"Sayang, kenapa kamu belum tidur? Ini sudah tengah malam loh!" ujar Susi Sutejo kepada anak gadisnya masih tampak serius menatap layar computer.
"Perasaan aku nggak enak, Mam," jawab Sarah menunjukkan kecemasan."Nggak enak kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?""Titik letak Mas Juned, Mami. Sistem lacak di ponselnya menunjukan bahwa dia berada di tepi sawah yang membentang dari Kecamatan Maos -Sampang. Dan dia tidak bergerak sejak pukul 19.00 hingga saat ini," ungkap Sarah sembari memperlihatkan komputernya."Mungkin saja hapenya jatuh waktu dia lagi jalan-jalan.""Aku udah berusaha berpikir positif, Mam. Tapi, jam 9 malam tadi, aku sempet telpon Marina supaya dia mampir ke rumah Mas Juned sepulang kerja. Katanya Mas Juned nggak ada di rumah," jelas Sarah mengeluarkan segala isi kegundahannya.Susi pun terdiam dan mulai meresapi kata-kata anak gadisnya. Meskipun Susi dan keluarga kecilnya tidak menyukai sifat Junaedi yang suka leyeh-leyeh dan lontang-lantung tidak jelas, mereka masih peduli. Karena bagaimanapun Junaedi adalah putera dari Kakak kebanggaannya.Dan lagi, Bambang Sutejo, di akhir khayatnya sempat mengucapkan, bahwa dia menitipkan anak semata wayangnya kepada Susi. Selama sepeninggalnya, meskipun Susi dan keluarga kecilnya tinggal jauh di luar kota, mereka terus memantau Junaedi dari kejauhan."Besok kalau papi kamu bangun, bilang Mami lagi pulang kampung, oke." Susi berkemas dan segera beranjak pergi. Dia tidak bisa tinggal diam dan menunda waktu. Jika terjadi sesuatu dengan Junaedi, apa yang akan dikatakan kepada sang kakak kelak?Setelah melakukan perjalanan panjang hingga memakan waktu berjam-jam, akhirnya Susi tiba di kampungnya. Sang sopir berkata, "Sudah hampir sampai, Nyonya."Detik itu juga, Susi mendapat pesan singkat dari Wito, sepupunya.[Pulanglah ke kampung dan lihatlah apa yang terjadi denganmu keponakanmu!]Junaedi, apa yang terjadi dengannya?[Aku sedang dalam perjalanan ke sana. Sebentar lagi sampai,] balas Susi.Sesampainya di rumah Junaedi, dia mendapati keponakannya di siksa habis-habisan oleh kerabat-kerabatnya. Susi berjalan menghampiri mereka dengan wajah merah padam. Wanita itu melihat tubuh Junaedi penuh dengan memar, bahkan ada bercak darah di punggungnya.Akan tetapi, meskipun sudah berada dalam kondisi seperti itu, Junaedi tetap berusaha bangkit dan menegakkan tubuhnya sembari mengepalkan kedua tangan.Di samping itu, Jamelah yang sudah merasa lebih baik dan sepenuhnya hilang dari efek obat yang diberikan oleh Ambar, bangkit merangkak, lalu berdiri dan lari menerjang Karso dengan melesatkan sebuah tinju.Buak!Karso terhempas ke samping, Jamelah segera menarik kerah bajunya dan mencengkeram kuat sampai pak tua itu terjinjing ke atas."Anda bilang, saya wanita jalang? Dibandingkan istri Pak Juned, harga diri saya bahkan lebih mahal dari sekarung permata!" Kemudian Jamelah mendorongnya sampai pak tua itu terjatuh di hadapan anak cucunya."Meskipun saya hanya seorang pembantu, apa kalian pikir saya mudah ditindas? Huh! Saya adalah pekerja yang direkrut oleh Pak Juned, dan hanya dia yang berhak mengatur saya!" lanjut Jamelah berpaling dari mereka dan membantu Junaedi berjalan pergi dari tempat itu. "Saya akan membantu Anda, membalas semua orang yang telah merendahkan Anda, Pak Juned!"Junaedi sendiri, tidak menyangka akan memiliki pekerja yang loyal terhadapnya. Ini sungguh merupakan suatu keberuntungan."Siapa yang mengizinkan kalian pergi dari rumah ini!" cegah Susi membuat langkah Junaedi dan Jamelah terhenti."Maaf, Tante. Sayangnya Tante nggak bisa cegah mereka pergi. Karena rumah ini, sudah menjadi milik Ambar. Keponakan Tante yang bodoh itu, telah menghadiahkan warisan ayahnya secara cuma-cuma kepada istri tercintanya," ucap Marsodi tersenyum tipis."Oh, ya? Tapi sertifikat rumah milik Kakakku yang asli masih berada di tanganku! Apakah kamu yakin rumah ini benar-benar sudah diberikan kepada Ambar?" balas Susi menunjukan sebuah stopmap berisi sertifikat. Wanita itu membuka stopmap tersebut dan memperlihatkan bahwa sertifikat hak rumah, masih tertera nama pewaris.Mata Ambar dan Marsodi terbelalak. Seketika mereka diam seribu bahasa. Sementara Junaedi, tertawa puas di dalam hatinya. Kini, saatnya dia membalaskan segala penderitaan yang dialami, sekaligus membalaskan dendam kematian sang pemilik tubuh.Susi membubarkan semua kerabatnya agar mereka pulang ke rumah masing-masing. Kecuali Sutejo, dia meminta untuk tetap tinggal di rumah Junaedi.Tersisa Ambar seorang. Dia merasa sangat canggung karena niat terselubung telah diketahui. Namun, Junaedi tidak peduli dan terus mengabaikannya tanpa bicara sepatah kata pun.Tiga bulan kemudian setelah Junaedi benar-benar sembuh dari lukanya. Ambar melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan Junaedi. Namun sayangnya, hati lelaki itu telah membeku. Dia sama sekali tidak tergoda dengan sehelai benang pun dari kemolekan istrinya. Ini cukup membuat Ambar frustasi.Junaedi mengintai Ambar yang sedang duduk di ranjang dengan wajah sembab. Namun lucunya, wajah sembabnya itu tidak menampakkan ekspresi sedih, tapi lebih menampakkan kekecewaan. Dia mengintip dari pintu kamar yang sedikit terbuka.Ketika Junaedi mulai masuk menjumpainya, ekspresi Ambar seketika berubah menjadi sangat terisak. Wanita itu bergegas bangkit memeluk Junaedi dan menjadikan dada bidangnya sebagai tempat bersandar."Mas Juned. Tolong beri aku kesampatan sekali lagi! Aku akan memperbaikinya," isak wanita itu dalam pelukan.Junaedi ingin tertawa melihat sang ratu drama sedang bertingkah. Namun, Junaedi menahan diri demi tujuannya. Dia mendorong istrinya hingga terhempas jatuh terlentang di atas ranjang. Kemudian, dia naik merangkak di atas tubuh wanita itu sembari membuka beberapa kancing bajunya.Ambar pun tersentak. Matanya membulat seraya berkata, "ap-apa yang ingin kamu lakukan?" Dia menyanggah tubuhnya dengan siku dan bergerak mundur seolah-olah enggan disentuh.Junaedi tersenyum tipis setelah mendengar kalimat itu terlontar dari bibir merahnya yang menggoda. Di mana sosok Ambar yang terlihat rapuh tadi? Seketika lenyap. "Berapa kali kau sudah melakukan hal semacam ini dengan Marsodi?" Tatapannya menjadi sangat dingin dan tajam.Dua tahun mereka menikah, namun belum pernah sama sekali melakukan kontak fisik secara intim. Ambar selalu mengelak, meskipun sang pemilik tubuh sangat menginginkannya."A-apa maksudmu?" balasnya pura-pura tidak tau."Heh! Kau benar-benar membuatku muak!" Junaedi menuruni ranjang, lalu berpaling dari wanita itu. Dia pergi ke ruang tengah dan memanjakan tubuhnya di sofa.Sebelumnya, Junaedi telah mendapat wasiat dari Sutejo agar ia berhati-hati dengan Keluarga Wijaya. Hal ini karena, kemungkinan yang telah membunuh kedua orangtua adalah Keluarga Wijaya.Tak lama kemudian, Susi yang telah selesai mandi datang ke sisi lelaki itu ikut memanjakan tubuhnya.Mengingat wasiat sang kakek, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan dalam benak Junaedi. Dia pun bertanya kepada wanita di sisinya."Apa pendapat Tante tentang Keluarga Wijaya?""Sejak kapan kamu memperdulikan keluarga istrimu?" balasnya malah balik bertanya."Ckck. Saat aku menginjakkan kaki di tempat keluarganya, mereka semua memandangku rendah dan menganggapku sebagai menantu yang tidak berguna!" Junaedi berdiri sedikit menghentakkan kedua tangannya ke meja.Susi pernah mendengar beberapa informasi dari suaminya, bahwa seorang bernama Guntur Wijaya menurut prediksi adik dari direktur perusahaan tempat ia bekerja, dia adalah penjahat kelas kakap. Dia memiliki empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan.Anak pertama dan keduanya, yaitu Danang Wijaya dan Febian Wijaya adalah ahli bela diri yang cukup mahir. Sedangkan anak ketiganya, Ade Wijaya adalah seorang master chef nusantara yang berhasil mendapatkan juara pertama dalam sebuah kompetisi di tahun lalu. Dan yang terakhir adalah Ambar Wijaya, istri Junaedi.Sang adik direktur menduga, seorang bernama Guntur Wijaya ini, telah membunuh banyak orang tanpa diketahui jejaknya. Sekarang pun, tidak jelas di mana keberadaannya. Orang itu selalu berpindah-pindah tempat demi menghilangkan jejak. Itulah sebabnya Sutejo menduga bahwa kematian ayah dan ibu Junaedi ada hubungannya dengan keluarga Ambar. Kakek tua itu telah mendapat informasi tersebut dari cucu menantunya."Kamu, pernah ke tempat keluarga Ambar?" tanya Susi tampak antusias."Ya. Emm ... tapi, baru sekali," ujar Junaedi menggaruk-garuk pipi yang tak gatal."Heh!" Susi mendengus. Baru sekali? Yah, mungkin saat ini mereka sudah berpindah tempat lagi."Tante, beri aku kesempatan sekali lagi! Beri aku satu tempat saja. Aku akan tunjukan, bahwa aku memang pantas menjadi pewaris semua bisnis ayah!""Tidak semudah itu, Juned. Performamu sangat jelek di hadapan para pegawai ayahmu. Tante bisa menempatkanmu di Rumah Makan Wah Pi-Lok, tapi hanya bisa menjadi seorang pelayan. Sejak kematian ayahmu, tempat itu yang paling mengalami penurunan sangat drastis. Tempat itu menjadi sangat sepi karena hasil masakan para koki tidak sesuai harapan. Racikan mereka sangat berbeda dengan racikan ayahmu, sehingga membuat pelanggan menyesal dan tidak pernah datang lagi."Menjadi pelayan? Junaedi pikir, ini tidak terlalu buruk. Dia bisa melihat bagaimana para koki itu bekerja."Baiklah, Tante. Tidak masalah meskipun hanya menjadi seorang pelayan. Jadi, mulai kapan aku akan bekerja?""Besok siang. Rumah makan akan buka jam satu siang sampai jam sembilan malam. Tante akan mengurusnya untukmu."Matahari pun mulai meninggi hingga hingga sedikit condong ke barat. Ambar masih termenung di dalam kamar, memikirkan cara bagaimana ia harus menghadapai Junaedi selanjutnya. Perubahan sikap suaminya yang tak terduga, membuat wanita itu terus mendengus hingga beberapa kali."Aaargh! Bisa-bisanya aku memikirkan pria itu!" umpat Ambar mengacak-acak kepalanya..Tiba-tiba, terbesit dalam pikirannya suatu ide. Ambar pun keluar kamar mencari sosok pria itu. Dia menjumpai suaminya sedang duduk serius di ruang tengah, membaca sebuah majalah maskan tradisional di tangannya. Junaedi melirik sesaat, tapi kemudian dia kembali asik dengan majalah di hadapanya.Ambar perlahan mendekat dan duduk di sisinya. Junaedi masih terdiam tak terucap sepatah kata pun."Kakak-kakakku bilang, mereka akan datang untuk makan malam!" ucap Ambar tiba-tiba.Seketika itu, Junaedi menutup majalah yang sedang di
Membunuh? Satu kata horor ini, kini menghantui Junaedi mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu.Jamelah menutup teleponnya karena tidak ada yang harus diinformasikan lagi, sedangkan Junaedi masih termenung memikirkan kalimat terakhir yang dia ucapkan.Susi melirik ke arah Junaedi sebentar, lalu kembali fokus pada Marina yang datang dengan membawakan dua porsi batagor untuk mereka. Susi berbisik kepada wanita itu agar membungkuskan tiga porsi lagi untuk dibawa pulang sesuai dengan pesanan Junaedi."Jika bukan karena lima restoran ayahku masih dalam kendalinya, aku akan menceraikan wanita itu detik ini juga!" celetuk Junaedi cukup keras, membuat Susi dan Marina yang berada di sampingnya tersentak.Namun, karena masih banyak pelanggan yang belum dilayani, Marina mengundurkan diri dan kembali melakukan pekerjaannya."Ini salahmu terlalu bodoh! Kalau bukan kamu sendiri yang memberikan hak kepada wanita itu, dia tidak akan bisa mengambil bisnis ayahmu!" ungkap Susi terlihat geram sem
Beberapa saat lalu ketika Jamelah sedang menjalankan perintah."Sepertinya aku telah menemukan orang yang cocok untuk menjadi guruku, Tante," ucap Junaedi kepada Susi sembari menatap kagum gadis berkacamata bulat itu."Dari mana kamu mendapatkan pembatu sehebat itu?" tanya Susi juga tampak kagum melihatnya."Aku tidak tau. Dia tiba-tiba datang mencari pekerjaan.""Bagaimana dengan asal usulnya?""Oh, aku ingat, dia pernah bilang, bahwa dirinya adalah anak dari seorang jawara kampung. Dia cukup kuat. Jadi, tidak masalah melakukan suatu pekerjaan yang berat," jelas Junaedi."Hmm. Ini masuk akal." Susi menatap gadis itu dengan mata menyelidik.Ketika mereka melihat Jamelah sudah berhasil membereskan dua orang itu, mereka pun datang berbondong-bondong. Junaedi membuka penutup kepala dua orang itu dan membalikkan tubuh mereka agar terlentang."Mereka bukan dari Keluarga Wijaya!" kata Junaedi."Lalu, siapa mereka?" tanya Susi. Dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka.Junaedi melihat
Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.Bugh!"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.Buak!Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara."Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan."Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!""Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya."Siap, Mas!"Junaedi kembali ke dapur dan melempar catata
Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang k
Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit
Jamelah mengantar Sutejo ke kamar tamu dan membantunya berbaring ke ranjang. Saat Jamelah hendak pamit undur diri, tangan pak tua itu dengan lemah menarik baju Jamelah."Nak, bolehkah aku minta tolong?" ujar Sutejo."Kakek mau minta tolong apa?""Sebelum Junaedi pulang, aku melihat Ambar menyimpan gunting di sakunya. Tolong, kamu lihat kamarnya dan bangunkan dia! Aku sangat khawatir."Jamelah pun segera berlari menuju kamar Junaedi. Pintunya terkunci. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Junaedi.Sementara itu, di dalam kamar, aksi Ambar terhenti karena suara getaran di ponsel suaminya. Sayangnya suara getaran itu terdengar sangat lirih sehingga tidak mampu membangunkan Junaedi. Ambar pun melihat layar ponsel itu."Jamelah?" Dia mengangkatnya, karena ingin tahu apa yang akan pembantu itu katakan."Halo, Pak Juned." Jamelah terhenti. Sebenarnya, dia hanya ingin mengetes, siapa yang mengangkat ponsel milik Junaedi."Dasar pembantu tak punya sopan santun! Beraninya kau mengganggu malamku
Junaedi segera membuang separuh air dari kuah tersebut dengan menyaringnya."Loh, kenapa dibuang, Mas Juned?" tanya Aris yang entah itu hanya pura-pura, atau benar-benar tidak tahu."Nggak tau, Ris. Garam tiba-tiba abis separo dan kuahnya jadi asin banget!"Wajah Aris berkerut melihat setoples garam yang tinggal separuh. "Loh! Kok bisa sih, perasaan saya nggak kasih garam lagi, karena rasanya memang sudah pas. Saya bener-bener nggak tau, Mas."Jika bukan Aris, lalu siapa? Pikiran Junaedi berkelut. Kemudian dia memfokuskan diri untuk menumis bumbu yang baru dan menuangkan air lagi ke dalam setengah kuah yang tersisa.Lima menit kemudian, beberapa mobil datang, parkir di depan restoran. Namun tampaknya mereka tidak langsung masuk dan sibuk dengan sesuatu."Mana tanggganya?" tanya Tukijo kepada salah satu teman-temannya yang sedang berkerumun mengelilinginya.Cecep bergegas pergi ke bagasi untuk mengambil tangga lipat.Tukijo meminta bantuan Sugeng, untuk memegang ujung spanduk yang ia b