Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.
Bugh!"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.Buak!Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara."Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan."Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!""Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya."Siap, Mas!"Junaedi kembali ke dapur dan melempar catatannya kepada sang koki pembantu. "Cepat buatkan sesuai pesanan!""Ba-baik!" Koki itu segera membuatkan pesanan dan menyerahkan semakuk cilok kuah iga kepada Junaedi.Junaedi pun mengantarkan makanan itu kepada sang pembeli. Setelah si pembeli mencicipi satu suap, sebuah cilok tiba-tiba melayang dari mulut sang pembeli ke wajah Junaedi."Bah! Ini cilok apa karet? Keras kali!"Junaedi segera menangkap cilok terbang yang mendarat di wajahnya sebelum meluncur ke lantai. Dia menatap benda kenyal itu dengan serius. Kemudian, dia menarik dengan kedua tangan dan sedikit menggigit untuk merasakan teksturnya."Ini memang benar-benar sangat lentur seperti karet!" gumam Junaedi kesulitan memisahkan bagian dengan menarik dan menggigit berkali-kali.Lelaki yang memesan itu berdiri dan membanting sendok yang dipegangnya ke meja. "Haish! Kukira enak! Malah bikin sakit gigi kumakan di sini. Mana menejermu? Aku mau komplain!"Junaedi mencari-cari Joko di kasir dan ruang manajer, tapi tidak menjumpainya. Terdengar suara gaduh dari dapur membuat Junaedi penasaran."Ssssst! Jangan brisik atau kupotong gajimu!" ujar Joko berbisik kepada kedua kokinya. Ternyata dia sedang bersembunyi karena takut berhadapan dengan pembeli itu."Ckck. Ngapain di sini, Pak Manajer? Sembunyi?" ucap Junaedi telah berdiri melipat tangan di hadapan Joko."A-anu ...." Joko tergagap tak bisa berkata-kata."Anu anu!" Junaedi menarik baju Joko dan menyeretnya ke hadapan pembeli. "Ini Manajernya, Mas!"Baru ditatap sang pembeli, Joko beberapa kali menelan ludah. Tubuhnya gemetar keringat dingin. "A-ada apa ya, Mas?" ujarnya tanpa melihat wajah lawan bicara karena ketakutan."Intinya, aku nggak sudi bayar makanan ini! Kau bisa tanyakan sendiri ke pelayanmu alasannya!" Sang pembeli pun pergi meninggalkan tempat itu.Setelah pembeli itu pergi, Joko tampak bernapas lega. Namun, tidak dengan Junaedi. Dia beranjak ke dapur dan melihat masakan-masakan yang ada di sana. Lelaki itu mencicipi satu persatu masakan itu. Mulai dari cilok sapi kukus, cilok tahu, kuah iga sapi, pangsit rebus, pangsit goreng, sambal kacang, sambal cabai, sambal kecap, lontong, dan juga kerupuk."Bleeh! Bagaimana kamu memasak cilok-cilok ini?" tanya Junaedi kepada si koki pembantu sembari sedikit meludah."Emm, itu ... kami menguleni 1 kg tepung terigu dan 1 kg tepung tapioka dengan air panas yang telah tercampur bumbu halus, bawang putih, lada, dan kemiri. Setelah kalis, kami membentuknya bulat-bulat dengan isi gilingan daging sapi. Kemudian, kemudian kami merebusnya setengah matang dan mengukusnya. Kami tidak tau, mengapa bisa digigit sampai sekeras itu," jelas si koki."Apakah kalian menambahkan telur? Takaran satu telur digunakan untuk 500 g tepung terigu. Jadi, jika kalian ingin membuat 1 kg, kalian harus memberinya dua telur," timpal Junaedi. Sebenarnya Junaedi memiliki cara tersendiri untuk memasak cilok yang tentunya sangat berbeda dengan racikan para koki itu. Namun, dia tidak bisa memberitahukannya sekaligus. Dia harus mengarahkannya secara bertahap saat sedang meracik."Oh, kamu benar. Kami lupa menambahkan telur!" ungkap si koki merasa tercerahkan.Sang kepala koki memandang sinis Junaedi. Tampaknya dia belum kapok usai dihajar. "Heh! Tau apa kau soal memasak? Apa kau tak ingat seminggu yang lalu, kau mengacau di dapur kami dengan masakan sampahmu?!"Seminggu yang lalu?Haha!Junaedi tertawa geli dalam hatinya. Sang pemilik tubuh memang benar-benar sangat bodoh. Dia membuat adonan dengan air dingin tanpa telur dan tanpa bumbu. Tepung-tepung berserakan dimana-mana. Dan lebih parah lagi, dia merebus cilok sampai gosong.Punggung Junaedi bergetar menahan tawa. Di mana letak otak sang pemilik tubuh? Apakah dia menaruh otaknya di lutut? Pikirnya."Aku telah banyak belajar beberapa hal. Dan aku bukanlah Junaedi yang tidak berguna seperti dulu! Jika kamu tidak percaya, ayo kita adu skill memasak!" tantang Junaedi mengembangkan kedua ujung bibirnya."Adu skill memasak? Ha ha ha ha! Lelucon apa lagi yang akan kau tunjukan? Cilok gosong? Iga gosong? Bihun gosong atau mungkin kerupuk gosong? Ha ha ha!" Mulut sang kepala koki terbuka lebar tertawa terbahak-bahak."Jika aku kalah, aku akan angkat kaki dari sini, dan hari ini adalah hari pertama dan terakhirku bekerja! Tapi, jika aku menang, kamu harus menyerahkan posisimu! Aku menjadi kepala koki, dan kau, menjadi pelayan! Bagaimana?" ucap Junaedi mengajukan tawaran."Heh, oke! Bersiaplah untuk pergi meninggalkan tempat ini!"Tanpa mereka sadari, datang dua orang pengunjung keluar dari sebuah mobil mewah dengan dua bodyguard di belakang mereka. Kedua orang itu tampak seperti sepasang suami istri. Mereka berpegangan tangan dengan mesra layaknya pengantin baru.Dua bodyguard berhenti dan berdiri di luar, sedangkan pasutri itu masuk, lalu mendapati seorang pelayan sedang mengajukan sebuah tantangan kepada seorang kepala koki."Tapi, bukankah kita membutuhkan seorang juri?" ujar si koki pembantu berpendapat."Aku yang akan menjadi jurinya," sahut Joko ikut nimbrung mengajukan diri."Tidak. Saya tidak setuju Anda menjadi jurinya, Pak Manajer. Jangan berpikir untuk menjebak saya! Saya tau bahwa Anda sangat tidak menyukai saya. Jadi, seperti apapun hasilnya, pasti Anda akan tetap membuat saya kalah!" tolak Junaedi membantah.Joko pun tak bisa membalas. Junaedi sangat pandai bersilat lidah. Dia benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran joko hanya dengan melihat sikap dan perilakunya."Kalau begitu, izinkan saya yang menjadi jurinya. Apakah Anda keberatan, Tuan Pelayan?" ucap seorang pria yang berada di belakang mereka.Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang k
Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit
Jamelah mengantar Sutejo ke kamar tamu dan membantunya berbaring ke ranjang. Saat Jamelah hendak pamit undur diri, tangan pak tua itu dengan lemah menarik baju Jamelah."Nak, bolehkah aku minta tolong?" ujar Sutejo."Kakek mau minta tolong apa?""Sebelum Junaedi pulang, aku melihat Ambar menyimpan gunting di sakunya. Tolong, kamu lihat kamarnya dan bangunkan dia! Aku sangat khawatir."Jamelah pun segera berlari menuju kamar Junaedi. Pintunya terkunci. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Junaedi.Sementara itu, di dalam kamar, aksi Ambar terhenti karena suara getaran di ponsel suaminya. Sayangnya suara getaran itu terdengar sangat lirih sehingga tidak mampu membangunkan Junaedi. Ambar pun melihat layar ponsel itu."Jamelah?" Dia mengangkatnya, karena ingin tahu apa yang akan pembantu itu katakan."Halo, Pak Juned." Jamelah terhenti. Sebenarnya, dia hanya ingin mengetes, siapa yang mengangkat ponsel milik Junaedi."Dasar pembantu tak punya sopan santun! Beraninya kau mengganggu malamku
Junaedi segera membuang separuh air dari kuah tersebut dengan menyaringnya."Loh, kenapa dibuang, Mas Juned?" tanya Aris yang entah itu hanya pura-pura, atau benar-benar tidak tahu."Nggak tau, Ris. Garam tiba-tiba abis separo dan kuahnya jadi asin banget!"Wajah Aris berkerut melihat setoples garam yang tinggal separuh. "Loh! Kok bisa sih, perasaan saya nggak kasih garam lagi, karena rasanya memang sudah pas. Saya bener-bener nggak tau, Mas."Jika bukan Aris, lalu siapa? Pikiran Junaedi berkelut. Kemudian dia memfokuskan diri untuk menumis bumbu yang baru dan menuangkan air lagi ke dalam setengah kuah yang tersisa.Lima menit kemudian, beberapa mobil datang, parkir di depan restoran. Namun tampaknya mereka tidak langsung masuk dan sibuk dengan sesuatu."Mana tanggganya?" tanya Tukijo kepada salah satu teman-temannya yang sedang berkerumun mengelilinginya.Cecep bergegas pergi ke bagasi untuk mengambil tangga lipat.Tukijo meminta bantuan Sugeng, untuk memegang ujung spanduk yang ia b
"Maaf, Pak Juned. Saya hanya sedikit terkejut. Saya akan segera membersihkannya," ujar Jamelah segera bergegas melakukan pekerjaan."Aku akan membantumu!" Junaedi mengambil sebuah lap dan ikut membersihkan noda merah yang tercecer di dinding kamar mandi.Sesekali, Junaedi melirik ke arah Jamelah. Khawatir dia akan terganggu kehidupannya karena dihantui dengan teror. Namun setelah melihatnya, tak tampak sedikitpun wajah panik atau takut. Malah, dia terlihat begitu serius dan tenang menghadapi teror ini. Tanpa sadar, Junaedi menatap Jamelah terlalu lama karena melamun."Pak? Pak Juned?" Jamelah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Junaedi, hingga lelaki berjakun itu akhirnya tersadar."Oh, maaf," sahutnya."Bapak melamun apa sih? Kok ngeliatin saya sampe segitunya.""Apa kamu tidak khawatir?""Pak Juned tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya bisa melindungi diri sendiri. Justru yang harus Anda khawatirkan adalah Kakek Sutejo," ujar Jamelah mengalihkan pandangannya sembari menggos
"Akhir-akhir ini, warga sekitar sini katanya banyak yang kehilangan kucing peliharaan mereka. Terus, Pak RT nemuin karung berisi bangkai beberapa kepala kucing dan bulu-bulunya di sebelah pot samping depan," jelas Aris.Karung? Junaedi tidak terlalu memperhatikan ada karung di sana saat dia datang ke Rumah Makan Wah Pi-Lok."Iya, Ris. Aku otw. Tunggu ya." Kemudian Junaedi mematikan telepon dan berpamitan kepada Marina. "Mar, aku balik ke Pi-Lok ya. Ada urusan mendadak," ujarnya.Saat dalam perjalanan menuju Rumah Makan Wah Pi-Lok, Junaedi teringat dengan video rekaman CCTV yang Sarah kirimkan tadi pagi. Tentang seorang yang meneror membawa sesuatu dikarungnya. Jangan-jangan ...Lelaki itu pun segera menghentikan laju mobilnya dan mengecek kembali video tersebut. Kemudian, dia kembali berkendara hingga sampai ke lokasi tujuan. Setibanya ia di sana, begitu banyak orang yang berkerumun di pintu masuk.Ketika Junaedi baru keluar dari mobil untuk mengecek apa yang telah terjadi, seseorang
Pukul 20.55Seperti biasa, Jamelah menemani Kakek Sutejo hingga orang tua itu tertidur. Setelah sang kakek tertidur, ia keluar dari kamar menuju ruang tamu. Gadis itu merasa ada seseorang mengikutinya dari belakang. Dia segera menoleh. Dan tiba-tiba ...Bugh!Seseorang memukul keras punggungnya dari belakang. Jamelah pun terjatuh sekali pukul. Samar-samar dia melihat kaki seseorang melangkah di hadapannya. Tak jelas, pandangannya mulai kabur, gelap, dan ia pun tak sadarkan diri.Jamelah terbangun oleh suara nyamuk yang terus beterbangan ke sana ke mari di sekitar telinganya. Sebuah ruangan berlantai tanah, gelap, dingin, dan sedikit berangin. Bau aroma asap rokok, menggempul memenuhi ruangan. Dia terbangun dalam keadaan tangannya terikat melingkar ke belakang kursi dan kakinya terikat lurus di bagian bawah betis."Uhuk ... uhuk! Di mana ini? Aku benci asap rokok!" gumamnya terbatuk-batuk.Tiba-tiba, mucul tepat di hadapan wajah Jamelah, sosok wajah wanita sedang mengapit suatu benda k
Di saat hati Junaedi dipenuhi kecurigaan dan kebimbangan. Seketika itu juga, dia mendapat telepon dari Sarah."Susah banget sih dihubungin!" ketus Sarah merasa kesal karena saat gadis itu beberapa kali menghubunginya, ponsel Junaedi sibuk terus."Kenapa?""Istrimu dan beberapa orang membawa Kakek dan pembantumu pergi! Aku melihat dari CCTV depan, mereka menggunakan mobil off road berwarna hijau tua sekitar lima menit yang lalu!" jelas Sarah."Apa!"Kemudian Junaedi mematikan telepon dan segera memutar balik mobilnya mengejar mobil itu. Dia sempat kehilangan jejak, hingga berjalan terus tanpa arah.Namun, keberuntungan masih berpihak padanya. Junaedi menjumpai mobil itu masuk ke sebuah pekarangan. Karena jalan di pekarangan tidak rata, mobil berjalan sangat lambat. Dia memutuskan untuk keluar dan berjalan kaki mengikuti mobil itu.Mobil tersebut tampak berhenti di depan sebuah gubuk kayu. Gubuk tersebut tanpa dinding dan di dalamnya terdapat banyak tumpukan bata.Di samping gubuk itu,