Membunuh? Satu kata horor ini, kini menghantui Junaedi mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu.
Jamelah menutup teleponnya karena tidak ada yang harus diinformasikan lagi, sedangkan Junaedi masih termenung memikirkan kalimat terakhir yang dia ucapkan.Susi melirik ke arah Junaedi sebentar, lalu kembali fokus pada Marina yang datang dengan membawakan dua porsi batagor untuk mereka. Susi berbisik kepada wanita itu agar membungkuskan tiga porsi lagi untuk dibawa pulang sesuai dengan pesanan Junaedi."Jika bukan karena lima restoran ayahku masih dalam kendalinya, aku akan menceraikan wanita itu detik ini juga!" celetuk Junaedi cukup keras, membuat Susi dan Marina yang berada di sampingnya tersentak.Namun, karena masih banyak pelanggan yang belum dilayani, Marina mengundurkan diri dan kembali melakukan pekerjaannya."Ini salahmu terlalu bodoh! Kalau bukan kamu sendiri yang memberikan hak kepada wanita itu, dia tidak akan bisa mengambil bisnis ayahmu!" ungkap Susi terlihat geram sembari menunjuk-nunjuk wajah Junaedi.Ya, memang benar. Sang pemilik tubuh sangat bodoh, jika bukan karena bantuan Tante Susi yang sangat berhati-hati terhadap Ambar, semua hartanya sudah habis dirampas oleh wanita ular itu!"Jika kamu ingin merebutnya kembali, kamu harus berusaha dengan usahamu sendiri! Tante tidak bisa membantu banyak," lanjut Susi pasrah."Tentu saja! Tante tidak perlu khawatir. Aku bukanlah Junaedi yang dulu. Biarkan mereka tetap menganggapku bodoh dan penakut. Aku akan datang dan menggemparkan dunia kuliner nusantara!" tegasnya dengan suara lantang, sambil menyantap sesuap batagor yang tampak nikmat menggugah selera."Halah, jangan banyak omong!" Susi mendorong pipi Junaedi dengan tamparan pelan. "Tunjukan padaku jika kamu benar-benar mampu!""Heh, lihat saja besok!"Beberapa menit kemudian, Jamelah mengirim sebuah pesan, bahwa dia akan mengikuti kedua saudara Ambar. Hal ini karena, gadis itu benar-benar yakin bahwa mereka akan berbuat sesuatu."Huh!" Sejenak, Junaedi menengadahkan kepalanya melihat langit hitam yang mulai pekat dihiasi kerlap-kerlip bintang."Kenapa, Juned?" tanya Susi melihat pria di sisinya tampak gelisah setelah melihat ponselnya.."Keluarga Ambar, mereka ingin membunuhku!" balasnya.Junaedi pikir, mungkin Ambar telah mengadukan sikapnya. Bahwa dirinya bukan lagi orang yang mudah dibodohi. Sehingga keluarganya mengambil tindakan lain. Dan bisa jadi, ini adalah jalan terakhir mereka. Dengan membunuh sang pewaris, maka lima bisnis yang ada di tangannya akan berada dalam genggaman selamanya.Susi menepuk sebelah pundak keponakannya. "Tenanglah! Di sekelilingmu, banyak orang-orang yang peduli denganmu. Dan kami, tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah," ujarnya."Apa Tante punya seorang kenalan yang bisa mengajariku bela diri?" tanya Junaedi sambil menusuk batagor yang tampak menggugah selera dengan sebuah garpu."Tentu. Tante akan mencarikanmu seorang guru, jika kamu menginginkannya."Drrrrt!Lagi-lagi ponsel Junaedi bergetar. Layarnya menampilkan satu pesan dari Jamelah yang berisi, bahwa dirinya harus berhati-hati saat perjalanan pulang. Terutama di pertigaan setelah masuk jalan gerilya.Akhirnya, mereka merasa kenyang dengan sajian di Rumah Makan BaKul yang sangat memuaskan, mereka pun pulang dengan membawa tiga porsi batagor. Sebelum Junaedi melajukan mobil menuju ke rumah, ia mengecek segala sesuatu dengan teliti. Setelah merasa tidak ada masalah apapun pada mobilnya, dia mulai menjalankannya dengan pelan dan sangat hati-hati. Tiba saat melewati pertigaan jalan gerilya. Masih terngiang-ngiang pesan dari Jamelah beberapa saat lalu.Braak!Di tengah perjalanan, tiba-tiba sebuah pohon besar tumbang menimpa mobil yang dijalankan Junaedi. Mobil pun remuk dan terhenti seketika. Padahal, tinggal beberapa ratus meter lagi sampai rumah. Untungnya, hanya Junaedi yang mengalami sedikit lecet karena pecahan kaca depan mobil.Tampak dua orang, masing-masing memegang sebuah gergaji pergi meninggalkan tempat itu. Wajah mereka tak jelas karena gelap. Junaedi merasa, mereka sengaja menumbangkan pohon untuk mencelakainya."Pak Juned! Apakah Anda baik-baik saja?" teriak seorang wanita mengetuk-ngetuk jendela mobil."Junaedi, kamu nggak papa?" tanya Susi duduk di jok belakang bersama Sutejo."Nggak papa, Tante. Cuma lecet dikit kok." Pelipis kiri Junaedi tampak mengalirkan sedikit darah.Mereka pun keluar dari mobil dan mendapati Jamelah di sana."Kamu, ngapain ke sini?" ucap Junaedi kepada Jamelah. Dia turun dari mobil dengan langkah terhuyung-huyung sambil memegang kepala sebelah kiri."Jamelah, tolong kamu bantu Junaedi ya. Kayaknya dia udah mau pingsan," perintah Susi."Tentu saja menjalankan perintah harus secara tuntas, bukan? Sekaligus menagih tiga porsi batagor yang telah Anda janjikan," jawab gadis itu bergegas memapah Junaedi sebelum dia terjatuh.Junaedi menyunggingkan senyum. Dia meraih kresek berisi tiga porsi batagor dan menyerahkannya kepada Jamelah. Gadis itu pun tampak senang menggenggam erat makanan favoritnya sembari membantu Junaedi berjalan.Tiga ratus meter lagi mereka akan sampai di rumah. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki karena mobil telah hancur sebagian. Susi telah menelpon seseorang untuk membereskan mobil yang terhenti di tengah jalan itu. Rumah Junaedi termasuk kategori rumah pelosok, karena dua ratus meter jalan menuju rumah adalah jalan pekarangan."Maafkan saya, Pak Juned. Saya kehilangan jejak mereka," ujar Jamelah setelah melewati seratus meter perjalanan."Siapa yang kamu maksud?" tanya Junaedi."Saya mengawasi kedua saudara Nyonya Ambar dan kehilangan jejak mereka.""Aku melihat dua orang aneh di tepi jalan, saat pohon itu tumbang menimpa mobil. Mungkinkah itu mereka?" timpal Junaedi bertanya-tanya.Di tepi jalan? Itu berarti, mereka masih di sekitar sini. Jamelah mengedarkan pandangannya mencari-cari dua sosok itu.Tiba-tiba, dua orang memakai kupluk penutup wajah dan memegang gergaji kayu, datang menghadang mereka. Perawakan dua orang itu, sama persis seperti dua orang yang Junaedi lihat di tepi jalan gerilya, saat ia masih berada dalam mobil."I-itu me-re-ka!" tunjuk Junaedi masih dalam keadaan dipapah oleh Jamelah.Dua orang itu, menganggkat senjatanya seraya berkata, "matilah kalian!"Susi melangkah ke depan Sutejo menutupi pandangannya. Orang tua itu sangat sensitif. Dikhawatirkan penyakit jantungnya akan kambuh karena melihat hal-hal yang berbau kekejaman."Demi kesehatan Kakek, jangan lihat apapun yang berada di depan sana! Kita akan baik-baik saja," ujar Susi menenangkan Sutejo.Susi menjentikkan jarinya seperti memberikan isyarat kepada sesuatu. Kemudian, muncul dua orang lagi bertubuh sedikit kekar layaknya seorang bodyguard. Mereka muncul di belakang dua pria berkupluk dengan mengayunkan tongkat bisbol.Wuuuush!Akan tetapi, rupanya dua pria berkupluk itu menyadari kehadiran mereka. Pria-pria berkupluk itu membungkukan badan menghindari tongkat bisbol. Alhasil, tongkat bisbol mengenai gergaji. Dan gergaji yang dipegang dua pria berkupluk itu pun terhempas jauh.Jamelah berhadapan memegang kedua bahu Junaedi, dan melompat menendang wajah dua orang berkupluk itu, seraya berbisik kepada lelaki di hadapannya."Jika Anda ingin saya mengatasi dua orang ini, Anda harus menambahkan bonus pada gaji saya bulan ini, Pak Juned. Apakah Anda bersedia?""Itu urusan mudah! Bereskan dua orang itu sekarang!" ujar Junaedi menerima tawaran pembantunya.Rupanya, tendangan Jamelah tidak berhasil menjatuhkan dua orang berkupluk itu. Mereka hanya terdorong mundur beberapa langkah. Hal ini menjadi sebuah kesempatan bagi mereka untuk kabur. Akan tetapi, itu tidak membuat Jamelah menyerah. Dia menitipkan sekresek batagornya kepada Junaedi dan berbalik menatap tajam para pria berkupluk itu."Saya izin meminjam bahu Anda sekalian, Paman-paman!" ucap Jamelah kepada dua bodyguard suruhan Susi yang berada di depannya. Kemudian, gadis itu berlari dan melompat dengan kedua bahu sang bodyguard sebagai tumpuan tangannya. Dia melompat salto di udara hingga menghasilkan lompatan jauh yang sempurna.Jamelah mendarat selangkah di belakang dua orang berkupluk itu. Langkah mereka yang tertatih, membuat gerakan mereka melambat. Gadis itu berhasil meraih baju belakang mereka, dan menyiku kepala belakang hingga membuat mereka jatuh tersungkur.Kemudian, semua berkumpul untuk melihat. Junaedi menyerahkan kembali sekresek batagor kepada pemiliknya dan membuka kupluk kedua orang itu. Siapakah mereka?"Ikut dengan kami, atau kami akan membunuh wanita ini!" ucap salah satu dari mereka yang membius Jamelah.Junaedi menggertak. "Sedikit saja kalian berani melukainya, aku akan membunuh kalian!""Hahaha!" Dua pria berpakaian serba hitam itu tertawa. "Pahami situasimu!" ujar salah satu dari mereka sembari mendorong kasar Junaedi. Mereka menuntunnya ke sebuah mobil Jeep hijau tua dengan tangan terikat. Mobil itu melaju cepat menuju ke sebuah tempat asing yang jarang sekali dijarah oleh orang-orang. Yaitu hutan kapuk. Tempat yang terkenal sangat angker, sehingga tidak ada seorang pun yang berani memasukinya di malam hari.Ternyata di dalam hutan tersebut terdapat rumah tua yang cukup megah. Pria berpakaian hitam itu menyeret Junaedi dari mobil memasuki rumah tua tersebut."Rumah ini ..." sekilas, Junaedi mengingat, bahwa rumah itu adalah tempat di mana ia pertama kali terbangun dari kematian, di sebuah peti kayu yang gelap dan pengap.Nyut ...Tiba-tiba timbul rasa nyeri di dada mengingat
Babak keempat pun usai dan lima peserta tereliminasi. Sisa lima peserta, yaitu Junaedi, Marsodi, Ade Wijaya, dan dua peserta lainnya. Setelah penyelidiakn, dua orang peserta yang lainnya itu terbukti melakukan kecurangan sehingga harus diiskualifikasi.Kecurangan mereka salah satunya adalah menuangkan tepung kanji pada adonan Marina saat babak kedua berlalngsung. Dan pada babak ketiga, menyembunyikan bahan utama kompetisi yaitu jengkol, dan hanya menyisakan jengkol-jengkol yang berlubang dan terdapat banyak ulat.Kini, pertandingan dengan sisa tiga peserta akan menjadi pertandingan terakhir di babak kelima sekaligus menentukan juara di antara mereka. Hal ini dikarenakan untuk menyingkat waktu. Sang direktur telah memahami situasi sekitar, dia menduga bahwa pertandingan kali ini akan terjadi kekacauan besar.Setelah sarapan, Junaedi dan Jamelah berniat pergi ke taman asrama untuk menikmati suasana udara yang sejuk. Namun, secara kebetulan, mereka menjumpai Marsodi dan istrinya yang tam
Salah satu pekerja di asrama yang bertanggung jawab dalam urusan alat-alat perdapuran, termasuk kompor dan gas. Baru saja membeli beberapa gas elpiji 3 kg untuk stok darurat di kantin.Namun tanpa disadari, ternyata gas-gas tersebut bocor. Bau asap gas menggempul menusuk hidung. Beberapa orang, segera mengecek gas gas tersebut dan membawanya ke tempat terbuka.Di tengah gemuruh kesibukan itu, Junaedi tanpa sengajaelihat ekspresi Ade Wijaya menampakkan senyum seringai seolah-olah, dia mengetahui sesuatu. Tiba-tiba ...Booom!Seseorang sengaja menggunakan percikan api untuk memicu ledakan gas, sehingga terjadilah ledakan demi ledakan. Tiga gas bocor yang masih tersisa dalam aula, meledak seketika membuat lima orang pekerja tewas, tiga orang luka parah, dan tujuh orang luka ringan.Tukijo selaku pemilik asrama telah mendapat informasi dari orang yang selalu mengawasi di balik layar CCTV, Teguh. Bahwasanya pelaku yang menimbulkan percikan api ikut tewas terkena ledakan tabung gas."Jelas-j
"Jamelah!" Mata Junaedi membulat menatap gadis itu. Seketika suasana menjadi hening.Kemudian, Junaedi tersenyum simpul. "Saya dengan senang hati menikah dengan puteri Anda, Pak Tukijo! Anda bisa langsung merundingkan tanggal pernikahan kami, mumpung di sini ada tante saya sebagai wali.""Ehem. Apa kamu sudah benar-benar yakin? Saya pikir, kamu sempat ragu beberapa hari lalu," kata Tukijo."Tentu saja, saya sangat yakin.""Sekarang, dia bukan lagi gadis normal. Melainkan gadis cacat yang akan terus berada di atas kursi roda. Dan juga, dia sangat manja. Itu mungkin akan membebanimu!" ujar istri Tukijo ikut bersuara."Tidak masalah. Saya memiliki keahlian. Saya akan menyembuhkan kakinya. Dan dalam waktu tiga hari, saya menjamin putri Anda akan berjalan normal kembali," jawab Junaedi santai, tapi meyakinkan."Pffft!" Gadis yang berada di kursi roda itu tertawa.Tukijo berdiri dan menepuk pundak lelaki di hadapannya. "Haha. Kita akan mengadakan pesta usai kompetisi babak ketiga! Jadi, mul
Pada malam hari ketika Junaedi tertidur pulas, dia bermimpi bertemu dengan roh si pemilik tubuh. Seolah-olah, roh itu tahu segala hal yang terjadi pada dirinya."Kau pasti tahu apa yang sedang kualami, kan?" ujar Junaedi padanya."Tentu saja! Itu sebabnya aku datang menemuimu.""Huh! Jadi, apa pendapatmu?""Menjauh dari keluarga direktur!""Apa! Itu ide yang bodoh!" Junaedi sedikit melangkah lebih dekat dengan roh pemilik tubuh. Ia menepuk-nepuk dadanya seraya berkata, "kau tau? Mereka adalah aset penting yang saat ini tersedia membantu dengan sukarela untuk bisa memecahkan masalah tentang ayahmu! Kau menyuruhku untuk menjauh? Itu ide yang sangat-sangat bodoh!""Keluarga direktur memiliki banyak sekali musuh. Aku mempertimbangkan itu. Aku khawatir, itu malah akan menjadikanmu mendapat banyak masalah jika kau bergabung dengan mereka.""Ckck. Itu bukan masalah besar, selama mereka bisa melatihku. Aku lihat, mereka adalah orang-orang yang sangat bisa diandalkan!" kata Junaedi.Sang pemili
Waktu 50 menit pun berlalu. Penyajian dilakukan dengan cepat dan semua peserta benar-benar siap dengan hasil masakannya. Satu per satu, mereka dipanggil oleh juri, hingga datanglah giliran Ade Wijaya.Lelaki itu maju ke depan dengan percaya diri akan kemampuannya. Dia menyediakan sepiring urap teri kerupuk udang dengan bumbu urap tampak merah menggiurkan.Beberapa saat kemudian, kini gilirang Junaedi. Dia datang dengan membawa sepiring urap, tiga buah tempe bacem dan sepotong ikan asin. Selain tampilannya yang sangat menarik dan menggugah selera, tentu saja salah satu keunggulan dari masakan Junaedi yaitu tanpa bumbu penyedap instan apapun."Liar biasa! Ini adalah perpaduan rasa yang sempurna," ujar sang juri."Aku sudah mencoba beberapa masakannya. Daya pikat asli dari bumbu-bumbu yang ia racik adalah yang terbaik," kata Tukijo yang juga merupakan sebagai juri.Setelah usai mencicip masakan mereka, para juri kembali mengumpulkan mereka untuk berbaris di aula. Jumlah peserta yang tadi