Kuburan Iblis dan Dewa ...
Sebuah kuburan kuno yang paling ditakuti oleh seluruh praktisi bela diri di Nagapolis, Propinsi Xandaria yang merupakan propinsi terbesar di Negara Vandarian.
"Kevin Drakenis, aku hadiahkan Pedang Dewa Ilahi kepadamu. Seluruh ilmu Pedang Dewa Ilahi telah kuajarkan kepadamu! Roh Pedang juga ada di dalam pedang ini, kalau kemampuanmu sudah mencapai maksimum maka Roh Pedang akan muncul membantumu! Tinggal kamu tunjukkan pedang ini kepada Klan Vasendra maka keturunanku ini akan membantumu sebaik mungkin."
Pemuda yang berumur sekitar 18 tahun ini menatap pedang yang berwarna biru pada bilah pedangnya ini dan memantulkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Tangannya dengan ringan mengayunkan pedang besar yang cukup berat ini. Tidak ada ucapan apapun dari pemuda ini ... wajahnya terlihat dingin menerima pedang pusaka ini.
"Ada beberapa ilmu pedang lain di dalam Kitab Ilmu Pedang Dewa yang bisa kamu pelajari untuk meningkatkan ilmu pedangmu!" lanjut bayangan yang memberinya Pedang Dewa Ilahi.
"Anak bodoh! Aku telah mengajarimu membuat berbagai ramuan dari tanaman herbal serta membuat pil spiritual yang sangat berguna bagimu dalam pertarungan. Aku menuliskan semuanya dalam Kitab Ilmu Medis dan Alkimia ini. Pelajari dengan lebih dalam agar kamu mampu menjadi Dewa Medis yang mampu mengobati siapapun di dunia ini."
Suara bayangan lainnya membuat Kevin tersadar dari lamunannya.
"Aku juga mewariskan Jarum Sembilan Ilahi untuk kamu gunakan dalam pengobatan menggunakan tusuk jarum!" lanjut bayangan ini.
Kevin menatap Kitab berwarna-warni yang bisa berubah warna ini. Tiap warna berbeda akan memuat isi buku yang berbeda pula. Kemudian matanya beralih ke kotak berukiran simbol rune yang menyimpan sembilan jarum ilahi yang sangat ampuh dalam pengobatan tusuk jarum.
"Muridku, aku tidak seperti dua dewa keparat itu. Aku telah banyak mengajarimu dasar-dasar pernafasan spiritual, juga teknik Jimat Rune yang mampu menyerang dan bertahan, Jangan lupa berbagai formasi yang telah aku ajarkan padamu!"
Bayangan ketiga mulai bersaing dengan dua bayangan sebelumnya.
"Bocah, aku telah mengajarimu cara berbisnis yang aku ketahui. Simpan baik-baik delapan kartu anggota VIP dari Paviliun Caraxis yang tersebar di seluruh negeri bahkan dunia. Kamu bisa menarik dana tak terbatas yang tiap tahun dimasukkan oleh seluruh anggota Paviliun Caraxis. Taklukan semua kesombongan dengan uang dan kepintaranmu berbisnis!" ucap bayangan keempat.
"Apa kartu anggota VIP ini benar-benar bisa untuk menarik uang tunai?" tanya Kevin dengan keraguan. Tidak mungkin kartu kuno seperti itu masih berlaku di jaman sekarang, tapi ia tidak ingin mengecewakan gurunya.
"Jangan khawatir, kartu ini berlaku tanpa batas! Aku juga telah mengajarimu berbagai strategi peperangan, kamu bisa membacanya lagi di dalam Kitab Dewa Perang apabila suatu saat kamu membutuhkannya."
"Kevin, aku telah mengajarimu semua teknik Assassin yang terkenal sepanjang jaman. Sekarang, aku berikan Token VIP kepadamu. Seluruh organisasi pembunuh akan patuh pada perintahmu apabila kamu tunjukkan token ini!"
Kevin menerima Token Emas ini dengan sikap dingin saja tanpa rasa antusias membuat Dewa kelima yang memberikannya agak sedikit kecewa.
Bayangan iblis ini kemudian melanjutkan, "Simpan kartu Dracarys ini. Kamu bisa mengeluarkannya dan mengusapnya, maka akan ada bala bantuan yang kamu butuhkan dari paviliun terdekat untuk melakukan apa saja sesuai keinginanmu!"
"Anak Iblis ... aku telah mengajarimu teknik menghilang sementara dari Klan Iblis Semesta! Tunjukkan cincin giok hitam ini maka seluruh Klan Iblis Semesta akan takluk di bawah kepemimpinanmu! Selain itu, aku telah mengajarimu cara membuat benda-benda yang mampu membuatmu menghilang untuk sementara apabila energimu tidak cukup untuk menghilang."
Saat Kevin memasukkan cincin yang longgar ini ke jarinya, cincin giok hitam otomatis menciut sesuai ukuran jarinya.
Bayangan iblis ini mulai beraksi untuk menandingi kehebatan yang diberikan oleh bayangan dewa.
"Naga Kecil, aku telah mengajarimu berbagai teknik perubahan wujud menjadi hewan spiritual saat terdesak oleh lawan yang menurutmu tak bisa kau menangkan. Kamu telah berhasil berubah menjadi naga tapi ingat masih banyak perubahan lainnya yang bisa kamu pelajari!"
Iblis ini menempelkan jarinya ke dahi Kevin untuk menyalurkan berbagai ilmu perubahan wujud yang bisa ia pelajari nanti.
"Aku ingin kamu menjadi Iblis Racun dengan semua teknik racun yang telah aku ajarkan, baik racun pemikat maupun racun pembunuh! Terimalah Kitab Iblis Racun ini untuk kamu pelajari nanti. Jangan lupa untuk mengunjungi Sekte Racun Iblis untuk mendapatkan Pil Racun Iblis yang tersimpan di berbagai tempat di dunia. Pil Racun Iblis tidak ada penawarnya, tapi di dalam darahmu ada penawar racun untuk pil racun ini.
"Terimalah tongkat sihir yang terbuat dari campuran bahan-bahan spiritual tingkat tinggi. Gunakan sihir dengan bijaksana karena kamu tidak akan bisa menggunakan sihir yang aku ajarkan di Dunia Timur ini, tapi saat kamu mengunjungi Dunia Barat, sihir ini akan menjadi sihir yang kuat. Aku telah mengajarimu sihir kematian dan juga sihir pelindung, selebihnya bisa kamu pelajari di Infinity Witch Scroll ini."
Infinity Witch Scroll otomatis menghilang saat berada di tangan Kevin.
"Kamu bisa memunculkannya kapan saja karena telah terintegrasi dengan pikiranmu," jelas Iblis Sihir ini. "Jangan lupa kunjungi House of Witch saat kamu berada di Dunia Barat untuk memperkuat ilmu sihirmu. Perlihatkan tongkat sihirmu maka mereka akan mematuhimu."
"Aku telah mengajarimu cara mengenali artefak spiritual yang berguna bagimu untuk memperkuat kemampuanmu! Sekarang kamu memiliki Liontin Phoenix untuk memperkuat elemental apimu serta Cincin Dimensi untuk menembus ruang dan waktu. Satu lagi, Cincin Ruang untuk menyimpan semua barang-barangmu untuk diambil kapan saja.
Kamu bisa mengunjungi Organisasi Artefak Kuno dan perlihatkan saja liontin dan cincin warisan organisasi ini maka berbagai artefak kuno yang hebat akan mereka tunjukkan padamu."
Siapa sebenarnya pemuda yang mendapatkan begitu banyak ilmu dan benda pusaka dari penghuni Kuburan Iblis dan Dewa ini?
Sepuluh bayangan yang menyerupai roh, setengahnya adalah bayangan putih sedangkan setengahnya adalah bayangan hitam berkumpul bersama dengan mengelilingi Kevin Drakenis yang berada di tengah. Aura mengerikan terpancar dari seluruh bayangan ini yang membuat suasana Kuburan Iblis dan Dewa ini seperti mengalami badai kosmis. Aura mengerikan ini menunjukkan kehebatan mereka di masa kejayaan serta jaman keemasan dewa dan iblis ini.Saat ini, sepuluh penghuni Kuburan Iblis dan Dewa yang masih aktif ini tampak sangat berbahagia. Setelah lima tahun berlalu, mereka masih enggan untuk melepaskan Kevin ke dunia luar yang kejam.Ratusan tahun menunggu pewaris yang tepat, akhirnya mereka menemukan Kevin yang terjerumus masuk ke dalam Kuburan Iblis dan Dewa. Sekarang mereka tampak bahagia terhadap Kevin, tapi lima tahun lalu saat Kevin pertama kali tiba di kuburan ini, ia mengalami siksaan lahir-batin dari iblis dan dewa yang menghuni Kuburan Iblis dan Dewa ini selama berabad-abad lamanya.Sekarang
Kevin Drakenis masih saja tidak habis pikir dengan sikap kekasihnya yang berbalik membencinya."Ayahku memperlakukanmu dengan baik, menerima keluargamu saat kalian hampir bangkrut! Begini cara kalian membalasnya?!" suaranya penuh kemarahan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Helena mendekat, menatap Kevin seolah ia adalah serangga yang pantas dihancurkan. "Kau sudah bukan Jenius Bela Diri lagi, Kevin. Sekarang, akulah yang akan menggantikanmu! Dan hari ini, Keluarga Drakenis akan binasa dari Vandaria!" Pernyataan itu menyadarkannya. Kevin berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Ketika akhirnya ia tiba di Paviliun Drakenis, semua sudah terlambat. Bangunan yang dulu megah kini hanya reruntuhan yang dilalap api. Bau anyir darah bercampur dengan asap hitam yang membubung ke langit. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang halaman, tubuh mereka dingin dan tak bernyawa Di antara mereka, Kevin menemukan sosok yang paling ia
Kevin melangkah cepat di antara pepohonan yang menjulang di kaki Gunung Xandaria. Napasnya teratur, tapi sorot matanya tajam, seakan-akan setiap langkahnya membawa kenangan yang tak bisa dihapus oleh waktu. Udara di sekitarnya dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang tertiup angin, membawa nostalgia yang mengguncang hatinya. Tak lama, hamparan beton dan kaca dari Kota Nagapolis tampak di depan mata. Kota yang dulu menjadi saksi kejayaan keluarganya, sekaligus kehancuran yang menyisakan dendam.Lima tahun berlalu sejak ia terakhir kali menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Bagaimana rupa kota ini sekarang? Apa yang berubah?Ia harus mencari informasi terlebih dahulu tentang Nagapolis, terutama Keluarga Caraxis yang menjadi sasaran pertamanya untuk menyelidiki kejadian lima tahun yang lalu. Tiba-tiba Kevin teringat kartu magnetik Dracarys yang bisa digunakannya.Jemarinya merogoh saku dalam pakaiannya, menyentuh kartu kristal biru yang terasa dingin di ujung jarinya. Kartu Dra
Paviliun Timur Caraxis diselimuti oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara pepohonan kering. Aroma anyir darah bercampur dengan udara malam yang dingin, menusuk hidung seperti belati tak kasat mata. Cahaya bulan temaram memantulkan siluet seorang gadis yang tergantung di tiang kayu, tubuhnya dililit kawat duri yang mencengkeram erat seperti ular berbisa yang tak ingin melepas buruannya.Ravena Xenagon, gadis berwajah pucat bagai salju musim dingin, hanya bisa menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya. Setiap tarikan napasnya seperti serpihan kaca yang menghujam paru-parunya. Darah merembes dari luka-luka yang menganga di kulitnya, menetes perlahan ke tanah yang telah berubah merah tua karena darah yang tumpah di tempat itu.Di hadapannya, seorang wanita dengan gaun merah tua—semerah darah yang mengalir dari tubuh Ravena—menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. Helena Caraxis. Wanita itu berlutut dengan santai, tangan kanannya memegang paku panja
Ravena merasakan kemarahan meledak di dadanya. "Cih! Aku tak habis pikir mengapa Kak Kevin bisa begitu jatuh cinta pada wanita sekeji dirimu!" Suaranya penuh penghinaan, tapi tubuhnya gemetar oleh ketegangan.Helena menyeringai, melangkah mendekat dengan angkuh. "Kau tak bisa menyentuhku, adik ipar ... hihihi! Jadi, buang jauh-jauh niat membunuhmu!" katanya penuh kepuasan. "Masih bersikeras? Baiklah! Potong kaki pengawal ini!""Tunggu!" Ravena akhirnya berteriak, matanya memancarkan kepasrahan bercampur kebencian. "Baiklah! Aku akan memberikan Darah Iblis Es! Tapi lepaskan mereka!" Suaranya pecah, nyaris memohon. Tiga pengawalnya telah menjadi keluarganya. Dia tak bisa membiarkan mereka mati dengan sia-sia.Helena terkekeh, lalu dengan kejam meraih tangan Ravena. Pisau peraknya bergerak cepat, memotong nadi Ravena tanpa ragu. Darah biru es menyembur keluar, mengalir ke dalam wadah yang telah disiapkan.Helena membutuhkan Ravena dalam keadaan hidup agar Darah Iblis Es yang diambilnya b
"Kevin Drakenis! Beraninya kau menampakkan wajah busukmu di sini!" serunya penuh kejijikan. "Bukannya kau telah mati, sampah!" Kevin mengeraskan tatapannya. "Helena Caraxis! Kau telah membantai keluargaku, mengorbankan adikku demi Darah Iblis Es, dan sekarang kau berdiri di sini, bertingkah seolah tak bersalah?! Kau ini manusia atau iblis, hah?!" Helena tersenyum sinis sebelum melambaikan tangannya. Beberapa pengawal Paviliun bergegas masuk, pedang mereka terhunus. "Habisi dia! Potong tubuhnya dan beri makan binatang buas!" Lima pengawal mengepung Kevin. Salah satu dari mereka melangkah maju, mengayunkan pedangnya dengan cepat. Namun— SRET! Kepala pengawal itu tiba-tiba terlepas dari tubuhnya, jatuh dan menggelinding di atas tanah. Matanya masih terbuka lebar, seolah tak percaya telah mati begitu cepat. Empat pengawal lainnya membeku, tak sempat bereaksi sebelum nasib serupa menimpa mereka. Dalam sekejap, kepala mereka juga terpenggal, darah memancar liar ke segala arah. Kevi
KRAAAK! KRAAK!Suara tulang kakinya remuk terdengar nyaring. Teriakan Helena menggema di seluruh paviliun, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Air matanya bercampur darah yang mengalir dari luka-lukanya. Namun, Kevin tidak berhenti di situ. Dengan satu gerakan cepat, ia merogoh bagian dada Helena dan merampas botol kecil berisi Darah Iblis Es yang disembunyikan perempuan itu. Mata Helena berkilat dengan kebencian yang membara. “Aku akan membunuhmu, Kevin Drakenis!” raungnya dengan napas terengah-engah. Tetapi, tubuhnya tetap tak bisa bergerak. Totokan Kevin memastikan bahwa bahkan bunuh diri pun bukanlah pilihan baginya. Kevin menatap botol itu, kemudian kembali menatap Helena yang kini sudah tidak semenarik dirinya yang dulu. Hanya sisa seorang wanita yang telah kehilangan segalanya. Tanpa berkata-kata lagi, Kevin berbalik dan melangkah pergi, membiarkan suara tangisan dan jeritan Helena menggema di dalam kegelapan malam. Ia harus secepatnya mengembalikan kondisi Ravena yan
Helena terduduk bersandar pada dinding Paviliun Timur, napasnya memburu, tubuhnya lunglai seakan tak lagi memiliki semangat hidup. Dulu, ia adalah wanita yang memesona, penuh percaya diri, dan begitu dihormati. Namun kini, sosoknya bak bayangan masa lalu—lusuh, tak berdaya, dan kehilangan sinar kecantikannya. "Bajingan kau, Kevin! Aku harap kau mati dicincang oleh Keluarga Caraxian!" suaranya melengking, penuh amarah dan keputusasaan. Kevin, yang baru saja melangkah masuk, berhenti sejenak. Matanya menyala oleh kemarahan yang membara. Tanpa banyak bicara, ia meraih rambut panjang Helena yang sudah kusut dan menjambaknya dengan kasar. "Dasar iblis! Apa kau tidak pernah diajarkan untuk bertobat?" geramnya. Helena menjerit, kedua tangannya berusaha mencengkeram pergelangan tangan Kevin agar melepaskannya. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Namun Kevin tidak peduli. Dengan kekuatan yang tak tertahan, ia menyeret tubuh ringkih Helena keluar dari Paviliun Timur. Sepanjang perjalanan
Pria tua itu tertawa pelan, ujung jarinya mengetuk botol kaca itu. “Sangat … sebanding,” bisiknya, mata logamnya berkilat.Mata pria tua itu berkilat tajam, seperti sepasang batu permata logam yang memantulkan cahaya neraka. Bibirnya melengkung ke dalam seringai licik, rasa puas terpancar dari setiap kerutan wajahnya. Dengan gerakan halus, ia mengangkat tangan, memberi isyarat kecil pada asistennya — seorang pemuda kurus bermata cekung, aura spiritualnya lemah tapi tangannya cekatan.Pemuda itu mendekati sebuah peti kayu hitam, terikat benang-benang spiritual merah yang berdenyut samar, seolah hidup. Dengan mantra pelan, segel-segel itu terbuka satu per satu, memancarkan kilatan kecil cahaya merah. Saat tutup peti terbuka, udara di dalam tenda mendadak menghangat, bahkan membakar ujung-ujung rambut.Di dalam peti, terbaring sebuah batu merah menyala — Vermillion Vein, tampak seperti bara hidup yang bernafas. Setiap detik, pancaran panasnya menggetarkan udara, menciptakan riak-riak tip
Di puncak tertinggi Paviliun Dracarys, Kevin berdiri tegak, siluetnya terpotong cahaya remang lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Matanya, tajam dan penuh tekad, menatap cakrawala seolah mencoba menembus jarak yang memisahkannya dari takdir yang sebentar lagi datang menghantam. Angin memainkan ujung jubahnya, membuatnya berkibar pelan, seperti sayap naga yang sedang merentang di bawah cahaya samar bulan.Di bawah, di dalam ruangan pusat komando, Claudia nyaris tak berhenti bergerak. Rambutnya yang hitam berantakan menempel di pelipis, sementara jemarinya sibuk menari di atas layar komunikasi holografik. Suara Claudia terdengar cepat, teratur, tapi ada tepi kegelisahan yang merayap di ujung nadanya. “Chief, satu petunjuk mengarah ke Pasar Gelap Agarthium, Centralpolis,” ucapnya dengan suara yang agak serak, kelelahan mulai menggerogoti tenaganya. “Ada rumor… seorang kolektor eksentrik menyimpan batu Vermillion Vein, jenis merah pekat, yang telah melewati ritus pemurnian api na
Cahaya lampu di dalam kamar Paviliun Dracarys masih bergetar lembut, memantul di atas lantai marmer yang sempat diselimuti kabut dingin dari kekuatan Darah Iblis Es milik Ravena. Setelah kekacauan itu mereda, Kevin menoleh ke arah Clara yang tengah berjongkok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar meskipun hawa dingin sudah mulai menghilang.Kevin menghampirinya, perlahan berlutut hingga sejajar dengan mata gadis itu. Tatapannya lembut, jauh berbeda dari sosok dingin yang beberapa saat lalu mengeksekusi Gubernur Adam Smith tanpa ragu.“Kamu tidak apa-apa, Clara?” tanyanya pelan, suara itu terdengar seperti pelukan hangat di tengah sisa-sisa badai.Clara mengangguk kecil, tapi suaranya serak saat menjawab.“Aku ... aku baik-baik saja, Kev. Tapi ... Vena?” Matanya beralih, mencari sosok yang ia sayangi. “Bagaimana dengan Ravena? Dia … tidak terluka, kan?”Kevin mengangguk meyakinkan. “Dia sudah kembali... masih pingsan, tapi aku berhasil menstabilkan auranya. Dia akan baik-baik saja.”Sebelu
“Ravena … dengarkan aku,” suara Kevin terdengar pelan, tapi ada kekuatan yang menggema di balik bisikannya. Setiap kata meluncur seperti doa yang menembus badai, menggetarkan udara yang dingin membatu. Tatapannya menancap pada gadis yang berdiri kaku di depannya, matanya yang dulu penuh cahaya kini hanya cermin gelap yang memantulkan kekuatan terkutuk. “Aku tahu kau masih ada di sana. Aku tidak datang untuk melawanmu—aku datang untuk membebaskanmu dari belenggu darah terkutuk itu.”Untuk sekejap, hanya desiran angin es yang menjawab. Tapi kemudian … AUMMM! Ravena mengaum, suara nyaringnya menggema seperti serigala salju meraung di tengah badai kutub. Napas putih menyembur dari bibirnya, dan lantai di bawahnya mulai memutih, tertutup es yang menjalar cepat, melingkar seperti ular glasial menuju kaki Kevin.Kevin mengerutkan kening, lalu BRAK! — dengan satu hentakan kaki, dia mengaktifkan Divine Flame Shield di sekeliling tubuhnya. Api ilahi menyala lembut di permukaan kulitnya, merah
Langit di atas Nagapolis menyelubungi kota dengan kegelapan yang pekat, seakan menelan segala cahaya. Awan hitam berputar perlahan di atas, menyelimuti dunia di bawahnya dalam suasana suram yang aneh—seperti energi gelap yang meresap ke dalam langit, mengambil kekuatan dari sesuatu yang tak tampak oleh mata manusia. Suasana itu memberi kesan seolah dunia ini sedang berada di ujung kehancuran.Di dalam markas Paviliun Dracarys yang menjulang tinggi dan kokoh, sebuah aura mengerikan mulai membentuk. Ruang di salah satu kamar tamu terasa jauh lebih dingin dari biasanya, seperti es yang mengalir di udara. Gelombang energi beku menyebar, menghantam dinding-dinding dengan kekuatan luar biasa. Suhu di sekitarnya merosot dengan cepat—sungguh luar biasa—hingga es mulai menutupi permukaan dinding, membentuk lapisan tipis seperti kulit beku yang siap mencabik siapapun yang mendekat.Jendela-jendela mulai berembun, perlahan menghitam dan retak-retak, suara gemerisiknya bergetar dalam keheningan ma
Raungan mesin mewah memecah kesunyian malam yang mencekam. Lima mobil Bentley berwarna hitam legam berhenti dalam formasi rapi di halaman depan kediaman gubernur yang kini hanya menyisakan puing dan bau gosong. Kilatan lampu mobil menyinari tubuh Kevin dan Valkyrie yang masih berdiri di tengah reruntuhan, dikelilingi abu, debu, dan bayangan kematian.Dari pintu salah satu mobil, seorang wanita turun anggun namun penuh wibawa. Gaun merah menyala dengan belahan tinggi di kaki kanannya melambai diterpa angin malam, memperlihatkan betisnya yang jenjang dan langkahnya yang mantap. Rambut hitam panjangnya terurai rapi, dan sepatu hak tingginya mengetuk aspal dengan suara menggoda.Ia langsung menunduk dalam-dalam ke arah Kevin, dengan tangan di dada, menunjukkan sikap penuh hormat dan loyalitas.“Chief … apakah peti mati spiritual yang tadinya buat Gubernur juga akan kita bawa pulang?” tanyanya, suaranya lembut namun profesional. Wajahnya tenang, tapi matanya menyorot tajam seperti selalu si
Suara itu datang menggema dari kejauhan, bergema bagaikan petir yang merambat melalui udara meski jarak memisahkan mereka. “Kenapa kau tidak mengikutiku? Katanya mau jadi pelayanku?”Nada Kevin terdengar dingin namun tegas, seakan mengiris udara. Meski hanya berupa suara yang disalurkan melalui energi spiritual, setiap kata menyusup tajam ke telinga Valkyrie, mengguncang hatinya yang sempat tenggelam dalam keraguan.Valkyrie yang semula berdiri terpaku, mata birunya menatap kosong ke cakrawala, tiba-tiba mengerjap. Seketika wajahnya yang pucat karena kelelahan memerah, berseri-seri seperti bunga sakura yang mekar di pagi hari . Sebuah senyum kecil, pertama kali sejak pertemuan mereka, merekah di bibirnya.“Dia memanggilku …” bisiknya pelan, seakan meyakinkan dirinya sendiri. Dia sempat menyangka Kevin hanya akan menolongnya tanpa menginginkannya lebih jauh. Tapi kini—ada harapan.“Siap, Tuan Muda!” seru Valkyrie, suaranya lantang penuh semangat. Dengan gerakan cepat namun anggun, tang
Kevin perlahan memutar tubuhnya, derap langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tergeletak di balik kepulan debu. Valkyrie—Celestial Myrad yang baru saja ia kalahkan—terbaring di atas tanah yang retak, tubuhnya penuh luka, armor peraknya remuk, sayap-sayap cahayanya kini hanya kelap-kelip samar. Namun matanya… masih menyala. Masih menyimpan api yang belum padam.“Aku …” suara Valkyrie terdengar serak, tapi tegas, “aku akan menjadi pelayanmu … jika kau memulihkan kondisi tubuhku yang rusak.” Nada suara itu aneh—campuran kesombongan yang dipaksa tunduk, dan pengakuan kekalahan yang pahit.Kevin menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Apa gunanya bagiku?” desisnya, suara rendahnya nyaris seperti geraman. “Baru beberapa saat lalu kau ingin membunuhku tanpa ampun. Dan sekarang? Kau ingin jadi pelayanku? Jangan bercanda.”Valkyrie menggigit bibirnya, darah emas menetes di dagu. “Aku hanya menjalankan perintah …” katanya, matanya menatap Kevin tanpa berkedip. “Tapi aku
“Cukup dengan kebohonganmu.” Suara Kevin terdengar pelan, nyaris tanpa emosi, seperti sebongkah es yang jatuh menghantam tanah, dingin dan datar. Matanya menatap kosong ke arah Adam Smith, yang kini hanya tinggal bayangan lelaki sombong yang dulu berdiri gagah sebagai Gubernur Xandaria. “Kau hanyalah makhluk rendahan …” lanjut Kevin pelan, kata-katanya menggantung tajam di udara, “yang tak berguna bagiku.”Ia menunduk perlahan, membiarkan helaan napasnya yang dingin menyapu telinga Adam yang pucat. “Kau akan mati bukan sebagai gubernur …” bisiknya, suaranya nyaris seperti suara angin yang berkesiur di sela reruntuhan. “Tapi sebagai pengkhianat … yang menjual nyawa demi kekuasaan murahan.”Tubuh Adam makin menggigil, giginya bergemeletuk tanpa kendali. Mata lebarnya memantulkan bayangan Kevin yang perlahan berdiri kembali, tegap, seolah menyerap semua kekuatan di sekitarnya. “Tidak … tidak …” gumam Adam pelan, hampir seperti doa kosong, air mata bercampur ingus mengalir di pipinya.