Beberapa saat lalu ketika Jamelah sedang menjalankan perintah.
"Sepertinya aku telah menemukan orang yang cocok untuk menjadi guruku, Tante," ucap Junaedi kepada Susi sembari menatap kagum gadis berkacamata bulat itu."Dari mana kamu mendapatkan pembatu sehebat itu?" tanya Susi juga tampak kagum melihatnya."Aku tidak tau. Dia tiba-tiba datang mencari pekerjaan.""Bagaimana dengan asal usulnya?""Oh, aku ingat, dia pernah bilang, bahwa dirinya adalah anak dari seorang jawara kampung. Dia cukup kuat. Jadi, tidak masalah melakukan suatu pekerjaan yang berat," jelas Junaedi."Hmm. Ini masuk akal." Susi menatap gadis itu dengan mata menyelidik.Ketika mereka melihat Jamelah sudah berhasil membereskan dua orang itu, mereka pun datang berbondong-bondong. Junaedi membuka penutup kepala dua orang itu dan membalikkan tubuh mereka agar terlentang."Mereka bukan dari Keluarga Wijaya!" kata Junaedi."Lalu, siapa mereka?" tanya Susi. Dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka.Junaedi melihat mulut dua orang itu mengeluarkan busa putih. Dia mengamati dengan seksama, lalu mengecek denyut nadi dan pernapasan mereka."Mereka sudah tewas!" ucap Junaedi kepada yang lain.Junaedi mengira bahwa mereka tewas karena menelan racun. Seseorang pasti telah memberikan racun pada mereka dengan waktu yang telah ditentukan. Jika mereka tidak bisa menjalankan tugas untuk mendapatkan penawarnya dalam waktu itu, maka mereka akan mati secara mendadak sekalipun."Ayo pulang dan beristirahat!" ajak Susi sembari mendorong kursi roda Sutejo menuju rumah. Dia memerintahkan dua bodyguardnya untuk membereskan mayat-mayat itu.Tidak ada yang bisa dimintai keterangan karena kedua orang itu telah mati.Mereka melanjutkan perjalanan pulang, menempuh dua ratus meter dengan berjalan kaki. Setelah sampai rumah, mereka disambut oleh wajah kecut Ambar."Ya ampun, Juned. Apa yang terjadi denganmu?" ujar Ambar sok perhatian.Junaedi segera berpaling tak peduli. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Saat melewati Ambar, lelaki itu berkata di sisi telinganya, "kau, carilah kamar lain untuk tidur!" Kemudian, Junaedi masuk ke kamar dan mengunci pintu.Sementara itu, saat Jamelah duduk santai sedang asik menikmati makanan favoritnya di dapur, tiba-tiba sebuah pesan hadir di ponsel jadulnya.[Hey, Jamelah! Tidur cepat! Besok pagi, ajari aku bela diri!] Pesan singkat dari Junaedi tanpa basa-basi.[Hah? Apakah Anda serius, Pak?] balas Jamelah yang ternyata ini menjadi pesan terakhir tanpa balasan.Keesokan harinya, tepat pukul lima pagi, Junaedi sudah menunggu di halaman rumah."Astaga, ini masih sangat pagi, Pak!" protes Jamelah dengan wajah cemberut."Ssst! Mumpung Ambar masih tidur! Satu jam saja, oke. Aku akan tambah gajimu dua kali lipat.""Huh! Dua kali lipat, plus tiga porsi batagor! Bagaimana?" balas gadis itu menawar.Junaedi mengernyitkan dahi dengan sedikit tawa. "Baiklah! Plus tiga porsi batagor!" ujarnya setuju.Jamelah pun membantu Junaedi berlatih. Mulai dari stamina, tenaga, kekuatan fisik, dan lainnya. Pria itu memiliki stamina yang cukup bagus sebagai seorang lelaki. Mereka juga mencoba berlatih adu tanding. Satu jam berlalu dengan cepat dengan hasil yang cukup memuaskan.Setelah itu, mereka istirahat di sofa ruang tengah, bersama Susi yang kebetulan sudah berada di sana sejak mereka latihan. Tiba-tiba, Susi mendapat telepon dari suaminya."Cepat kembali ke perusahaan! Direktur sangat membutuhkanmu!"Susi yang tadinya berniat menginap di rumah Junaedi selama tiga hari lagi, kini harus membatalkan rencananya dan bergegas kembali ke Perusahaan."Biarkan aku yang merawat Kakek Buyut di sini. Tante bisa berkunjung ke rumahku kapan saja," ujar Junaedi melihat Susi tampak tergesa-gesa."Tolong jaga Kakek ya, Junaedi!" ucap Susi, lalu pergi berpamitan.__________Waktu siang pun tiba. Junaedi sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia bekerja di tubuh yang berbeda. Akhirnya dia sampai dan menginjakkan kakinya di depan sebuah rumah makan, yang merupakan salah satu peninggalan dari bisnis ayahnya. Dia melangkah masuk dan segera menuju ruang ganti untuk memakai seragam pelayan."Selamat datang pelayan baru!" sambut Joko Sutejo dengan nada mengejek. Susi memberikan kepercayaan kepadanya sebagai seorang manajer untuk mengelola rumah makan tersebut.Rumah makan itu terdiri beberapa pegawai diantaranya, satu Manager, satu kepala koki, dua koki pembantu, satu penjaga kasir dan dua pelayan. Namun, karena semakin hari semakin sepi pengunjung, Rumah Makan Wah Pi-Lok ini memecat satu pelayan dan satu koki pembantu, sedangkan penjaga kasir mengundurkan diri dengan mencuri beberapa uang karena tidak mendapatkan gaji. Kini hanya tersisa satu manager mendapat pekerjaan doble di meja kasir. Satu kepala koki, satu koki pembantu, dan satu pelayan. Pelayan itu adalah Junaedi.Junaedi sama sekali tak peduli dengan sambutan yang diberikan Joko. Dia langsung antusias bekerja sebagaimana kewajibannya. Setiap ada pengunjung yang melewati pintu masuk, Junaedi selalu menyapa dengan ramah."Mas, tolong seporsi cilok kuah pakai kecap aja ya, dibungkus!" teriak seorang wanita paruh baya memanggil Junaedi.Junaedi segera menghampiri wanita itu dengan membawa sebuah catatan. "Oh, baik, Ibu! Apakah ada tambahan lain? Mungkin nasi, lontong, atau kerupuk bulat?""Kerupuknya dua boleh deh!""Siap, Ibu! Sudah? Atau mau air mineralnya sekalian?""Sudah.""Baik! Mohon ditunggu ya ...." Junaedi bergegas membawa catatan kepada para koki agar menyiapkan pesanan.Namun, saat Junaedi menyerahkan catatan itu, si kepala koki melempar catatan tersebut ke wajahnya. "Kumpulkan dulu minimal tiga pesanan! Baru kau datang ke sini!" ucapnya membentak Junaedi.Junaedi kembali menegakkan kepala. Bola matanya menajam seperti binatang buas yang siap menerkam. Dia maju dan menarik kerah baju sang kepala koki ke hadapannya. Si kepala koki ini cukup kekar, tapi sangat kurus."Oh, jadi begini cara kalian bekerja? Pantas saja pelanggan semakin sepi! Sangat tidak profesional!" teriak Junaedi lebih keras dari bentakan sang kepala koki, hingga memuncratkan ludah-ludah di mulutnya.Buak!Si kepala koki menendang perut Junaedi dengan lututnya. Kemudian memukul punggung dengan sikunya, hingga membuat Junaedi jatuh tersungkur."Mana sih, Mas, pesenannya? Kok lama banget." Wanita paruh baya itu mengikuti Junaedi sampai ke dapur tempat meracik.Betapa kagetnya wanita itu menjumpai Junaedi telah tersungkur di lantai. Dia segera lari keluar ketakutan tanpa memperdulikan pesanannya lagi.Junaedi bangkit seraya berkata, "apakah kamu puas setelah membuat pembeli kabur?""Ckck. Hanya satu pembeli!" jawabnya enteng."Hanya satu pembeli kau bilang?"Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.Bugh!"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.Buak!Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara."Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan."Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!""Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya."Siap, Mas!"Junaedi kembali ke dapur dan melempar catata
Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang k
Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit
Jamelah mengantar Sutejo ke kamar tamu dan membantunya berbaring ke ranjang. Saat Jamelah hendak pamit undur diri, tangan pak tua itu dengan lemah menarik baju Jamelah."Nak, bolehkah aku minta tolong?" ujar Sutejo."Kakek mau minta tolong apa?""Sebelum Junaedi pulang, aku melihat Ambar menyimpan gunting di sakunya. Tolong, kamu lihat kamarnya dan bangunkan dia! Aku sangat khawatir."Jamelah pun segera berlari menuju kamar Junaedi. Pintunya terkunci. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Junaedi.Sementara itu, di dalam kamar, aksi Ambar terhenti karena suara getaran di ponsel suaminya. Sayangnya suara getaran itu terdengar sangat lirih sehingga tidak mampu membangunkan Junaedi. Ambar pun melihat layar ponsel itu."Jamelah?" Dia mengangkatnya, karena ingin tahu apa yang akan pembantu itu katakan."Halo, Pak Juned." Jamelah terhenti. Sebenarnya, dia hanya ingin mengetes, siapa yang mengangkat ponsel milik Junaedi."Dasar pembantu tak punya sopan santun! Beraninya kau mengganggu malamku
Junaedi segera membuang separuh air dari kuah tersebut dengan menyaringnya."Loh, kenapa dibuang, Mas Juned?" tanya Aris yang entah itu hanya pura-pura, atau benar-benar tidak tahu."Nggak tau, Ris. Garam tiba-tiba abis separo dan kuahnya jadi asin banget!"Wajah Aris berkerut melihat setoples garam yang tinggal separuh. "Loh! Kok bisa sih, perasaan saya nggak kasih garam lagi, karena rasanya memang sudah pas. Saya bener-bener nggak tau, Mas."Jika bukan Aris, lalu siapa? Pikiran Junaedi berkelut. Kemudian dia memfokuskan diri untuk menumis bumbu yang baru dan menuangkan air lagi ke dalam setengah kuah yang tersisa.Lima menit kemudian, beberapa mobil datang, parkir di depan restoran. Namun tampaknya mereka tidak langsung masuk dan sibuk dengan sesuatu."Mana tanggganya?" tanya Tukijo kepada salah satu teman-temannya yang sedang berkerumun mengelilinginya.Cecep bergegas pergi ke bagasi untuk mengambil tangga lipat.Tukijo meminta bantuan Sugeng, untuk memegang ujung spanduk yang ia b
"Maaf, Pak Juned. Saya hanya sedikit terkejut. Saya akan segera membersihkannya," ujar Jamelah segera bergegas melakukan pekerjaan."Aku akan membantumu!" Junaedi mengambil sebuah lap dan ikut membersihkan noda merah yang tercecer di dinding kamar mandi.Sesekali, Junaedi melirik ke arah Jamelah. Khawatir dia akan terganggu kehidupannya karena dihantui dengan teror. Namun setelah melihatnya, tak tampak sedikitpun wajah panik atau takut. Malah, dia terlihat begitu serius dan tenang menghadapi teror ini. Tanpa sadar, Junaedi menatap Jamelah terlalu lama karena melamun."Pak? Pak Juned?" Jamelah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Junaedi, hingga lelaki berjakun itu akhirnya tersadar."Oh, maaf," sahutnya."Bapak melamun apa sih? Kok ngeliatin saya sampe segitunya.""Apa kamu tidak khawatir?""Pak Juned tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya bisa melindungi diri sendiri. Justru yang harus Anda khawatirkan adalah Kakek Sutejo," ujar Jamelah mengalihkan pandangannya sembari menggos
"Akhir-akhir ini, warga sekitar sini katanya banyak yang kehilangan kucing peliharaan mereka. Terus, Pak RT nemuin karung berisi bangkai beberapa kepala kucing dan bulu-bulunya di sebelah pot samping depan," jelas Aris.Karung? Junaedi tidak terlalu memperhatikan ada karung di sana saat dia datang ke Rumah Makan Wah Pi-Lok."Iya, Ris. Aku otw. Tunggu ya." Kemudian Junaedi mematikan telepon dan berpamitan kepada Marina. "Mar, aku balik ke Pi-Lok ya. Ada urusan mendadak," ujarnya.Saat dalam perjalanan menuju Rumah Makan Wah Pi-Lok, Junaedi teringat dengan video rekaman CCTV yang Sarah kirimkan tadi pagi. Tentang seorang yang meneror membawa sesuatu dikarungnya. Jangan-jangan ...Lelaki itu pun segera menghentikan laju mobilnya dan mengecek kembali video tersebut. Kemudian, dia kembali berkendara hingga sampai ke lokasi tujuan. Setibanya ia di sana, begitu banyak orang yang berkerumun di pintu masuk.Ketika Junaedi baru keluar dari mobil untuk mengecek apa yang telah terjadi, seseorang
Pukul 20.55Seperti biasa, Jamelah menemani Kakek Sutejo hingga orang tua itu tertidur. Setelah sang kakek tertidur, ia keluar dari kamar menuju ruang tamu. Gadis itu merasa ada seseorang mengikutinya dari belakang. Dia segera menoleh. Dan tiba-tiba ...Bugh!Seseorang memukul keras punggungnya dari belakang. Jamelah pun terjatuh sekali pukul. Samar-samar dia melihat kaki seseorang melangkah di hadapannya. Tak jelas, pandangannya mulai kabur, gelap, dan ia pun tak sadarkan diri.Jamelah terbangun oleh suara nyamuk yang terus beterbangan ke sana ke mari di sekitar telinganya. Sebuah ruangan berlantai tanah, gelap, dingin, dan sedikit berangin. Bau aroma asap rokok, menggempul memenuhi ruangan. Dia terbangun dalam keadaan tangannya terikat melingkar ke belakang kursi dan kakinya terikat lurus di bagian bawah betis."Uhuk ... uhuk! Di mana ini? Aku benci asap rokok!" gumamnya terbatuk-batuk.Tiba-tiba, mucul tepat di hadapan wajah Jamelah, sosok wajah wanita sedang mengapit suatu benda k