Sepuluh bayangan yang menyerupai roh, setengahnya adalah bayangan putih sedangkan setengahnya adalah bayangan hitam berkumpul bersama dengan mengelilingi Kevin Drakenis yang berada di tengah. Aura mengerikan terpancar dari seluruh bayangan ini yang membuat suasana Kuburan Iblis dan Dewa ini seperti mengalami badai kosmis. Aura mengerikan ini menunjukkan kehebatan mereka di masa kejayaan serta jaman keemasan dewa dan iblis ini.
Saat ini, sepuluh penghuni Kuburan Iblis dan Dewa yang masih aktif ini tampak sangat berbahagia. Setelah lima tahun berlalu, mereka masih enggan untuk melepaskan Kevin ke dunia luar yang kejam.
Ratusan tahun menunggu pewaris yang tepat, akhirnya mereka menemukan Kevin yang terjerumus masuk ke dalam Kuburan Iblis dan Dewa. Sekarang mereka tampak bahagia terhadap Kevin, tapi lima tahun lalu saat Kevin pertama kali tiba di kuburan ini, ia mengalami siksaan lahir-batin dari iblis dan dewa yang menghuni Kuburan Iblis dan Dewa ini selama berabad-abad lamanya.
Sekarang, Kevin sudah saatnya pergi karena terlalu lama di Kuburan Iblis dan Dewa akan membuat fisik aslinya terkikis menjadi bayangan seperti gurunya.
"Master, murid mau pamit untuk pergi dari kuburan ini selama-lamanya!" kata Kevin sambil bersujud tiga kali terhadap masing-masing gurunya.
"Pergilah! Balaskan dahulu dendam keluargamu! Kamu bisa memasuki Kuburan Iblis dan Dewa sekarang dengan pikiranmu! Kami akan selalu bersamamu mulai sekarang! Masih ada beberapa iblis dan dewa yang belum bangkit dan memilih tidur panjang! Mungkin saja, kamu bisa menggugah hati mereka untuk bangkit kembali dan membantumu!"
Bagaimana Kevin Drakenis yang berasal dari Paviliun Drakenis yang menjadi praktisi bela diri tertinggi di Nagapolis ini bisa terdampar di Kuburan Iblis dan Dewa ini?
Kevin Drakenis membungkuk dalam-dalam, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Napasnya perlahan-lahan dihembuskan, seperti mencoba menenangkan gelombang emosinya yang bergejolak. Ini adalah penghormatan terakhirnya, sebuah perpisahan yang tak akan pernah ia ulangi secara fisik. Hanya kekuatan pikirannya yang mungkin akan kembali ke tempat ini, jika ada Dewa atau Iblis yang berhasil keluar, selain sepuluh sosok yang telah menurunkan seluruh ilmu mereka kepadanya.
"Murid mohon pamit, Master!" suaranya tegas, namun mengandung kegetiran yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah melewati waktu panjang bersama. Namun, tidak ada jawaban. Para Dewa dan Iblis hanya tertawa riang, seakan perpisahan ini hanyalah angin lalu. Mereka bersuka cita, seolah tugas mereka telah selesai, seakan Kevin bukanlah bagian dari kehidupan mereka selama lima tahun terakhir. Tiba-tiba, tubuh Kevin lenyap dalam sekejap, menghilang tanpa jejak. Seiring dengan kepergiannya, tawa mereka pun mereda, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara. "Kevin tidak boleh tahu apa yang akan terjadi dengan Kuburan Dewa dan Iblis ini ke depannya," ucap salah satu Dewa dengan suara rendah, hampir seperti bisikan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berada di sana. Mereka telah sepakat. Mengabaikan salam perpisahan Kevin bukanlah karena ketidaksopanan, melainkan untuk menghindari beban emosional yang tidak perlu. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, dan dalam lima tahun itu, Kevin telah menjadi bagian dari mereka.*****
Angin dingin berembus di puncak tebing Gunung Dragonia. Tubuh Kevin muncul begitu saja di sana, diterpa oleh hembusan angin yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering
"Akhirnya aku kembali..." gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah hutan lebat di bawahnya. Bayangan masa lalu kembali menyergapnya. Lima tahun lalu, ia melangkah keluar dari hutan itu dengan hati yang hancur, hanya untuk terjun ke jurang demi menyelamatkan diri. Lima tahun yang lalu… Malam kelam menyelimuti Paviliun Drakenis, tempat yang dulu menjadi rumah dan perlindungan bagi keluarganya. Namun malam itu, kehangatan yang biasa menyelimuti paviliun berganti dengan hawa kematian. Sejumlah pria bertopeng dan berpakaian hitam melangkah tanpa suara, menyusup seperti bayangan yang membawa kehancuran. Pedang mereka berkilat di bawah cahaya bulan, berlumuran darah dari korban-korban yang tak mampu melawan. Teriakan kesakitan memenuhi udara, disusul dengan suara tubuh yang roboh ke tanah. Darah mengalir di lantai kayu, menodai kejayaan keluarga yang selama ini dihormati. Keluarga Drakenis… Keluarga praktisi bela diri nomor satu di Nagapolis, bahkan di seluruh Alexandria, kini tinggal kenangan yang hanya bisa diingat dengan rasa pilu. Sementara itu, di tempat lain, Kevin masih berada di kediaman Keluarga Caraxis. Ia datang untuk bertemu dengan kekasihnya, Helena Caraxis, wanita yang selama ini menjadi pusat dunianya. Namun, cinta yang ia yakini ternyata hanya sebuah ilusi. Dengan tatapan dingin dan senyum licik, Helena menghunus pedang spiritualnya dan menghunjamkannya ke dantian Kevin. Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya, merobek seluruh harapan yang pernah ia bangun. Kevin tersentak mundur, matanya membelalak tak percaya. "Helena... kenapa?" suaranya bergetar, lebih karena luka di hatinya dibandingkan luka di tubuhnya. Helena tertawa, suara tawanya bergema di udara, meresap ke dalam jiwa Kevin seperti racun. "Dasar keluarga sampah!" suaranya penuh hinaan. "Kalian hanya keluarga kecil yang kebetulan menjadi nomor satu! Seharusnya Keluarga Caraxis yang memegang kejayaan di Nagapolis! Ayah sudah merencanakan ini sejak lama, bodoh! Apa kau tidak menyadarinya, hah?" Kata-katanya menikam lebih dalam dari pedang yang telah ia hunuskan. Kevin mundur beberapa langkah, nafasnya tersengal-sengal.Ia masih tidak percaya kalau kekasihnya yang lembut ini bisa menghianatinya. Kenapa Helena menghianatinya dan keluarganya?
Ledakan pertama mengguncang Desa Langit. Tanah bergetar seperti gempa, atap-atap rumah meloncat dari tempatnya, dan deru teriakan ribuan pasukan sekte kecil memecah udara. Pedang, tombak, panah spiritual, dan mantra terbang memenuhi langit seperti hujan meteor.Kevin hanya sempat menoleh sekali pada Valkyrie, Celestine, dan Kurozan. “Jangan mundur.”Felix melangkah maju, setiap tapak kakinya membuat tanah merekah, memancarkan semburan cahaya emas dari kekuatan dewa dan bayangan hitam pekat dari kekuatan iblis. Dua arus ini tidak saling menolak—mereka berputar melingkar, berpadu seperti yin dan yang, menciptakan aura yang menelan segalanya.“Kekuatan murni dewa membakar roh,” kata Felix tenang, matanya berkilat emas. “Kekuatan iblis menggerogoti jiwa,” lanjutnya, merah darah kini menyala di pupilnya. “Dan aku… punya keduanya.”Ia mengangkat tangannya. Sepuluh Tombak Surga-Neraka tercipta dari pusaran cahaya emas dan kabut hitam, masing-masing berdenyut seperti jantung hidup. Felix men
Bayangan-bayangan yang sebelumnya hanya samar di pinggir pandangan kini mulai menjelma menjadi wujud nyata. Dari atap rumah-rumah kayu yang mengelilingi Desa Langit, dari sela batang pohon pinus yang berdesir pelan, hingga punggung perbukitan yang membentuk cincin alami di sekitarnya—muncul sosok-sosok berbalut jubah sekte. Jumlah mereka bukan lagi puluhan… melainkan ratusan. Langkah kaki mereka nyaris tak terdengar, namun udara di Desa Langit mendadak terasa berat, seperti diselimuti kabut besi. Niat membunuh yang mereka pancarkan merayap di kulit, membuat napas setiap orang yang menyadarinya menjadi pendek dan terputus-putus.Valkyrie melangkah maju, tubuhnya tegak bagai perisai di antara Kevin dan Felix. Angin sore yang tadinya lembut kini terasa membawa aroma logam dan tanah basah. Matanya menyala tajam, menatap Felix tanpa sedikit pun gentar.“Kau berani membawa perang ke Desa Langit?” suaranya tegas, namun di balik itu terselip nada marah yang dingin. “Bagaimana dengan penduduk
Kabut tipis menyelimuti dataran tinggi berbatu yang menjulang di hadapan mereka, seolah menjadi gerbang alamiah menuju Desa Langit. Kurozan mendarat dengan lembut, cakar-cakarnya meninggalkan bekas cekung di tanah yang keras. Udara di sini menusuk kulit dengan kesejukan pegunungan, namun membawa kesegaran yang jarang ditemui—aroma embun dan bunga liar bercampur dengan hembusan dingin yang mengalir dari puncak jauh di atas sana.Di kejauhan, rumah-rumah kayu beratap jerami berdiri berbaris rapi, dikelilingi ladang bunga beraneka warna yang bergoyang perlahan diterpa angin. Kicau burung gunung terdengar samar, kontras dengan ingatan medan perang yang baru saja mereka tinggalkan—darah, jeritan, dan bau besi yang kini terasa begitu jauh.Begitu kaki Kevin menyentuh tanah, suara langkah cepat memecah keheningan. Dari arah jalan desa, seorang perempuan berlari—rambut panjangnya yang keperakan terayun liar, memantulkan kilau lembut di bawah sinar matahari pucat. Mata peraknya bergetar, menaha
Kevin berdiri tegak di tengah medan pertempuran yang sudah porak-poranda. Batu-batu hitam retak di bawah kakinya, bergetar pelan seakan takut akan sosok yang menginjaknya. Aura kegelapan mengalir dari tubuhnya—bukan sekadar asap atau kabut, tapi pusaran hidup yang menggulung liar, penuh bisik-bisik dari jiwa-jiwa yang telah ia kirim ke kematian.Nafasnya terdengar berat namun terkendali. Setiap tarikan seperti menghisap dingin dari alam neraka, dan setiap hembusan membawa hawa mematikan yang menekan dada siapa pun yang berdiri terlalu dekat.Di tangannya, Pedang Dewa Ilahi bergetar halus. Getarannya bukan sekadar respons logam terhadap energi, melainkan sebuah desahan… seolah pedang itu menyambut niat membunuh tuannya.Tatapan Kevin menusuk tajam, menembus asap kelam dan kabut racun yang melingkari sosok musuhnya—Lexainne, Dewi Wajah Racun. Aura racunnya seperti lautan hijau yang bergelora, namun Kevin berdiri tanpa gentar. Bibirnya bergerak pelan, seperti melafalkan doa… padahal itu a
Awan di langit tercerai berai dicabik oleh kekuatan raksasa. Kurozan, burung raksasa berbulu legam berkilau, mengerjapkan matanya yang menyala seperti bara. Dengan geraman rendah yang bergulung di tenggorokannya, ia melesat dan—KRAAK!—cakar besarnya menghantam mata Naga Seiryu.Raungan menggelegar memecah udara, memantul di antara lapisan awan pekat. Tubuh sang naga raksasa terhuyung, melayang tak terkendali sebelum jatuh menghantam gumpalan awan badai. Butiran es berhamburan, terhempas dari sisiknya yang pecah di beberapa titik.Namun duel belum selesai. Kedua makhluk itu kembali menabrak satu sama lain, sayap mereka memukul udara seperti badai raksasa yang melahirkan pusaran angin mematikan. Suara benturan cakar dan sisik beradu terdengar seperti logam yang digerus oleh petir.Di bawah pusaran pertempuran itu, Kevin berdiri dengan napas berat, Topeng Iblisnya memantulkan kilau kehijauan dari racun yang memenuhi udara. Di sampingnya, Celestine mengepalkan tangan, aura petir di sekeli
Langit di atas Tanah Terlarang Dewa dan Iblis mulai berubah warna, dari biru pucat menjadi ungu kelam yang seperti mengalir di antara awan. Kevin, yang kini mengenakan Topeng Iblis dan dikenal sebagai Arkantra Drago, berdiri di punggung Kurozan bersama Celestine. Angin kencang dari sayap burung raksasa itu memukul wajah mereka, membawa aroma hutan pegunungan dan sisa darah pertempuran sebelumnya.“Kita harus cepat sampai ke Desa Langit,” suara Kevin teredam oleh deru angin. “Aku perlu tahu keadaan Valkyrie… sebelum terlambat.”Celestine mengangguk, jemarinya erat memegang tali kekang Kurozan. Mata gadis itu menyapu cakrawala, tapi tiba-tiba membeku.“Kevin…” ucapnya pelan, matanya menyipit, “…ada yang mengikut kita.”Dari kejauhan, kabut hijau pekat muncul seperti racun yang merambat di udara. Dari dalamnya, suara gemeretak tulang bercampur desir angin beracun terdengar, membuat bulu kuduk berdiri. Lalu muncullah sesosok wanita berkulit pucat kehijauan, matanya berkilau seperti zamrud