Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?
"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang kalian sajikan, bagaimana?"Tukijo adalah adik dari Direktur Perusahaan Gaje tempat Susi bekerja. Namun, dia tidak tahu bahwa Rumah Makan Wah Pi-Lok ini adalah salah satu bisnis asisten kakaknya. Tukijo melihat sosok Junaedi sangat percaya diri, sopan santun, dan penuh perhitungan. Hal ini membuat ia penasaran dengan kemampuannya.Junaedi pun menyetujui tawaran Tukijo. Dia berpikir bahwa orang ini lebih bisa dipercaya sebagai juri daripada Joko. Junaedi juga menduga, bahwa pria bernama Tukijo ini akan membawa bisnis ayahnya kembali berkembang.Setelah menemukan seorang juri, Junaedi dan si kepala koki bersiap menyiapkan bahan-bahan masakan.Junaedi terlihat fokus dan sangat serius melihat beberapa bahan di hadapannya. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun, untuk melihat bagaimana lawannya bekerja.Langkah pertama yang dilakukan oleh Junaedi adalah merebus 750 gr iga sapi dan 250 gr daging sapi dengan panci presto selama 30 menit. Lalu, dia mengambil sedikit kaldu sapi yang baru masak itu dan mencampurnya dengan bumbu halus, kemiri, bawang, merica, dan garam dalam sebuah wadah yang cukup besar.Setelah itu, dia memasukan tepung terigu ke dalam kaldu panas, lalu mengaduknya sampai menggumpal. Proses inilah yang nantinya akan membuat cilok menjadi lembut dan tetap empuk walaupun sudah dingin sekalipun.Junaedi terus mengaduk adonan itu sampai agak mengering. Kemudian, memindahkannya ke dalam baskom dan menaburkan irisan seledri. Setelah itu, dia menunggu adonan agak dingin atau hangat kuku, lalu mencampurkan dua buah telur ke dalamnya. Dia menguleni adonan sembari menaburkan 500 gr tepung tapioka sedikit demi sedikit sampai adonan menjadi kalis."Tunggu di sini ya, Sayang!" ujar Tukijo mencium punggung tangan istrinya. Dia bangkit dan melangkah ke dapur melihat dua kontestant tampak sibuk dengan masakan mereka.Cara memasak keduanya sungguh benar-benar sangat berbeda. Sang kepala koki tidak menggunakan kaldu sapi untuk adonan cilok, sedangkan Junaedi menggunakan kaldu sapi.Sebelum ke tahap membulat-bulatkan adonan yang sudah kalis, Junaedi membuat rendang dengan 250 gr daging sapi yang sudah dipresto untuk isi sebagian cilok. Kemudian, Junaedi membagi adonan cilok tersebut menjadi tiga bagian. Bagian berisi rendang, bagian tanpa isi, dan bagian isian kulit pangsit. Lalu, dia merebus cilok-cilok itu sampai setengah matang.Sembari menunggu, Junaedi membuat bumbu untuk kuah cilok yaitu bawang putih, bawang merah, kemiri, dan lada. Setelah menghaluskan bumbu itu, dia menumisnya dengan menambahkan beberapa daun jeruk dan garam secukupnya hingga harum. Lalu, memasukkannya ke dalam kuah iga yang telah dipresto di awal meracik. Junaedi menambahkan air hingga kuah mencapai setengah panci lebih sedikit. Kemudian, merebusnya sampai mendidih.Setelah mendidih, Junaedi mencicipi. Karena sudah merasa pas, dia mengecilkan api dan terus merebusnya dengan api kecil untuk menjaga kehangatan kuah. Junaedi melihat cilok-ciloknya sudah hampir matang, dia pun memindahkan cilok-cilok tersebut ke panci kukus dan mengukusnya dengan api kecil.Aroma harum masakan semerbak menusuk-nusuk hidung Makonah. Wanita itu sungguh tergoda. Akhirnya, dia ikut bangkit menyusul sang suami yang tampak sedang mencicipi masakan mereka berdua.Ketika Tukijo mencicipi kuah iga hasil masakan Junaedi, dia terlihat sangat menikmati sampai teringat akan sesuatu. "Saya sungguh terkesan dengan masakan ini, saya mengingat seseorang saat menikmatinya." ujarnya."Mas Agus? Benar, kan?" sahut Markonah merangkul dan menatap sang suami."Ya."Mas Agus sang pemilik restoran mie ayam di blok M dulu, telah meninggal 10 tahun yang lalu karena penyakit gagal ginjal. Anggota keluarganya menjual tempat itu, dan kini, restoran itu menjadi Rumah Makan BaKul.Sebagai pelengkap, Junaedi juga menyiapkan, bihun rebus, pangsit goreng, irisan daun seledri dan bawang merah goreng untuk taburan penyajian, serta tiga macam sambal pelengkap. Sambal kacang yaitu ulekan kacang goreng dengan cabai rawit, bawang putih, kencur, dan sedikit asam, garam dan gula merah. Sambal kecap yaitu kecap dengan irisan cabai rawit dan bawang merah mentah. Sambal cabai biasa yaitu ulekan cabai rawit mentah dengan bawang putih dan garam. Ada juga makanan pelengkap lainnya yang sudah tersedia seperti lontong, nasi, dan kerupuk.Tukijo dan Markonah kembali duduk di kursi pelanggan. Sementara itu kedua kontestan menyajikan sajian terbaik mereka. Rupanya, Joko juga telah memantau bagaimana Junaedi meracik dan membuat masakan. Kesan Tukijo terhadap Junaedi, membuat Joko khawatir bahwa Junaedi akan memenangkan tantangan itu dan menjadi kepala koki. Jika Junaedi berhasil menjadi kepala koki, posisinya sebagai manager akan terancam.Tanpa rasa malu, Joko melangkah mendatangi Tukijo dan Markonah. "Tuan dan Nyonya, saya memiliki sebuah tawaran.""Tawaran apa?" sahut Tukijo menatapnya dengan mata menyelidik."Jika Anda menyatakan, bahwa Junaedi kalah dalam tantangan ini, saya akan memberi kartu vip pelanggan gratis untuk Anda. Setiap Anda datang dan memesan makanan di sini, Anda atau siapapun yang menbawa kartu itu, tidak perlu membayar sepeserpu. Bagaimana?" tawar Joko membujuk Tukijo dan istrinya.Markonah berdiri berkacak pinggang. "Apakah Anda pikir suami saya kekurangan uang sehingga tidak sanggup membayar makanan di sini? Jika suami saya ingin, dia bahkan bisa membeli bisnis ini saat ini juga!""Sudahlah, sayang. Nggak usah mikirin orang yang hatinya lagi panas!" Tukijo menarik tangan Markonah agar duduk kembali."Mohon maaf, Nyonya. Tapi saya tidak akan menyetujui tempat ini dijual kepada siapapun!" sahut Junaedi datang dengan membawa dua mangkuk cilok kuah iga sapi di atas nampan.Satu mangkok berisi satu iga sapi, satu cilok besar isi rendang, dua cilok pangsit, lima cilok tanpa isi, bihun, dua pangsit goreng, taburan bawang merah goreng dan seledri. Pelengkap tiga sambel, lontong dan kerupuk dipisah dengan wadah yang berbeda-beda."Apa alasanmu tidak menyetujui tempat ini untuk dijual? Dan, memangnya siapa pemilik tempat ini?" tanya Tukijo kepada Junaedi yang sedang menyajikan makanan di hadapannya."Rumah Makan ini adalah salah satu bisnis peninggalan ayah saya. Saya akan berusaha yang terbaik untuk membangkitkan bisnisnya, agar bisa kembali dari keterpurukan!"Sekarang, Tukijo mengerti, mengapa lelaki pelayan itu sangat berani dan percaya diri, padahal dia hanya seorang pelayan. Dan mengapa dia tidak ingin manajernya sendiri menjadi juri dalam tantangannya. Karena dia tahu bahwa sang manajer memiliki penyakit hati."Cih!" decak Joko tak senang.Tak lama kemudian, sang kepala koki pun juga muncul membawa hasil masakannya. Penilaian pun dimulai ....Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit
Jamelah mengantar Sutejo ke kamar tamu dan membantunya berbaring ke ranjang. Saat Jamelah hendak pamit undur diri, tangan pak tua itu dengan lemah menarik baju Jamelah."Nak, bolehkah aku minta tolong?" ujar Sutejo."Kakek mau minta tolong apa?""Sebelum Junaedi pulang, aku melihat Ambar menyimpan gunting di sakunya. Tolong, kamu lihat kamarnya dan bangunkan dia! Aku sangat khawatir."Jamelah pun segera berlari menuju kamar Junaedi. Pintunya terkunci. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Junaedi.Sementara itu, di dalam kamar, aksi Ambar terhenti karena suara getaran di ponsel suaminya. Sayangnya suara getaran itu terdengar sangat lirih sehingga tidak mampu membangunkan Junaedi. Ambar pun melihat layar ponsel itu."Jamelah?" Dia mengangkatnya, karena ingin tahu apa yang akan pembantu itu katakan."Halo, Pak Juned." Jamelah terhenti. Sebenarnya, dia hanya ingin mengetes, siapa yang mengangkat ponsel milik Junaedi."Dasar pembantu tak punya sopan santun! Beraninya kau mengganggu malamku
Junaedi segera membuang separuh air dari kuah tersebut dengan menyaringnya."Loh, kenapa dibuang, Mas Juned?" tanya Aris yang entah itu hanya pura-pura, atau benar-benar tidak tahu."Nggak tau, Ris. Garam tiba-tiba abis separo dan kuahnya jadi asin banget!"Wajah Aris berkerut melihat setoples garam yang tinggal separuh. "Loh! Kok bisa sih, perasaan saya nggak kasih garam lagi, karena rasanya memang sudah pas. Saya bener-bener nggak tau, Mas."Jika bukan Aris, lalu siapa? Pikiran Junaedi berkelut. Kemudian dia memfokuskan diri untuk menumis bumbu yang baru dan menuangkan air lagi ke dalam setengah kuah yang tersisa.Lima menit kemudian, beberapa mobil datang, parkir di depan restoran. Namun tampaknya mereka tidak langsung masuk dan sibuk dengan sesuatu."Mana tanggganya?" tanya Tukijo kepada salah satu teman-temannya yang sedang berkerumun mengelilinginya.Cecep bergegas pergi ke bagasi untuk mengambil tangga lipat.Tukijo meminta bantuan Sugeng, untuk memegang ujung spanduk yang ia b
"Maaf, Pak Juned. Saya hanya sedikit terkejut. Saya akan segera membersihkannya," ujar Jamelah segera bergegas melakukan pekerjaan."Aku akan membantumu!" Junaedi mengambil sebuah lap dan ikut membersihkan noda merah yang tercecer di dinding kamar mandi.Sesekali, Junaedi melirik ke arah Jamelah. Khawatir dia akan terganggu kehidupannya karena dihantui dengan teror. Namun setelah melihatnya, tak tampak sedikitpun wajah panik atau takut. Malah, dia terlihat begitu serius dan tenang menghadapi teror ini. Tanpa sadar, Junaedi menatap Jamelah terlalu lama karena melamun."Pak? Pak Juned?" Jamelah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Junaedi, hingga lelaki berjakun itu akhirnya tersadar."Oh, maaf," sahutnya."Bapak melamun apa sih? Kok ngeliatin saya sampe segitunya.""Apa kamu tidak khawatir?""Pak Juned tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya bisa melindungi diri sendiri. Justru yang harus Anda khawatirkan adalah Kakek Sutejo," ujar Jamelah mengalihkan pandangannya sembari menggos
"Akhir-akhir ini, warga sekitar sini katanya banyak yang kehilangan kucing peliharaan mereka. Terus, Pak RT nemuin karung berisi bangkai beberapa kepala kucing dan bulu-bulunya di sebelah pot samping depan," jelas Aris.Karung? Junaedi tidak terlalu memperhatikan ada karung di sana saat dia datang ke Rumah Makan Wah Pi-Lok."Iya, Ris. Aku otw. Tunggu ya." Kemudian Junaedi mematikan telepon dan berpamitan kepada Marina. "Mar, aku balik ke Pi-Lok ya. Ada urusan mendadak," ujarnya.Saat dalam perjalanan menuju Rumah Makan Wah Pi-Lok, Junaedi teringat dengan video rekaman CCTV yang Sarah kirimkan tadi pagi. Tentang seorang yang meneror membawa sesuatu dikarungnya. Jangan-jangan ...Lelaki itu pun segera menghentikan laju mobilnya dan mengecek kembali video tersebut. Kemudian, dia kembali berkendara hingga sampai ke lokasi tujuan. Setibanya ia di sana, begitu banyak orang yang berkerumun di pintu masuk.Ketika Junaedi baru keluar dari mobil untuk mengecek apa yang telah terjadi, seseorang
Pukul 20.55Seperti biasa, Jamelah menemani Kakek Sutejo hingga orang tua itu tertidur. Setelah sang kakek tertidur, ia keluar dari kamar menuju ruang tamu. Gadis itu merasa ada seseorang mengikutinya dari belakang. Dia segera menoleh. Dan tiba-tiba ...Bugh!Seseorang memukul keras punggungnya dari belakang. Jamelah pun terjatuh sekali pukul. Samar-samar dia melihat kaki seseorang melangkah di hadapannya. Tak jelas, pandangannya mulai kabur, gelap, dan ia pun tak sadarkan diri.Jamelah terbangun oleh suara nyamuk yang terus beterbangan ke sana ke mari di sekitar telinganya. Sebuah ruangan berlantai tanah, gelap, dingin, dan sedikit berangin. Bau aroma asap rokok, menggempul memenuhi ruangan. Dia terbangun dalam keadaan tangannya terikat melingkar ke belakang kursi dan kakinya terikat lurus di bagian bawah betis."Uhuk ... uhuk! Di mana ini? Aku benci asap rokok!" gumamnya terbatuk-batuk.Tiba-tiba, mucul tepat di hadapan wajah Jamelah, sosok wajah wanita sedang mengapit suatu benda k
Di saat hati Junaedi dipenuhi kecurigaan dan kebimbangan. Seketika itu juga, dia mendapat telepon dari Sarah."Susah banget sih dihubungin!" ketus Sarah merasa kesal karena saat gadis itu beberapa kali menghubunginya, ponsel Junaedi sibuk terus."Kenapa?""Istrimu dan beberapa orang membawa Kakek dan pembantumu pergi! Aku melihat dari CCTV depan, mereka menggunakan mobil off road berwarna hijau tua sekitar lima menit yang lalu!" jelas Sarah."Apa!"Kemudian Junaedi mematikan telepon dan segera memutar balik mobilnya mengejar mobil itu. Dia sempat kehilangan jejak, hingga berjalan terus tanpa arah.Namun, keberuntungan masih berpihak padanya. Junaedi menjumpai mobil itu masuk ke sebuah pekarangan. Karena jalan di pekarangan tidak rata, mobil berjalan sangat lambat. Dia memutuskan untuk keluar dan berjalan kaki mengikuti mobil itu.Mobil tersebut tampak berhenti di depan sebuah gubuk kayu. Gubuk tersebut tanpa dinding dan di dalamnya terdapat banyak tumpukan bata.Di samping gubuk itu,
Dor!Suara letupan tembakan membuat Junaedi reflek tiarap. Sementara si pria ninja di hadapannya, terlihat tidak peduli seolah-olah mereka tahu siapa penembak tersebut.Dor! Dor!Junaedi berguling merayap menghindari tembakan itu. Dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Mereka benar-benar telah memperhitungkan segala hal untuk menutupi identitas mereka.Di sisi lain, Jamelah telah sampai di unit kesehatan dan segera membawa sang kakek ke ruang UGD. Gadis itu meminta bantuan sang resepsionis untuk menghubungi anggota keluarga Sutejo. Dia pun menelpon Junaedi. Namun, keadaan Junaedi yang sedang genting kabur dari si pria berkacamata, tidak memungkinkan untuk mengangkat panggilan."Tolong sekali lagi, Mbak!" pinta gadis itu memohon kepada sang resepsionis.Jamelah pun merasa bimbang. Antara dia harus kembali ke tengah sawah untuk melihat apa yang terjadi pada Junaedi, atau menunggu hasil pemeriksaan sang kakek. Dia ingin menghubungi Susi, tapi juga tidak hafal nomor kontaknya.Jika se