Share

Menjaga Sebuah Amanah

Aku, Hasan, dan Abdullah kemudian turun ke sebuah lembah yang disana terdapat kota yang terbakar. Kami bertiga berencana ingin menyelamatkan siapapun yang mampu kami tolong.

 

"Berlindunglah di balik tembok itu, dan jangan melakukan hal-hal yang bodoh" pungkas Hasan kepadaku.

 

Banyak sekali yang tewas mengenaskan yang sebagian besar adalah rakyat biasa.

Apa yang harus kita lakukan dengan mereka? Aku kasihan dengan mayat-mayat ini..

 

"Awas adalah tentara Mongol yang lewat"

Kami lalu berlindung di rumah yang hancur

 

Sesampainya di sebuah tempat yang masih tersisa berapa kehidupan dari kebengisan tentara Tartar dan Mongol, kami bertemu dengan nenek tua yang sangat renta dan pesakitan.

 

"Kemarilah cepat, jangan sampai mereka menemukan kalian disini," ajak nenek tersebut kepada kami bertiga agar mereka berlindung di rumahnya dari ancaman tentara Tartar dan Mongol.

 

Sesampai di rumah nenek tadi aku lalu melihat pada tubuh nenek tadi terdapat dua anak panah yang menancap pada punggungnya. Tanpa berpikir panjang aku ingin menolong mengambilkan anak panah itu, namun dicegah oleh nenek tua tadi.

 

" Jangan kau cabut anak panah ini, aku akan berlumuran darah dari lubang bekas panah tadi"

 

Aku takut ancaman dari Hasan yang membawa pedang di kiri pinggangnya, namun Abdullah memberikan optimismenya terhadapku sembari mengelus pundakku. 

 

"Nerva, tolonglah nyonya itu, kamu pasti bisa melakukannya, pergunakanlah ilmumu untuk ini. Jika tidak nyawa nyonya itu akan tidak tertolong lagi."

 

Lalu aku mencoba memberanikan diri dalam situasi ini. Darah mengucur pada punggungya mengalir perlahan membuat nyaliku sedikit ciut.

 

"Tidak mengapa nyonya, aku pernah mengalami masalah ini." Diriku berbohong dan berpura-pura menenangkan nenek tadi meski hati ini panik luar biasa.

 

 Lalu aku mencari-cari besi yang bisa aku gunakan sebagai sundut. Kemudian mencari kayu bakar, dan kain yang cukup untuk menutup luka nenek tadi.

 

"Gigitlah batang kayu ini nyonya, aku akan mencabut panah yang bersarang pada badanmu."

 

"Jangan nak, aku takut ini akhir hidupku."

 

"Insya Allah, tidak mengapa, engkau akan baik-baik saja bersamaku."

 

Lalu aku mencabut panah tersebut dan menempelkan besi panas dibekas luka nenek tadi. Kemudian menutupi lukanya dengan kain yang dibalut dengan tebal. Aku llu membacakan surat Al Fatihah dan meniupkan ke arah luka tadi. Seketika darah berhenti memancar dari luka nenek tadi.

Rasa senang muncul dari raut wajah Abdullah dan Nenek tadi, kecuali Hasan. Dia hanya berdiri sambil melihatku dengan tajam.

 

Kepribadiankuu mulai membaik setelah melewati hari-hari yang panjang ini. Setiap kali diriku berbuat sembrono dan keterlaluan Abdullah mengingatkan untuk bertakwa kepada Allah. Memang sifat dasarku adalah berbuat yang seenaknya dan penuh kebodohan. Tetapi di bagian hati ku yang paling dalam, diriku selalu ingin menjadi pribadi yang baik agar aku bisa memiliki kawan-kawan yang selalu senantiasa setia dengan denganku.

 

..........

 

 

Nenek yang ku tolong lalu berterima kasih kepadaku

 

"Terima kasih anakku, sungguh pertolonganmu sangat bermanfaat bagi sisa hidupku ini, namun ada satu permintaanku kepadamu agar akhir hidupku menjadi tenang. Aku ingin agar engkau membawa cucu perempuanku ini bersamamu, dan aku berharap engkau menikahinya supaya tiada fitnah selama perjalanan dan mudah-mudahan engkau pun akan nyaman bersamanya." 

 

Aku pun terkejut dengan permintaan nenek tadi.

 

Lalu muncullah seorang gadis manis yang diam-diam melihat ku selama ini dari balik lemari dengan sorot mata meminta pertolongan. Gadis tersebut berumur antara 13 tahun dengan memakai pakaian tertutup seluruh tubuh. Dari kepala hingga ujung kaki. Wajahnya terlihat dan di sebelah pelipis kirinya terdapat luka memar.

 

“Terimalah saja anakku.” bujuk Abdullah.

 

“Aku ingin sekali menolongnya, tapi aku takut tidak bisa berbuat baik dengannya selama perjalanan menuju Baghdad.”

 

Hasan lalu mencarikan wajahnya yang keras dan mulai mengajakku berbicara.

“Engkau memiliki dosa yang besar di masa lalu. Engkau telah membunuh seorang anak perempuan ketika di atas gunung. Jika engkau menikahinya engkau tidak akan aku bunuh.”

 

Jawaban Hasan membuatku senang. Ia mengetahui dosaku yang dulu. 

 

“Anak perempuan yang meninggal itu tidaklah aku bunuh dengan sengaja. Namun ketika aku pulang dari perjalanan mencari bunga di atas lereng bukit. Aku tidak sengaja menjatuhkan batu besar di tanganku  dan mengenai anak perempuan itu di kepalanya itu hingga ia jatuh dari ketinggian.”

 

Dengan sebab itulah diriku menjadi dibenci seluruh warga kampungku, penduduk kampung ingin sekali membunuhku tetapi mereka takut jika kerajaan ditempat iku tinggal membantai mereka karena keluarga ku yang dekat dengan penguasa.

 

“Hukuman pembunuhan adalah dibunuh. Namun engkau tidaklah sengaja. Berarti engkau harus membayar diyat  kepada keluarga anak perempuan tadi, ingat itu!” kata Hasan.

 

“Aku tidak tahu siapa keluarganya.”

 

“Anak yang meninggal itu berasal dari keluarga Zahn.”

 

“Namun apakah aku bisa bertemu dengan mereka, setelah kehancuran pada desa ku waktu lalu?” tanyaku kepadanya. 

 

“Mereka ada di Baghdad.”

Aku kemudian berpikir sejenak dan memutuskan untuk membayar diyat untuk mereka.”

 

Tiba-tiba Abdulllah mulai berbicara kepada kami. “Baiklah sekarang ayo mulai sesi ijab qobul nya.” kekeh Abdullah.

 

“Jangan tertawa wahai Abdullah!” diriku dibuat malu olehnya.

 

“Apakah disini ada seorang wali cucumu wahai nyonya?” Tanya Hasan.

 

“Semuanya telah meninggal kecuali diriku dan cucuku ini.” tangis nenek tua tadi.

 

“Jika tidak ada wali maka wali hakim yang menggantikannya.” Usul Abdullah.

 

“Siapa itu?” tanyaku

 

“Hasan, dia adalah orang penting dari dinasti Abbasiyah.”

 

“Apa??? Bagaimana kamu bisa tahu?” Jawaban Abdullah sontak membuatku kaget.

 

“Aku mengamatinya dan menyimpulkan bahwa dirinya adalah orang penting dari dinasti Abbasiyah.”

 

“Benar! Akulah tangan kanan pemimpin tertinggi panglima dinasti Abbasiyah. Aku memiliki misi mengamati langsung gerak gerik Kekaisaran Mongolia yang sangat menghawatirkan. Dan sekarang aku ingin melaporkan kepada Khalifah supaya mempersiapkan diri untuk berjihad melawan mereka.“ Jawab Hasan.

 

“Baiklah ayo mulai.”

Akad nikah berlangsung penuh rasa khidmat disamping rasa takut dan sedih menyelimuti kami dalam situasi ini.

 

“Saya nikahkah engkau dengan Ruqayyah.”

 

“aku jawab apa ?” tanya ku pada Abdullah

 

“Jangan bodoh, bilang aja saya terima nikahnya dengan Ruqqayah dengan mahar cincin perak.” Jawab Hasan

 

“Iya-iya.... ahmm.. saya terima nikahnya Ruqqayah dengan mahar cincin perak.”

 

“Sah!”  

 

Dan aku sekarang memiliki istri yang membuatku menjadi tenang selama aku berusaha menyelamatkan diri dari kejaran tentara Mongol dan Tartar. Dialah Ruqqayah gadis yang manis bermata biru.

 

“Berhati-hatilah cucuku selama perjalanan. Tetaplah bertakwa kepada Allah, taatlah kepada suamimu Nerva, jangan engkau berbuat sembrono selama perjalanan.”

 

Demikian wasiat nenek tua tadi kepadanya sembari memberikan kalung emas miliknya yang berlumuran darah.

 

Ruqqayah menangis sesenggukan akan perpisahan ini.

 

Aku berharap aku bisa menjaganya dengan sepenuh hatiku, aku sangat mencintainya meskipun aku malu untuk mengungkapkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status