Share

2. Titik kesabaran

Pada pagi hari, Junaedi terbangun di sebuah kamar petak berukuran 3×3 meter persegi, dalam keadaan setengah tubuhnya telah terbalut perban. Dia mendapati seorang gadis berambut kepang duduk tertidur di tepi ranjang sembari menggenggam erat tangannya.

Siapa gadis ini? Pikirnya.

Junaedi berusaha melepaskan genggaman tangan gadis itu. Namun, gerakannya membuat gadis itu terbangun.

Melihat pria di depannya sudah sadar, bahkan duduk menatapnya, gadis itu spontan melepaskan genggaman tangannya.

"Ma-maafkan saya, Pak Juned! Saya tidak bermaksud lancang," ujar gadis itu tak berani menatapnya.

"Kamu siapa?"

"Sa-saya Jamelah, pembantu baru di rumah Anda. Bukankah Anda sendiri yang menerima saya untuk bekerja di sini tiga hari yang lalu?"

"Tiga hari yang lalu?" Junaedi tampak mengingat-ingat kembali. "Oh, benar. Aku mengingatnya."

Jamelah adalah gadis desa berpenampilan jadul dengan gaya rambut kepang dan kacamata bulat. Dia berumur 20 tahun dan merupakan anak sulung dari seorang jawara kampung yang cukup terkenal di desanya. Gadis itu cukup memiliki bekal pelatihan beladiri. Sehingga, sang ayah mengizinkannya untuk hidup mandiri.

"Saya akan mengambilkan air minum untuk Anda!" Jamelah pun beranjak pergi ke dapur.

Junaedi mendengar suara gaduh di ruang tengah. Orang-orang di sana terdengar sedang asik mencemooh dirinya hingga tertawa lepas.

"Seekor anjing bahkan lebih pintar dari Junaedi, bodohnya dia tidak menyimpan kecurigaan sedikitpun kepadamu, Ambar. Aku benar-benar tidak menyangka pria bodoh itu belum menyentuhmu seujung lidah pun! Ha ha ha!"

Junaedi memakai pakaiannya dan keluar dari kamar pembantu itu. Dia berpapasan dengan Jamelah yang sedang menggenggam segelas air putih di tangannya.

"Apakah Anda ingin menemui mereka, Pak Juned? Saya pikir, itu bukan ide yang bagus. Saya tidak memberitahu mereka bahwa Anda ada di sini," ujar Jamelah tampak khawatir.

Tiba-tiba, Ambar yang bermaksud ke washtafel dapur untuk cuci tangan, matanya terbelalak melihat sosok Junaedi berdiri di hadapannya.

"Mas Juned! Ka-kapan pulang?" tanya Ambar sangat canggung.

"Junaedi?"

Mendengar nama Junaedi terucap dari lisan Ambar, Marsodi segera bangkit dari tempat duduknya dan menyusul wanita itu diikuti oleh kedua saudaranya.

"Dunia ini benar-benar sempit." Marsodi melingkarkan tangannya ke pinggang Ambar dan berkata, "cepat atau lambat, istrimu akan menjadi milikku sepenuhnya."

"Oh," timpal Junaedi singkat dengan wajah tak peduli.

Kekhawatirannya kepada sang istri sangat sia-sia. Jiwa lain yang berada dalam tubuh Junaedi bukan lagi sosok pria yang mudah terpedaya akan cinta.

"Cih!" decak Marsodi tak puas dengan reaksi Junaedi. Dia pikir, si budak cinta ini akan meluapkan emosinya dengan membabi buta. Tidak sesuai harapan.

Junaedi melangkahkan kakinya melewati mereka berdua begitu saja. Namun, Marsodi memerintahkan dua adik kembarnya, yaitu Joko dan Juki untuk menghadang Junaedi.

Marsodi pun berbalik mendekati Junaedi. Lalu ia berbisik di telinganya, "kau tau, mengapa kita dipertemukan lagi? Ini adalah takdir bahwa kau harus mati di tanganku!" Lelaki itu meremas bekas luka semalam di punggung Junaedi sembari menarik kemejanya.

"Tapi, sebelum kau mati, aku akan berbaik hati membiarkanmu bersenang-senang dengan pembantu barumu!" lanjut Marsodi melirik Jamelah di belakangnya menunjukkan seringai.

Bersenang-senang dengaku? Apa maksudnya? Batin Jamelah. Gadis itu meletakkan segelas air yang ia bawa di atas meja makan.

Tampak si Juki dengan bersemangat mencampurkan serbuk putih ke dalam air. Lalu mereka bertiga memaksa Junaedi untuk meminumnya. Meskipun lelaki itu berusaha terus mengelak, mereka bertiga menekan kelemahannya hingga akhirnya minuman tersebut berhasil tertenggak olehnya. Lalu mereka melemparkan Junaedi ke kamar pembantu.

Kini, giliran Jamelah. Tentu saja gadis itu menang dengan memberikan perlawanan, hingga berhasil menjatuhkan Joko, Juki, dan Marsodi dengan kekuatan bela dirinya.

Setelah itu, Jamelah segera masuk ke kamar. Kemudian menendang perut Junaedi sampai ia memuntahkan segala isi perutnya. Namun, dia melupakan keberadaan Ambar di sana. Ambar menyuntikkan sebuah jarum berisi suatu cairan ke tengkuk Jamelah, hingga gadis itu jatuh pingsan. Kemudian, Ambar menutup dan mengunci pintu rapat-rapat.

"Joko, kau hubungi ayah agar dia datang ke sini bersama Mbah Karso, Kakek Buyut Sutejo, dan Om Wito supaya mereka menyaksikan pertunjukan," perintah Marsodi kepada adiknya.

Sementara itu, di dalam kamar, Junaedi merasa lega karena telah memuntahkan minuman itu. Dia merangkak mendekati Jamelah sembari memegangi perut. Sekujur tubuhnya berdenyut tiada henti.

Sesekali lelaki itu mengeluh. "Mengapa aku terbangun dalam keadaan seperti ini? Sial!" Jiwa dalam diri Junaedi tersadar, mengeluh bukanlah gaya hidupnya. Baru kali ini dia merasakan dirinya sangat dihinakan.

Setelah Jamelah terbangun, dia merasa aneh dengan kondisi tubuhnya. Panas di bagian yang terdalam dan merasa sangat bergairah.

Heh! Inikah yang mereka maksud dengan bersenang-senang? Jamelah menyunggingkan senyum.

"Hey, apa kamu baik-baik saja?" tanya Junaedi mendekatinya.

"Tidak. Saya tidak baik-baik saja, Pak. Tetaplah di sana dan jangan mendekat! Atau saya akan memangsa Anda," balasnya. Wajahnya memerah, dia terus menutup diri, khawatir dirinya benar-benar akan menerjang lelaki itu.

Junaedi memahami kondisinya. Dia tetap mendekat dan berkata, "aku bisa membatumu dengan pijatan refleksi. Percayalah!"

Jamelah pun mengangguk dan membiarkan lelaki itu membantunya. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka tepat pada saat Junaedi memijat bagian perutnya.

Di balik pintu tersebut, tampak si kakek tua Sutejo duduk di kursi roda, datang bersama Karso Sutejo (anak kedua Sutejo), Wito Sutejo (anakpertama Karso), dan Santo Sutejo (anak kedua Karso/ayah Marsodi).

"Apa-apaan ini!" Karso berkacak pinggang dengan suara lantang menatap tajam Junaedi.

Santo menendang dahi Junaedi dengan tumitnya hingga jatuh terlentang. "Kau punya istri cantik macam Ambar, malah kau anggurin! Goblok! Pria nggak guna, memang paling cocok bersanding dengan pembantu! Cuih!" Lesatan ludah mendarat di wajah Junaedi.

Sementara itu, Marsodi, Joko, Juki, dan Ambar terkekeh puas melihat Junaedi dalam keterpurukan.

"Jadi, kalian sengaja membawaku ke sini untuk menyaksikan ini?" ujar Sutejo dengan suara lirih.

"Tentu saja, Kakek. Aku cuma pengin Kakek tau, bahwa anak dari cucu kesayangan Kakek ini, tidak sebaik ayahnya. Dia hanyalah pembawa aib keluarga!" timpal Santo.

Hati Sutejo bagai tertusuk duri yang sangat tajam. Mereka menghakimi Junaedi secara sepihak, bahkan tanpa memperdulikan dirinya sebagai orang tertua. Kakek tua itu berusaha mengatur napas menjaga emosinya agar penyakit jantungnya tidak kambuh lagi.

"Tenanglah Kakek, Susi akan segera datang!" ujar Wito menggenggam erat tangan sang kakek untuk menghiburnya.

Di samping itu, Karso melangkah menghampiri Junaedi dan Jamelah. Dia menjambak dan mencengkeram rambut mereka. Lalu, menyeret dan melemparkan mereka ke halaman rumah.

"Kau adalah aib Keluarga Sutejo! Aku akan membiarkanmu bersenang-senang dengan wanita jalang ini. Tapi, sebagai balasannya, kau akan dikeluarkan dari silsilah Keluarga Sutejo dan angkat kaki dari rumah ini! Ayahmu, Bambang Sutejo tidak akan sudi memiliki anak sepertimu!" teriak Karso mendongakkan dagu Junaedi, lalu menamparnya dengan sangat keras.

"Siapa yang berani mengeluarkannya dari silsilah Keluarga Sutejo? Anda bahkan tidak berhak mengusir Junaedi dari rumah ini, Paman!" ucap seorang wanita keluar dari sebuah mobil hitam yang cukup megah. Wanita itu berjalan melangkah diiring oleh lima lelaki kekar berjas hitam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status