjang pergi kearah sana untuk berlindung di dalamnya.”

Aku lalu membangunkan Ruqayyah dan mempersiapkan diri segera berangkat ke arah tujuan kami.

“Kita akan bertemu Ibuku disana Ruqayyah. Insya Allah.”

“Apakah benar? Aku jadi sungkan jika harus bertemu dengan ibumu.” Ruqayyah menutupkan kain hijabnya ke arah mulutnya.

“Tidak perlu engkau merasa sungkan Ruqayyah, Dia adalah wanita yang paling baik terhadapku. Aku telah lama tidak bertemu dengan ibuku semenjak masih kecil. Dia adalah wanita yang paling cantik yang pernah aku kenal, Ruqayyah. Aku menjadi bersemangat nih untuk segera sampai kesana.” Diriku memuji-mujinya dengan penuh kegembiraan.

“Ayo kita mulai perjalanan...” sahut Abdullah.

Matahari sudah mulai meninggi dan kami juga sudah kehabisan bekal perjalanan. Kami benar-benar berharap bisa masuk kedalam beteng Urgench dan bisa mengisi perbekalan makan kami. Urgench adalah kota yang telah lama mengalami berbagai macam penaklukan oleh berbagai macam penguasa di timur tengah. Baik oleh kerajaan Babilonia, Syiria, Persia, dan Kekhalifan Muslim. Dan kini Kerajaan Khwarezmia menjadikannya sebagai pusat pemerintahan. Kemegahannya hampir menandingi benteng di Baghdad kata Hasan. Dan aku penasaran dengan isinya.

Setelah kami berjalan, kami lalu menggabungkan diri dengan para pengungsi yang berjalan ke arah pintu gerbang. Semangat kami untuk masuk menjadi menurun setelah kami melihat banyaknya pengungsi lain yang berkumpul di luar untuk masuk. Mereka kurasa tidak dizinkan masuk kedalamnya. Kami pun sampai di pintu gerbang. Dan sebagian dari pengungsi berteriak-teriak kepada para penjaga gerbang agar membukakan gerbang. Namun terakkan kami tidak digubris oleh mereka.

Kami hampir putus asa setelah berjam-jam menunggu di luar. Takut jika tentara Mongol datang dan menyerang kami. Kami pun sangat kehausan dan kami sangat kepanasan ,tetapi para tentara tidak merasa iba terhadap kami. Hanya kepada Allah saja kami berharap agar gerbang itu dibuka untuk kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status