Share

Petualangan di Planet Tera
Petualangan di Planet Tera
Penulis: Nara Hikaya

Bab 1 Tugas Biasa yang Terasa Berbeda

Bum … bum ...

Suara keras terdengar bersama dengan bumi yang bergetar kuat. Itu adalah pertarungan dua pendekar hebat yang berada puluhan kilometer jauhnya. Mereka adalah Raja Leka dari kerajaan Abhira dan raja Ravan dari kerajaan Odra. Rama tertegun dengan efek yang mereka timbulkan pada area di sekitarnya. Firasatnya tidak enak. "Raja Leka," gumamnya.

Tanpa menunda lagi, dengan segenap tenaga ia berlari menuju tempat mereka bertarung. Gerakan tubuhnya sangat cepat, membuatnya tampak seperti sekelebat bayangan. Tujuannya cuma satu, untuk menyelamatkan Raja Leka.

Dalam waktu singkat, pemuda itu kini hanya berjarak ratusan meter dari tempat mereka bertarung. Ia dapat melihat Raja Leka yang sedang terduduk di tanah tanpa senjata. Dari sudut bibirnya juga mengalir darah. Sementara itu, Ravan sedang berada di udara sambil mengangkat kapak, bersiap untuk menebasnya. "Pergilah ke neraka!" teriak Ravan.

Rama mengerahkan seluruh tenaga sambil mengacungkan pedang ke depan tubuhnya. Ia berharap dapat menangkis kapak Ravan. "Raja Leka!"

Tepat sebelum ia berhasil menghadang serangan Ravan, terdengar suara lamat-lamat memanggil namanya. "Rama ... Rama ...."

tok tok tok

"Bangun, Nak! Sudah siang .… " Suara ketukan pada pintu dan suara seorang wanita paruh baya terdengar sayup-sayup di telinga Rama. Itu adalah Bu Retno. Ibunya yang juga seorang guru di Sekolah Dasar. Ia sedang bersiap untuk menunaikan tugasnya. Ia heran, tak seperti biasa, seminggu terakhir putranya selalu bangun terlambat. 

"Iya, Buk. Sudah bangun." jawabnya pelan. Melihat jam dinding di kamarnya, ia tahu dirinya harus bergegas. Rama kemudian duduk di pinggir tempat tidurnya. 

"Ternyata mimpi itu lagi …." gumamnya. Ia tidak mengerti kenapa belakangan ini isi mimpinya selalu sama. Rama selalu terlibat dalam pertarungan dua sosok raja yang sangat kuat.

Rama adalah pegawai baru di museum keraton Jogjakarta. Sejak enam bulan yang lalu, Sri Sultan memintanya secara langsung untuk bekerja di tempat itu. Tugasnya, selain mencatat benda-benda koleksi museum, adalah merawat dan membersihkannya pada hari tertentu. Khusus untuk hari ini ia harus mencatat benda-benda yang baru datang dari situs arkeologi di Magelang.

Beberapa menit kemudian Rama telah siap untuk berangkat. Namun sebuah pesan singkat mendarat di ponselnya. "Ram, pindahkan benda-benda yang ada di ruangan Bapak ke bagian koleksi khusus, ya. Bapak sedang ada tugas di Keraton." Pesan dari Pak Syarif, ayahnya. Dia adalah seorang pegawai senior di museum. 

Ruang Koleksi Khusus? Setelah membaca pesan itu, entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak. Tak biasanya ia seperti itu. "Iya." jawabnya singkat.

***

Rama tiba di kompleks bangunan yang bergaya klasik. Tempat ini dulunya memang merupakan benteng pertahanan pada zaman kolonial. Museum Vredeburg, itulah namanya. 

Rama melewati jembatan pada sebuah parit selebar lima meter yang mengelilingi kompleks itu, memisahkan tempat ini dari area di sekitarnya. Setelah memarkir kendaraan, Rama masuk melalui gerbang depan. Sebelum menuju gedung utama, ia harus menyelesaikan tugas yang diberikan ayahnya terlebih dahulu. 

Ia berjalan cukup cepat menuju ruang kerja ayahnya yang terletak di pojok kiri kompleks museum. Di ruang ini, terdapat delapan patung kecil seukuran genggaman tangan orang dewasa. Bentuknya berbeda-beda. Saat Rama mengangkat dua patung dengan masing-masing tangannya, ia cukup terkejut karena bobotnya yang lumayan berat, sekitar lima belas kilo. 

Patung-patung itu ia bawa menuju area berpagar di pojok kanan museum. Berbeda dari bangunan-bangunan lain di kompleks museum, tempat ini memang dikelilingi pagar tinggi sehingga orang yang berada di dalam tak mungkin terlihat dari luar. Area itu juga disebut Ruang Koleksi Khusus. Selain Pak Syarif, hanya kepala museum yang boleh mengaksesnya.

Rama tiba di depan pintu pagar dan bersiap mendorong gagang pintu. Namun sebelum itu, seseorang menegurnya. "Maaf, Mas, mau kemana?" Suara itu berasal dari seorang petugas keamanan yang sedang melakukan tugas keliling. Siapa pun yang mendekati tempat itu, selain Pak Syarif atau Kepala Museum tentunya, akan ia periksa.

Sejak sebelum berangkat, perasaan Rama memang tidak enak. Oleh karena itu, meski cukup pelan, suara petugas itu mengagetkannya. 

"Saya mau meletakkan patung-patung ini, Pak. Disuruh Pak Syarif tadi." Rama menjawab secara refleks sambil menunjukkan benda-benda di tangannya. Ia juga dengan sengaja menyebutkan nama pak Syarif secara jelas karena tidak banyak yang tahu bahwa ia adalah putra dari orang paling senior nomor dua di museum itu.

"Oh, baiklah. Silakan kalo begitu. Tolong hati-hati ya, jangan sampai ada yang rusak, apalagi hilang!" ucapnya sambil beranjak dari tempat itu. Sesuai dengan namanya, Ruang Koleksi Khusus memang berisi benda-benda langka. Tak heran jika tiap saat petugas keamanan akan memeriksanya.

"Baik, Pak." Rama tersenyum sambil mengangguk ringan. Ia telah cukup lama mengenalnya. Selain sangat ramah, ia pribadi yang disiplin juga tegas.

Setelah membuka pintu pagar dengan hati-hati, Rama melihat dua bangunan di hadapannya. Ia melewati halaman kecil dan menuju bangunan di sebelah kanan. 

Ketika tiba di depan pintu, Rama mendorongnya cukup keras. Namun pintu itu tak bergerak sedikit pun. Ia coba lagi. Sekali, dua kali. Tetap tak bergerak. Ia yakin pintu itu dikunci.

'Bagaimana ini?' pikirnya. Tak ada cara lain. Rama harus menemui ayahnya untuk meminta kunci. Namun, saat ini ayahnya sedang bersama Sri Sultan. Ia masih ingat dengan aturan keraton yang melarang siapa pun, termasuk pegawai, untuk menemui Sri Sultan, kecuali karena keperluan khusus.

'Yasudah, kukembalikan saja patung-patung ini ke ruangan bapak. Nanti aku akan menghubunginya lagi.' katanya dalam hati. Rama tidak sadar bahwa meski terlihat seperti pintu dorong, apa yang ada di depannya itu adalah pintu geser. Mungkin karena grogi, alasan kenapa ia tidak menyadari hal itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status