"Besok siang. Rumah makan akan buka jam satu siang sampai jam sembilan malam. Tante akan mengurusnya untukmu."
Matahari pun mulai meninggi hingga hingga sedikit condong ke barat. Ambar masih termenung di dalam kamar, memikirkan cara bagaimana ia harus menghadapai Junaedi selanjutnya. Perubahan sikap suaminya yang tak terduga, membuat wanita itu terus mendengus hingga beberapa kali."Aaargh! Bisa-bisanya aku memikirkan pria itu!" umpat Ambar mengacak-acak kepalanya..Tiba-tiba, terbesit dalam pikirannya suatu ide. Ambar pun keluar kamar mencari sosok pria itu. Dia menjumpai suaminya sedang duduk serius di ruang tengah, membaca sebuah majalah maskan tradisional di tangannya. Junaedi melirik sesaat, tapi kemudian dia kembali asik dengan majalah di hadapanya.Ambar perlahan mendekat dan duduk di sisinya. Junaedi masih terdiam tak terucap sepatah kata pun."Kakak-kakakku bilang, mereka akan datang untuk makan malam!" ucap Ambar tiba-tiba.Seketika itu, Junaedi menutup majalah yang sedang dibacanya. Kemudian dia berkata, "kalau begitu, nanti malam aku akan mengajak Tante Susi dan kakek buyut keluar untuk jalan-jalan. Kamu bisa memasak sendiri untuk makan malam mereka, kan.""Apa-apaan kamu ini!" Ambar mengangkat tubuhnya dan berbicara dengan suara meninggi. Tanpa sadar, dia mulai terbawa emosi. "Beginikah caramu menghadapi keluargaku? Di mana sopan santunmu!""Sopan santun? Ckck." Junaedi pun berdiri menegakkan badannya tak mau kalah. "Bukankah kamu sendiri yang mengundang mereka ke rumah untuk mempermalukanku? Mempermalukan suamimu yang hanya seorang pengangguran! Oh, atau mungkin kamu sudah mendapat kabar, bahwa aku akan bekerja menjadi pelayan di salah satu restoran yang dikelola Tante Susi. Jadi, kamu segaja mengundang mereka untuk menertawakanku?"Dugaan Junaedi benar-benar tepat sasaran membuat Ambar tercengang kehabisan kata-kata. Junaedi melempar buku majalah yang dipegangnya ke meja, lalu dia pergi karena merasa muak dengan wanita itu.Wanita itu tampak mangut-mangut mendengus kesal. Segera dia mengabarkan kepada keluarganya, betapa malang dirinya akan sikap sang suami yang telah berubah.Setelah tiba sore hari menjelang petang, Ambar berhadapan kembali dengan Junaedi di kamar mereka. Pria itu sedang bersiap-siap memakai sweter merah maron, dengan baju dalaman kemeja putih dan celana abu-abu sneakers putih."Kakak-kakakku tidak jadi makan malam bersama di rumah kita," celetuk Ambar meraih lengan Junaedi, berharap ia akan membatalkan rencananya untuk pergi."Terserah! Itu adalah urusanmu. Mereka datang atau tidak, itu tidak akan merubah rencanaku untuk pergi!" balas Junaedi. Lelaki itu menepis tangan Ambar, lalu pergi meninggalkan kamar dengan sikap dingin, sedingin es di kutub utara.Jleb!Sangat menusuk di hati Ambar. "Sialan!" umpatnya mengepal kuat kedua tangannya.Ketika Junaedi sedang berjalan menuju kamar tamu untuk menemui Susi dan Sutejo, dia melihat Jamelah yang berniat ke dapur untuk mencuci piring."Hey, Jamelah!" serunya memanggil gadis itu."Ya, Pak?" Gadis itu datang menghadap."Aku ada pekerjaan tambahan untukmu!""Pekerjaan tambahan? Mengawasi istri Anda?" ujar gadis itu menduga."Benar!""Baiklah! Tapi Anda harus memberiku bonus dengan tiga porsi batagor di restoran Blok M. Saya akan mengawasi Nyonya Ambar sampai terbit matahari esok, bagaimana?""Tiga porsi batagor? Apa kamu kelaparan?" tanya Junaedi melihat porsi makan gadis itu cukup wow."Saya tidak lapar, Pak Juned. Hanya saja, batagor di tempat itu adalah favorit saya."Tempat yang ditunjukan Jamelah adalah salah satu restoran besar bintang lima milik mediang Chef Bambang Sutejo, ayah kandung Junaedi yang sudah meninggal. Sekarang, lima restoran milik Bambang Sutejo, diambil alih oleh adiknya, Susi Sutejo, dan lima restoran lagi dikelola oleh Ambar Wijaya (istri Junaedi). Hal ini, karena anak laki-laki satu-satunya, yaitu Junaedi Sutejo tidak bisa diandalkan.Namun, Susi sangat sibuk menjadi asisten konglomerat nomor satu, Sri Ningsih Madmirdja Direktur Perusahaan Gaje. Sehingga, dia memberi kesempatan kepada sepupu-sepupunya yang masih menganggur, untuk mengelola restoran-restoran tersebut. Termasuk restoran yang terletak di blok M.Restoran yang dimaksud itu bernama R.M. BaKul, atau kepanjangan dari Rumah Makan Batagor Kulit. Menu spesial di sana adalah batagor kulit ayam dengan tiga macam toping yaitu, bumbu kacang, bumbu kecap, dan bumbu saus. Ketiga toping ini, tentunya bukan toping biasa. Sedikit aroma daun jeruk semerbak, ditambah rasa gurih bawang merah goreng, dan taburan irisan mentimun dadu, membuat batagor semakin nikmat. Inilah salah satu hal yang menjadikan para pengunjung ketagihan. Sebagai pelengkap, di sana juga tersedia lontong, nasi putih, nasi goreng telor, nasi kuning ayam, lalapan, kerupuk, wedang teh lemon hangat, es teh lemon, dan air mineral."Oh, Baiklah! Awasi mulai detik ini! Aku akan pergi ke restoran Blok M untuk makan malam. Setelah pulang nanti, aku akan membawakanmu tiga porsi batagor." Junaedi memberikan secarik kertas berisikan nomor teleponnya.Jamelah pun menerima secarik kertas itu sebagai tanda setuju."Ehem!" Susi datang menyandarkan bahu sebelah kiri ke tembok. "Jadi pergi?""Jadi, Tante! Aku panggil kakek dulu." Junaedi beranjak pergi ke kamar tamu yang tinggal beberapa langkah lagi untuk memanggil sang kakek.Setelah semua siap, mereka bertiga pergi mencari udara segar. Junaedi mengendarai mobil yang Susi bawa dari Jakarta, dan mereka meluncur ke Rumah Makan BaKul perempatan blok M.Junaedi benar-benar penasaran dengan cita rasa makanan di sana. Rumah makan tersebut, kabarnya merupakan rumah makan terlaris dari kelima restoran yang di ambil alih oleh Susi. Rumah makan ini, dikelola oleh sorang gadis bernama Marina.Marina juga termasuk keponakan Susi. Umurnya tiga tahun lebih muda dari Junaedi. Gadis itu tergolong yang paling rajin dari cicit-cicit Sutejo yang lain."Tante Susi! Kenapa tidak ada kabar kalau mau datang?" sambut Marina tergesa-gesa tampak sangat kerepotan. "Kalau Tante kabar-kabar dulu kan, saya bisa sisakan satu tempat."Terlihat semua meja penuh dengan pelanggan. Tempat ini memang tidak pernah sepi. Marina sebagai manager yang ramah dan tegas bisa mengatur semua pegawainya dengan baik."Eh, nggak ada meja kosong ya .... kalau begitu, kami makan di bangku luar saja." Maksud Susi adalah bangku memanjang yang terletak di bawah pohon mangga samping parkiran motor."Jangan, Tante. Di luar dingin. Nanti Kakek masuk angin. Di ruangan saya saja tidak apa. Nanti saya ambilkan dua kursi lagi," ujar Marina begitu simpati kepada sang kakek."Nggak perlu repot-repot. Ruanganmu buat Kakek saja. Tante sama Junaedi agak kepanasan.""Oh, ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, mau makan versi apa, Tante?""Samain aja tiga lontong batagor kuah kacang sama minum air putih!" jawab Susi."Siap, Tante!" Marina berbalik segera menyiapkan sajian.Saat mereka sedang menunggu, tiba-tiba ponsel Junaedi bergetar.Drrrrt!Tampak di layar ponsel, nomor tak dikenal sedang menelpon."Siapa?" Tanya Susi.Junaedi meninggikan kedua bahunya sembari menggelengkan kepala. Kemudian, dia mengangkat telepon tersebut."Halo, Pak Juned! Ini saya, Jamelah. Kakak-kakak Nyonya Ambar sudah datang, Pak."Heh, akhirnya mereka tetap datang juga! Batin Junaedi. Tidak tau apa yang akan mereka lakukan di rumahnya. Tiba-tiba, muncul firasat buruk menjelajahi pikiran Junaedi."Pak Juned, Anda harus berhati-hati. Sepertinya, Nyonya Ambar dan saudara-saudaranya berencana ingin membunuh Anda," lanjut Jamelah seakan-akan itu adalah suatu jawaban dari firasat buruknya.Membunuh? Satu kata horor ini, kini menghantui Junaedi mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu.Jamelah menutup teleponnya karena tidak ada yang harus diinformasikan lagi, sedangkan Junaedi masih termenung memikirkan kalimat terakhir yang dia ucapkan.Susi melirik ke arah Junaedi sebentar, lalu kembali fokus pada Marina yang datang dengan membawakan dua porsi batagor untuk mereka. Susi berbisik kepada wanita itu agar membungkuskan tiga porsi lagi untuk dibawa pulang sesuai dengan pesanan Junaedi."Jika bukan karena lima restoran ayahku masih dalam kendalinya, aku akan menceraikan wanita itu detik ini juga!" celetuk Junaedi cukup keras, membuat Susi dan Marina yang berada di sampingnya tersentak.Namun, karena masih banyak pelanggan yang belum dilayani, Marina mengundurkan diri dan kembali melakukan pekerjaannya."Ini salahmu terlalu bodoh! Kalau bukan kamu sendiri yang memberikan hak kepada wanita itu, dia tidak akan bisa mengambil bisnis ayahmu!" ungkap Susi terlihat geram sem
Beberapa saat lalu ketika Jamelah sedang menjalankan perintah."Sepertinya aku telah menemukan orang yang cocok untuk menjadi guruku, Tante," ucap Junaedi kepada Susi sembari menatap kagum gadis berkacamata bulat itu."Dari mana kamu mendapatkan pembatu sehebat itu?" tanya Susi juga tampak kagum melihatnya."Aku tidak tau. Dia tiba-tiba datang mencari pekerjaan.""Bagaimana dengan asal usulnya?""Oh, aku ingat, dia pernah bilang, bahwa dirinya adalah anak dari seorang jawara kampung. Dia cukup kuat. Jadi, tidak masalah melakukan suatu pekerjaan yang berat," jelas Junaedi."Hmm. Ini masuk akal." Susi menatap gadis itu dengan mata menyelidik.Ketika mereka melihat Jamelah sudah berhasil membereskan dua orang itu, mereka pun datang berbondong-bondong. Junaedi membuka penutup kepala dua orang itu dan membalikkan tubuh mereka agar terlentang."Mereka bukan dari Keluarga Wijaya!" kata Junaedi."Lalu, siapa mereka?" tanya Susi. Dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka.Junaedi melihat
Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.Bugh!"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.Buak!Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara."Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan."Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!""Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya."Siap, Mas!"Junaedi kembali ke dapur dan melempar catata
Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang k
Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit
Jamelah mengantar Sutejo ke kamar tamu dan membantunya berbaring ke ranjang. Saat Jamelah hendak pamit undur diri, tangan pak tua itu dengan lemah menarik baju Jamelah."Nak, bolehkah aku minta tolong?" ujar Sutejo."Kakek mau minta tolong apa?""Sebelum Junaedi pulang, aku melihat Ambar menyimpan gunting di sakunya. Tolong, kamu lihat kamarnya dan bangunkan dia! Aku sangat khawatir."Jamelah pun segera berlari menuju kamar Junaedi. Pintunya terkunci. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Junaedi.Sementara itu, di dalam kamar, aksi Ambar terhenti karena suara getaran di ponsel suaminya. Sayangnya suara getaran itu terdengar sangat lirih sehingga tidak mampu membangunkan Junaedi. Ambar pun melihat layar ponsel itu."Jamelah?" Dia mengangkatnya, karena ingin tahu apa yang akan pembantu itu katakan."Halo, Pak Juned." Jamelah terhenti. Sebenarnya, dia hanya ingin mengetes, siapa yang mengangkat ponsel milik Junaedi."Dasar pembantu tak punya sopan santun! Beraninya kau mengganggu malamku
Junaedi segera membuang separuh air dari kuah tersebut dengan menyaringnya."Loh, kenapa dibuang, Mas Juned?" tanya Aris yang entah itu hanya pura-pura, atau benar-benar tidak tahu."Nggak tau, Ris. Garam tiba-tiba abis separo dan kuahnya jadi asin banget!"Wajah Aris berkerut melihat setoples garam yang tinggal separuh. "Loh! Kok bisa sih, perasaan saya nggak kasih garam lagi, karena rasanya memang sudah pas. Saya bener-bener nggak tau, Mas."Jika bukan Aris, lalu siapa? Pikiran Junaedi berkelut. Kemudian dia memfokuskan diri untuk menumis bumbu yang baru dan menuangkan air lagi ke dalam setengah kuah yang tersisa.Lima menit kemudian, beberapa mobil datang, parkir di depan restoran. Namun tampaknya mereka tidak langsung masuk dan sibuk dengan sesuatu."Mana tanggganya?" tanya Tukijo kepada salah satu teman-temannya yang sedang berkerumun mengelilinginya.Cecep bergegas pergi ke bagasi untuk mengambil tangga lipat.Tukijo meminta bantuan Sugeng, untuk memegang ujung spanduk yang ia b
"Maaf, Pak Juned. Saya hanya sedikit terkejut. Saya akan segera membersihkannya," ujar Jamelah segera bergegas melakukan pekerjaan."Aku akan membantumu!" Junaedi mengambil sebuah lap dan ikut membersihkan noda merah yang tercecer di dinding kamar mandi.Sesekali, Junaedi melirik ke arah Jamelah. Khawatir dia akan terganggu kehidupannya karena dihantui dengan teror. Namun setelah melihatnya, tak tampak sedikitpun wajah panik atau takut. Malah, dia terlihat begitu serius dan tenang menghadapi teror ini. Tanpa sadar, Junaedi menatap Jamelah terlalu lama karena melamun."Pak? Pak Juned?" Jamelah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Junaedi, hingga lelaki berjakun itu akhirnya tersadar."Oh, maaf," sahutnya."Bapak melamun apa sih? Kok ngeliatin saya sampe segitunya.""Apa kamu tidak khawatir?""Pak Juned tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya bisa melindungi diri sendiri. Justru yang harus Anda khawatirkan adalah Kakek Sutejo," ujar Jamelah mengalihkan pandangannya sembari menggos