Bab pertama di Weekend ini ... Bab Utama : 1/2
Claudia mengangguk pelan. “Ya, Chief.”"Apa dua lainnya?" tanyanya, kini dengan nada yang lebih penasaran. Ada nada siaga dalam intonasinya, seolah ia bersiap menerima kabar tak menyenangkan.Claudia membuka file catatan dari tabletnya. Masing-masing file menguraikan deskripsi detail masing-masing artefak.“Yang pertama adalah Pedang Iblis Suci,” ujarnya. “Sebuah pedang panjang yang dilapisi ukiran sihir kegelapan dan cahaya. Konon, pedang ini hanya bisa digunakan oleh mereka yang pernah bersentuhan dengan dua sisi kekuatan: iblis dan ilahi. Dan …”Ia menatap Kevin dengan sedikit ragu.“... pedang ini adalah lambang kebanggaan dari Paviliun Xarxis di Saint City.”Mata Kevin langsung menyipit mendengar nama itu. Nafasnya tertahan sesaat. Ada riak di dalam dirinya, seperti ombak yang tiba-tiba menghantam dinding tenang.“Paviliun Xarxis?” ulang Kevin. “Itu ... salah satu dari paviliun besar, kan?”Claudia tampak berhenti sejenak, menimbang-nimbang jawabannya. “Benar. Salah satu yang ter
Ravena terbaring tenang di atas ranjang sihir yang dilapisi jaring mantra pelindung. Napasnya mulai kembali stabil, namun kulitnya masih terlihat pucat kebiruan, dan suhu tubuhnya tetap tak wajar—lebih dingin dari salju musim dingin.Kevin duduk di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. Satu tangannya menggenggam tangan Ravena yang kurus dan dingin, sementara tangan lainnya memegang pecahan batu Vermillion Vein yang hancur dalam proses penyegelan tadi.Pecahan itu berkilau samar, sisa-sisa energi spiritualnya nyaris lenyap, seperti bara api yang hampir padam.Ia menghela napas berat. “Batu itu ... sudah tak bisa digunakan lagi,” gumamnya. “Jika Roh Iblis Es bangkit sekali lagi dan aku tidak siap …”Keringat dingin mengalir di pelipis Kevin meski suhu ruangan sangat dingin. Pikiran itu terus berputar dalam kepalanya—bagaimana jika Ravena kembali kehilangan kendali? Bagaimana jika ia tak sempat menyelamatkannya lagi?Langkah cepat dan ringan menggema dari luar ruang medi
Dari bawah reruntuhan yang hangus terbakar, Claudia berdiri membeku, jari-jarinya mencengkeram dinding yang nyaris runtuh. Debu dan abu beterbangan di udara, membentuk kabut kelabu yang menggantung pekat. Napasnya tercekat di tenggorokan, seolah paru-parunya lupa cara bekerja. Matanya membelalak, menatap sosok yang menggantung di udara dengan campuran tak percaya dan kekaguman yang mencekam.“Chief … kau …” suaranya gemetar, hampir seperti doa, “… kau berhasil …”Di sisinya, Valkyrie menyipitkan mata, mengamati dengan sorot penuh perhitungan. Rambut peraknya melambai ringan ditiup angin panas pertempuran. Ia menyunggingkan senyum tipis, begitu tenang dan mengintimidasi dalam keheningan yang rapuh. “Menarik … sangat menarik …” gumamnya, seolah tengah menimbang sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang tampak.Di atas mereka, Kevin melayang perlahan turun. Tubuhnya menggigil—antara kelelahan dan ketegangan luar biasa yang baru saja ia lepaskan. Peluh bercampur darah mengalir dari pelipisn
“Aku tahu kau takkan melukai tubuh ini, Kevin,” bisik Ravena dengan suara tajam, bibirnya melengkung membentuk senyum setipis pisau. “Itulah mengapa kau akan kalah.”Kevin menggertakkan gigi, jemarinya mencengkeram gagang pedang hingga buku-buku jarinya memutih. Keringat dingin menetes di pelipisnya, segera membeku sebelum sempat jatuh.Dari kejauhan, suara Claudia menggema penuh kecemasan. “Chief! Jangan terhasut oleh iblis ini!”Valkyrie, yang berdiri tak jauh, mengepalkan tangan, aura tempurnya bergetar di udara. “Apa aku perlu membantumu, Tuan Muda?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris tak sabar menunggu aba-aba.“JANGAN!” sahut Kevin cepat, nadanya tegas meski napasnya memburu. “Biarkan aku yang melawannya!” Matanya menatap Ravena dengan determinasi keras. Ia tak mau mengambil risiko Valkyrie atau Claudia melukai Ravena tanpa sengaja.TRAANG! CRASH!Benturan senjata menggema keras, menghantam dinding-dinding batu, membuat debu beterbangan dari langit-langit berkubah. Kevin menahan,
Udara di ruang bawah tanah Paviliun Dracarys bergetar, seolah merintih di bawah tekanan kekuatan dahsyat yang mengamuk di dalamnya. Cahaya lampu-lampu kristal di langit-langit berkubah berkelap-kelip redup, memantulkan bayangan bergerigi di dinding batu yang retak-retak. Pilar-pilar besar berukir naga yang dulu tegak megah kini retak dan rebah, sebagian patah seperti leher naga yang dipatahkan. Lantai marmer hitam dipenuhi retakan memanjang, dihantam oleh energi liar yang mengguncang setiap sudut ruangan. Kabut tipis bercampur es dan uap panas memenuhi udara, menciptakan aroma logam hangus dan dingin menusuk tulang.Kevin berdiri terengah-engah, dadanya naik turun cepat. Napas hangatnya membentuk embun tipis di udara dingin, bercampur dengan bau darah dan debu yang melekat di kulitnya. Tubuhnya penuh luka, goresan dan lebam membungkus lengan dan kakinya, sebagian memar ungu, sebagian lain tertutup debu kelabu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, ujung bilahnya bergetar seir
Suara itu, meski tipis, menembus kabut peperangan, menusuk langsung ke relung hati Kevin. Tubuhnya yang semula membeku perlahan bangkit. Tangannya mengusap darah yang mengalir dari sudut bibir, dan di matanya—di balik luka, amarah, dan lelah—muncul seberkas cahaya baru ... harapan.“Benar …” bisik Kevin pelan, nyaris seperti doa. “Jika kekuatan Dewa tidak cukup … maka aku akan membakar jiwaku untuknya.”Dengan gerakan pelan namun penuh tekad, ia mengangkat pedang ke atas kepala. Cahaya baru mulai berpendar—bukan hanya satu warna, tapi perpaduan merah menyala, emas menyilaukan, dan biru setenang samudra. Udara seakan menghirup napas panjang, sunyi sesaat sebelum ledakan keajaiban.“PHOENIX FLAME BLAST!!”Jeritan mantra itu memecahkan keheningan. Dari ujung pedang, api abadi meluncur deras, menggumpal membentuk sosok burung phoenix yang megah. Sayapnya terentang lebar, memercikkan bara ke langit-langit, matanya menyala seperti dua matahari kecil yang membawa kehidupan sekaligus kematian
Gerakan Kevin sangat cepat dengan lesatan yang menyerupai petir ilahi.Namun …Ting!Dengan gerakan sehalus angin berbisik, Roh Iblis Es mengangkat satu jari. Sebuah dinding es bening muncul, begitu keras hingga serangan Kevin berhenti seolah menebas gunung batu. Kilatan cahaya mental pecah ke segala arah, menyulut percikan petir yang menghantam lantai, dinding, bahkan langit-langit, menciptakan letupan-letupan kecil.Kevin mendarat, lututnya sedikit menekuk, napasnya memburu seperti binatang yang terperangkap. Uap putih mengepul dari bibirnya saat udara makin tipis, makin dingin. Telapak tangannya menggenggam erat gagang pedang, dan di matanya, hanya satu pantulan yang tersisa ... Ravena, atau mungkin, harapan kecil yang masih tersisa di dalam tubuh yang kini dikuasai darah iblis es.“Cepat, tapi … masih ragu …” desisan itu merayap di udara seperti kabut tipis yang mencabik-cabik ketenangan, menusuk gendang telinga dan bergetar hingga ke tulang belakang. Mata merah menyala Roh Iblis
Asap pertarungan masih menggantung tipis di udara, aroma logam darah bercampur dengan bau batu hangus. Namun, di tengah keheningan yang menggantung, terdengar suara halus—retakan, seperti kaca tipis yang mulai pecah. Mata Claudia membelalak, Kevin menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam tertuju pada altar batu yang perlahan berubah warna.Retakan itu bukan retakan biasa. Bukan akibat pukulan atau ledakan. Dingin ekstrem merembes keluar dari tubuh Ravena yang terbaring di atas altar. Aura biru pucat mengalir lembut dari pori-porinya, melilit di udara seperti kabut hidup, memadat menjadi kepingan-kepingan es yang melayang, berputar pelan seperti bintang mati yang kehilangan cahayanya.Dan kemudian ...KRAAAK!Satu dentuman tajam menggema, membuat seluruh ruangan bergetar. Tubuh Ravena terangkat perlahan, melayang di atas altar yang kini dilapisi es biru bening, begitu murni hingga memantulkan cahaya seperti kaca suci. Es itu menjalar cepat, membungkus kulitnya, menyelimuti darahnya, bahka
Kevin menggertakkan giginya. “Aku di sini!” bentaknya lantang, tak gentar. Sorot matanya membalas tatapan iblis itu dengan api semangat yang membara. “Kalau kau memang iblis yang menyiksanya selama ini … maka mari kita akhiri semua ini, di sini dan sekarang!”Tanpa ragu, ia mengangkat batu Vermillion Vein yang kini menyala bagai bara hidup di telapak tangannya. Aura api spiritual di sekelilingnya memekik, memutar arus energi panas yang menusuk kulit. Dengan teknik pamungkasnya—Heavenly Flame Binding Seal—Kevin menghantamkan batu itu langsung ke dada Ravena.Seketika, ledakan cahaya merah keemasan menerangi seluruh ruangan seperti fajar surgawi yang membakar malam tergelap. Api spiritual dari batu Vermillion mengalir deras ke dalam tubuh Ravena, membakar roh iblis dari dalam. Suara jeritan itu berubah—dari teriakan kemarahan menjadi raungan kesakitan, lalu menjadi pekikan sekarat. Sosok iblis itu menggeliat dan menjerit, tubuhnya bergulung dalam pusaran api spiritual yang membakar tak h