Share

7. Tantangan

Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.

Bugh!

"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.

Buak!

Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara.

"Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan.

"Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.

Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.

Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.

Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!"

"Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya.

"Siap, Mas!"

Junaedi kembali ke dapur dan melempar catatannya kepada sang koki pembantu. "Cepat buatkan sesuai pesanan!"

"Ba-baik!" Koki itu segera membuatkan pesanan dan menyerahkan semakuk cilok kuah iga kepada Junaedi.

Junaedi pun mengantarkan makanan itu kepada sang pembeli. Setelah si pembeli mencicipi satu suap, sebuah cilok tiba-tiba melayang dari mulut sang pembeli ke wajah Junaedi.

"Bah! Ini cilok apa karet? Keras kali!"

Junaedi segera menangkap cilok terbang yang mendarat di wajahnya sebelum meluncur ke lantai. Dia menatap benda kenyal itu dengan serius. Kemudian, dia menarik dengan kedua tangan dan sedikit menggigit untuk merasakan teksturnya.

"Ini memang benar-benar sangat lentur seperti karet!" gumam Junaedi kesulitan memisahkan bagian dengan menarik dan menggigit berkali-kali.

Lelaki yang memesan itu berdiri dan membanting sendok yang dipegangnya ke meja. "Haish! Kukira enak! Malah bikin sakit gigi kumakan di sini. Mana menejermu? Aku mau komplain!"

Junaedi mencari-cari Joko di kasir dan ruang manajer, tapi tidak menjumpainya. Terdengar suara gaduh dari dapur membuat Junaedi penasaran.

"Ssssst! Jangan brisik atau kupotong gajimu!" ujar Joko berbisik kepada kedua kokinya. Ternyata dia sedang bersembunyi karena takut berhadapan dengan pembeli itu.

"Ckck. Ngapain di sini, Pak Manajer? Sembunyi?" ucap Junaedi telah berdiri melipat tangan di hadapan Joko.

"A-anu ...." Joko tergagap tak bisa berkata-kata.

"Anu anu!" Junaedi menarik baju Joko dan menyeretnya ke hadapan pembeli. "Ini Manajernya, Mas!"

Baru ditatap sang pembeli, Joko beberapa kali menelan ludah. Tubuhnya gemetar keringat dingin. "A-ada apa ya, Mas?" ujarnya tanpa melihat wajah lawan bicara karena ketakutan.

"Intinya, aku nggak sudi bayar makanan ini! Kau bisa tanyakan sendiri ke pelayanmu alasannya!" Sang pembeli pun pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah pembeli itu pergi, Joko tampak bernapas lega. Namun, tidak dengan Junaedi. Dia beranjak ke dapur dan melihat masakan-masakan yang ada di sana. Lelaki itu mencicipi satu persatu masakan itu. Mulai dari cilok sapi kukus, cilok tahu, kuah iga sapi, pangsit rebus, pangsit goreng, sambal kacang, sambal cabai, sambal kecap, lontong, dan juga kerupuk.

"Bleeh! Bagaimana kamu memasak cilok-cilok ini?" tanya Junaedi kepada si koki pembantu sembari sedikit meludah.

"Emm, itu ... kami menguleni 1 kg tepung terigu dan 1 kg tepung tapioka dengan air panas yang telah tercampur bumbu halus, bawang putih, lada, dan kemiri. Setelah kalis, kami membentuknya bulat-bulat dengan isi gilingan daging sapi. Kemudian, kemudian kami merebusnya setengah matang dan mengukusnya. Kami tidak tau, mengapa bisa digigit sampai sekeras itu," jelas si koki.

"Apakah kalian menambahkan telur? Takaran satu telur digunakan untuk 500 g tepung terigu. Jadi, jika kalian ingin membuat 1 kg, kalian harus memberinya dua telur," timpal Junaedi. Sebenarnya Junaedi memiliki cara tersendiri untuk memasak cilok yang tentunya sangat berbeda dengan racikan para koki itu. Namun, dia tidak bisa memberitahukannya sekaligus. Dia harus mengarahkannya secara bertahap saat sedang meracik.

"Oh, kamu benar. Kami lupa menambahkan telur!" ungkap si koki merasa tercerahkan.

Sang kepala koki memandang sinis Junaedi. Tampaknya dia belum kapok usai dihajar. "Heh! Tau apa kau soal memasak? Apa kau tak ingat seminggu yang lalu, kau mengacau di dapur kami dengan masakan sampahmu?!"

Seminggu yang lalu?

Haha!

Junaedi tertawa geli dalam hatinya. Sang pemilik tubuh memang benar-benar sangat bodoh. Dia membuat adonan dengan air dingin tanpa telur dan tanpa bumbu. Tepung-tepung berserakan dimana-mana. Dan lebih parah lagi, dia merebus cilok sampai gosong.

Punggung Junaedi bergetar menahan tawa. Di mana letak otak sang pemilik tubuh? Apakah dia menaruh otaknya di lutut? Pikirnya.

"Aku telah banyak belajar beberapa hal. Dan aku bukanlah Junaedi yang tidak berguna seperti dulu! Jika kamu tidak percaya, ayo kita adu skill memasak!" tantang Junaedi mengembangkan kedua ujung bibirnya.

"Adu skill memasak? Ha ha ha ha! Lelucon apa lagi yang akan kau tunjukan? Cilok gosong? Iga gosong? Bihun gosong atau mungkin kerupuk gosong? Ha ha ha!" Mulut sang kepala koki terbuka lebar tertawa terbahak-bahak.

"Jika aku kalah, aku akan angkat kaki dari sini, dan hari ini adalah hari pertama dan terakhirku bekerja! Tapi, jika aku menang, kamu harus menyerahkan posisimu! Aku menjadi kepala koki, dan kau, menjadi pelayan! Bagaimana?" ucap Junaedi mengajukan tawaran.

"Heh, oke! Bersiaplah untuk pergi meninggalkan tempat ini!"

Tanpa mereka sadari, datang dua orang pengunjung keluar dari sebuah mobil mewah dengan dua bodyguard di belakang mereka. Kedua orang itu tampak seperti sepasang suami istri. Mereka berpegangan tangan dengan mesra layaknya pengantin baru.

Dua bodyguard berhenti dan berdiri di luar, sedangkan pasutri itu masuk, lalu mendapati seorang pelayan sedang mengajukan sebuah tantangan kepada seorang kepala koki.

"Tapi, bukankah kita membutuhkan seorang juri?" ujar si koki pembantu berpendapat.

"Aku yang akan menjadi jurinya," sahut Joko ikut nimbrung mengajukan diri.

"Tidak. Saya tidak setuju Anda menjadi jurinya, Pak Manajer. Jangan berpikir untuk menjebak saya! Saya tau bahwa Anda sangat tidak menyukai saya. Jadi, seperti apapun hasilnya, pasti Anda akan tetap membuat saya kalah!" tolak Junaedi membantah.

Joko pun tak bisa membalas. Junaedi sangat pandai bersilat lidah. Dia benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran joko hanya dengan melihat sikap dan perilakunya.

"Kalau begitu, izinkan saya yang menjadi jurinya. Apakah Anda keberatan, Tuan Pelayan?" ucap seorang pria yang berada di belakang mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status