Share

3. Menjadi pelayan

"Sayang, kenapa kamu belum tidur? Ini sudah tengah malam loh!" ujar Susi Sutejo kepada anak gadisnya masih tampak serius menatap layar computer.

"Perasaan aku nggak enak, Mam," jawab Sarah menunjukkan kecemasan.

"Nggak enak kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Titik letak Mas Juned, Mami. Sistem lacak di ponselnya menunjukan bahwa dia berada di tepi sawah yang membentang dari Kecamatan Maos -Sampang. Dan dia tidak bergerak sejak pukul 19.00 hingga saat ini," ungkap Sarah sembari memperlihatkan komputernya.

"Mungkin saja hapenya jatuh waktu dia lagi jalan-jalan."

"Aku udah berusaha berpikir positif, Mam. Tapi, jam 9 malam tadi, aku sempet telpon Marina supaya dia mampir ke rumah Mas Juned sepulang kerja. Katanya Mas Juned nggak ada di rumah," jelas Sarah mengeluarkan segala isi kegundahannya.

Susi pun terdiam dan mulai meresapi kata-kata anak gadisnya. Meskipun Susi dan keluarga kecilnya tidak menyukai sifat Junaedi yang suka leyeh-leyeh dan lontang-lantung tidak jelas, mereka masih peduli. Karena bagaimanapun Junaedi adalah putera dari Kakak kebanggaannya.

Dan lagi, Bambang Sutejo, di akhir khayatnya sempat mengucapkan, bahwa dia menitipkan anak semata wayangnya kepada Susi. Selama sepeninggalnya, meskipun Susi dan keluarga kecilnya tinggal jauh di luar kota, mereka terus memantau Junaedi dari kejauhan.

"Besok kalau papi kamu bangun, bilang Mami lagi pulang kampung, oke." Susi berkemas dan segera beranjak pergi. Dia tidak bisa tinggal diam dan menunda waktu. Jika terjadi sesuatu dengan Junaedi, apa yang akan dikatakan kepada sang kakak kelak?

Setelah melakukan perjalanan panjang hingga memakan waktu berjam-jam, akhirnya Susi tiba di kampungnya. Sang sopir berkata, "Sudah hampir sampai, Nyonya."

Detik itu juga, Susi mendapat pesan singkat dari Wito, sepupunya.

[Pulanglah ke kampung dan lihatlah apa yang terjadi denganmu keponakanmu!]

Junaedi, apa yang terjadi dengannya?

[Aku sedang dalam perjalanan ke sana. Sebentar lagi sampai,] balas Susi.

Sesampainya di rumah Junaedi, dia mendapati keponakannya di siksa habis-habisan oleh kerabat-kerabatnya. Susi berjalan menghampiri mereka dengan wajah merah padam. Wanita itu melihat tubuh Junaedi penuh dengan memar, bahkan ada bercak darah di punggungnya.

Akan tetapi, meskipun sudah berada dalam kondisi seperti itu, Junaedi tetap berusaha bangkit dan menegakkan tubuhnya sembari mengepalkan kedua tangan.

Di samping itu, Jamelah yang sudah merasa lebih baik dan sepenuhnya hilang dari efek obat yang diberikan oleh Ambar, bangkit merangkak, lalu berdiri dan lari menerjang Karso dengan melesatkan sebuah tinju.

Buak!

Karso terhempas ke samping, Jamelah segera menarik kerah bajunya dan mencengkeram kuat sampai pak tua itu terjinjing ke atas.

"Anda bilang, saya wanita jalang? Dibandingkan istri Pak Juned, harga diri saya bahkan lebih mahal dari sekarung permata!" Kemudian Jamelah mendorongnya sampai pak tua itu terjatuh di hadapan anak cucunya.

"Meskipun saya hanya seorang pembantu, apa kalian pikir saya mudah ditindas? Huh! Saya adalah pekerja yang direkrut oleh Pak Juned, dan hanya dia yang berhak mengatur saya!" lanjut Jamelah berpaling dari mereka dan membantu Junaedi berjalan pergi dari tempat itu. "Saya akan membantu Anda, membalas semua orang yang telah merendahkan Anda, Pak Juned!"

Junaedi sendiri, tidak menyangka akan memiliki pekerja yang loyal terhadapnya. Ini sungguh merupakan suatu keberuntungan.

"Siapa yang mengizinkan kalian pergi dari rumah ini!" cegah Susi membuat langkah Junaedi dan Jamelah terhenti.

"Maaf, Tante. Sayangnya Tante nggak bisa cegah mereka pergi. Karena rumah ini, sudah menjadi milik Ambar. Keponakan Tante yang bodoh itu, telah menghadiahkan warisan ayahnya secara cuma-cuma kepada istri tercintanya," ucap Marsodi tersenyum tipis.

"Oh, ya? Tapi sertifikat rumah milik Kakakku yang asli masih berada di tanganku! Apakah kamu yakin rumah ini benar-benar sudah diberikan kepada Ambar?" balas Susi menunjukan sebuah stopmap berisi sertifikat. Wanita itu membuka stopmap tersebut dan memperlihatkan bahwa sertifikat hak rumah, masih tertera nama pewaris.

Mata Ambar dan Marsodi terbelalak. Seketika mereka diam seribu bahasa. Sementara Junaedi, tertawa puas di dalam hatinya. Kini, saatnya dia membalaskan segala penderitaan yang dialami, sekaligus membalaskan dendam kematian sang pemilik tubuh.

Susi membubarkan semua kerabatnya agar mereka pulang ke rumah masing-masing. Kecuali Sutejo, dia meminta untuk tetap tinggal di rumah Junaedi.

Tersisa Ambar seorang. Dia merasa sangat canggung karena niat terselubung telah diketahui. Namun, Junaedi tidak peduli dan terus mengabaikannya tanpa bicara sepatah kata pun.

Tiga bulan kemudian setelah Junaedi benar-benar sembuh dari lukanya. Ambar melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan Junaedi. Namun sayangnya, hati lelaki itu telah membeku. Dia sama sekali tidak tergoda dengan sehelai benang pun dari kemolekan istrinya. Ini cukup membuat Ambar frustasi.

Junaedi mengintai Ambar yang sedang duduk di ranjang dengan wajah sembab. Namun lucunya, wajah sembabnya itu tidak menampakkan ekspresi sedih, tapi lebih menampakkan kekecewaan. Dia mengintip dari pintu kamar yang sedikit terbuka.

Ketika Junaedi mulai masuk menjumpainya, ekspresi Ambar seketika berubah menjadi sangat terisak. Wanita itu bergegas bangkit memeluk Junaedi dan menjadikan dada bidangnya sebagai tempat bersandar.

"Mas Juned. Tolong beri aku kesampatan sekali lagi! Aku akan memperbaikinya," isak wanita itu dalam pelukan.

Junaedi ingin tertawa melihat sang ratu drama sedang bertingkah. Namun, Junaedi menahan diri demi tujuannya. Dia mendorong istrinya hingga terhempas jatuh terlentang di atas ranjang. Kemudian, dia naik merangkak di atas tubuh wanita itu sembari membuka beberapa kancing bajunya.

Ambar pun tersentak. Matanya membulat seraya berkata, "ap-apa yang ingin kamu lakukan?" Dia menyanggah tubuhnya dengan siku dan bergerak mundur seolah-olah enggan disentuh.

Junaedi tersenyum tipis setelah mendengar kalimat itu terlontar dari bibir merahnya yang menggoda. Di mana sosok Ambar yang terlihat rapuh tadi? Seketika lenyap. "Berapa kali kau sudah melakukan hal semacam ini dengan Marsodi?" Tatapannya menjadi sangat dingin dan tajam.

Dua tahun mereka menikah, namun belum pernah sama sekali melakukan kontak fisik secara intim. Ambar selalu mengelak, meskipun sang pemilik tubuh sangat menginginkannya.

"A-apa maksudmu?" balasnya pura-pura tidak tau.

"Heh! Kau benar-benar membuatku muak!" Junaedi menuruni ranjang, lalu berpaling dari wanita itu. Dia pergi ke ruang tengah dan memanjakan tubuhnya di sofa.

Sebelumnya, Junaedi telah mendapat wasiat dari Sutejo agar ia berhati-hati dengan Keluarga Wijaya. Hal ini karena, kemungkinan yang telah membunuh kedua orangtua adalah Keluarga Wijaya.

Tak lama kemudian, Susi yang telah selesai mandi datang ke sisi lelaki itu ikut memanjakan tubuhnya.

Mengingat wasiat sang kakek, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dalam benak Junaedi. Dia pun bertanya kepada wanita di sisinya.

"Apa pendapat Tante tentang Keluarga Wijaya?"

"Sejak kapan kamu memperdulikan keluarga istrimu?" balasnya malah balik bertanya.

"Ckck. Saat aku menginjakkan kaki di tempat keluarganya, mereka semua memandangku rendah dan menganggapku sebagai menantu yang tidak berguna!" Junaedi berdiri sedikit menghentakkan kedua tangannya ke meja.

Susi pernah mendengar beberapa informasi dari suaminya, bahwa seorang bernama Guntur Wijaya menurut prediksi adik dari direktur perusahaan tempat ia bekerja, dia adalah penjahat kelas kakap. Dia memiliki empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan.

Anak pertama dan keduanya, yaitu Danang Wijaya dan Febian Wijaya adalah ahli bela diri yang cukup mahir. Sedangkan anak ketiganya, Ade Wijaya adalah seorang master chef nusantara yang berhasil mendapatkan juara pertama dalam sebuah kompetisi di tahun lalu. Dan yang terakhir adalah Ambar Wijaya, istri Junaedi.

Sang adik direktur menduga, seorang bernama Guntur Wijaya ini, telah membunuh banyak orang tanpa diketahui jejaknya. Sekarang pun, tidak jelas di mana keberadaannya. Orang itu selalu berpindah-pindah tempat demi menghilangkan jejak. Itulah sebabnya Sutejo menduga bahwa kematian ayah dan ibu Junaedi ada hubungannya dengan keluarga Ambar. Kakek tua itu telah mendapat informasi tersebut dari cucu menantunya.

"Kamu, pernah ke tempat keluarga Ambar?" tanya Susi tampak antusias.

"Ya. Emm ... tapi, baru sekali," ujar Junaedi menggaruk-garuk pipi yang tak gatal.

"Heh!" Susi mendengus. Baru sekali? Yah, mungkin saat ini mereka sudah berpindah tempat lagi.

"Tante, beri aku kesempatan sekali lagi! Beri aku satu tempat saja. Aku akan tunjukan, bahwa aku memang pantas menjadi pewaris semua bisnis ayah!"

"Tidak semudah itu, Juned. Performamu sangat jelek di hadapan para pegawai ayahmu. Tante bisa menempatkanmu di Rumah Makan Wah Pi-Lok, tapi hanya bisa menjadi seorang pelayan. Sejak kematian ayahmu, tempat itu yang paling mengalami penurunan sangat drastis. Tempat itu menjadi sangat sepi karena hasil masakan para koki tidak sesuai harapan. Racikan mereka sangat berbeda dengan racikan ayahmu, sehingga membuat pelanggan menyesal dan tidak pernah datang lagi."

Menjadi pelayan? Junaedi pikir, ini tidak terlalu buruk. Dia bisa melihat bagaimana para koki itu bekerja.

"Baiklah, Tante. Tidak masalah meskipun hanya menjadi seorang pelayan. Jadi, mulai kapan aku akan bekerja?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status