Share

6. Hanya satu pembeli

Beberapa saat lalu ketika Jamelah sedang menjalankan perintah.

"Sepertinya aku telah menemukan orang yang cocok untuk menjadi guruku, Tante," ucap Junaedi kepada Susi sembari menatap kagum gadis berkacamata bulat itu.

"Dari mana kamu mendapatkan pembatu sehebat itu?" tanya Susi juga tampak kagum melihatnya.

"Aku tidak tau. Dia tiba-tiba datang mencari pekerjaan."

"Bagaimana dengan asal usulnya?"

"Oh, aku ingat, dia pernah bilang, bahwa dirinya adalah anak dari seorang jawara kampung. Dia cukup kuat. Jadi, tidak masalah melakukan suatu pekerjaan yang berat," jelas Junaedi.

"Hmm. Ini masuk akal." Susi menatap gadis itu dengan mata menyelidik.

Ketika mereka melihat Jamelah sudah berhasil membereskan dua orang itu, mereka pun datang berbondong-bondong. Junaedi membuka penutup kepala dua orang itu dan membalikkan tubuh mereka agar terlentang.

"Mereka bukan dari Keluarga Wijaya!" kata Junaedi.

"Lalu, siapa mereka?" tanya Susi. Dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka.

Junaedi melihat mulut dua orang itu mengeluarkan busa putih. Dia mengamati dengan seksama, lalu mengecek denyut nadi dan pernapasan mereka.

"Mereka sudah tewas!" ucap Junaedi kepada yang lain.

Junaedi mengira bahwa mereka tewas karena menelan racun. Seseorang pasti telah memberikan racun pada mereka dengan waktu yang telah ditentukan. Jika mereka tidak bisa menjalankan tugas untuk mendapatkan penawarnya dalam waktu itu, maka mereka akan mati secara mendadak sekalipun.

"Ayo pulang dan beristirahat!" ajak Susi sembari mendorong kursi roda Sutejo menuju rumah. Dia memerintahkan dua bodyguardnya untuk membereskan mayat-mayat itu.

Tidak ada yang bisa dimintai keterangan karena kedua orang itu telah mati.

Mereka melanjutkan perjalanan pulang, menempuh dua ratus meter dengan berjalan kaki. Setelah sampai rumah, mereka disambut oleh wajah kecut Ambar.

"Ya ampun, Juned. Apa yang terjadi denganmu?" ujar Ambar sok perhatian.

Junaedi segera berpaling tak peduli. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Saat melewati Ambar, lelaki itu berkata di sisi telinganya, "kau, carilah kamar lain untuk tidur!" Kemudian, Junaedi masuk ke kamar dan mengunci pintu.

Sementara itu, saat Jamelah duduk santai sedang asik menikmati makanan favoritnya di dapur, tiba-tiba sebuah pesan hadir di ponsel jadulnya.

[Hey, Jamelah! Tidur cepat! Besok pagi, ajari aku bela diri!] Pesan singkat dari Junaedi tanpa basa-basi.

[Hah? Apakah Anda serius, Pak?] balas Jamelah yang ternyata ini menjadi pesan terakhir tanpa balasan.

Keesokan harinya, tepat pukul lima pagi, Junaedi sudah menunggu di halaman rumah.

"Astaga, ini masih sangat pagi, Pak!" protes Jamelah dengan wajah cemberut.

"Ssst! Mumpung Ambar masih tidur! Satu jam saja, oke. Aku akan tambah gajimu dua kali lipat."

"Huh! Dua kali lipat, plus tiga porsi batagor! Bagaimana?" balas gadis itu menawar.

Junaedi mengernyitkan dahi dengan sedikit tawa. "Baiklah! Plus tiga porsi batagor!" ujarnya setuju.

Jamelah pun membantu Junaedi berlatih. Mulai dari stamina, tenaga, kekuatan fisik, dan lainnya. Pria itu memiliki stamina yang cukup bagus sebagai seorang lelaki. Mereka juga mencoba berlatih adu tanding. Satu jam berlalu dengan cepat dengan hasil yang cukup memuaskan.

Setelah itu, mereka istirahat di sofa ruang tengah, bersama Susi yang kebetulan sudah berada di sana sejak mereka latihan. Tiba-tiba, Susi mendapat telepon dari suaminya.

"Cepat kembali ke perusahaan! Direktur sangat membutuhkanmu!"

Susi yang tadinya berniat menginap di rumah Junaedi selama tiga hari lagi, kini harus membatalkan rencananya dan bergegas kembali ke Perusahaan.

"Biarkan aku yang merawat Kakek Buyut di sini. Tante bisa berkunjung ke rumahku kapan saja," ujar Junaedi melihat Susi tampak tergesa-gesa.

"Tolong jaga Kakek ya, Junaedi!" ucap Susi, lalu pergi berpamitan.

__________

Waktu siang pun tiba. Junaedi sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia bekerja di tubuh yang berbeda. Akhirnya dia sampai dan menginjakkan kakinya di depan sebuah rumah makan, yang merupakan salah satu peninggalan dari bisnis ayahnya. Dia melangkah masuk dan segera menuju ruang ganti untuk memakai seragam pelayan.

"Selamat datang pelayan baru!" sambut Joko Sutejo dengan nada mengejek. Susi memberikan kepercayaan kepadanya sebagai seorang manajer untuk mengelola rumah makan tersebut.

Rumah makan itu terdiri beberapa pegawai diantaranya, satu Manager, satu kepala koki, dua koki pembantu, satu penjaga kasir dan dua pelayan. Namun, karena semakin hari semakin sepi pengunjung, Rumah Makan Wah Pi-Lok ini memecat satu pelayan dan satu koki pembantu, sedangkan penjaga kasir mengundurkan diri dengan mencuri beberapa uang karena tidak mendapatkan gaji. Kini hanya tersisa satu manager mendapat pekerjaan doble di meja kasir. Satu kepala koki, satu koki pembantu, dan satu pelayan. Pelayan itu adalah Junaedi.

Junaedi sama sekali tak peduli dengan sambutan yang diberikan Joko. Dia langsung antusias bekerja sebagaimana kewajibannya. Setiap ada pengunjung yang melewati pintu masuk, Junaedi selalu menyapa dengan ramah.

"Mas, tolong seporsi cilok kuah pakai kecap aja ya, dibungkus!" teriak seorang wanita paruh baya memanggil Junaedi.

Junaedi segera menghampiri wanita itu dengan membawa sebuah catatan. "Oh, baik, Ibu! Apakah ada tambahan lain? Mungkin nasi, lontong, atau kerupuk bulat?"

"Kerupuknya dua boleh deh!"

"Siap, Ibu! Sudah? Atau mau air mineralnya sekalian?"

"Sudah."

"Baik! Mohon ditunggu ya ...." Junaedi bergegas membawa catatan kepada para koki agar menyiapkan pesanan.

Namun, saat Junaedi menyerahkan catatan itu, si kepala koki melempar catatan tersebut ke wajahnya. "Kumpulkan dulu minimal tiga pesanan! Baru kau datang ke sini!" ucapnya membentak Junaedi.

Junaedi kembali menegakkan kepala. Bola matanya menajam seperti binatang buas yang siap menerkam. Dia maju dan menarik kerah baju sang kepala koki ke hadapannya. Si kepala koki ini cukup kekar, tapi sangat kurus.

"Oh, jadi begini cara kalian bekerja? Pantas saja pelanggan semakin sepi! Sangat tidak profesional!" teriak Junaedi lebih keras dari bentakan sang kepala koki, hingga memuncratkan ludah-ludah di mulutnya.

Buak!

Si kepala koki menendang perut Junaedi dengan lututnya. Kemudian memukul punggung dengan sikunya, hingga membuat Junaedi jatuh tersungkur.

"Mana sih, Mas, pesenannya? Kok lama banget." Wanita paruh baya itu mengikuti Junaedi sampai ke dapur tempat meracik.

Betapa kagetnya wanita itu menjumpai Junaedi telah tersungkur di lantai. Dia segera lari keluar ketakutan tanpa memperdulikan pesanannya lagi.

Junaedi bangkit seraya berkata, "apakah kamu puas setelah membuat pembeli kabur?"

"Ckck. Hanya satu pembeli!" jawabnya enteng.

"Hanya satu pembeli kau bilang?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Galih Adi
sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status