Bab Utama : 2/2 Selesai Bab ini merupakan bab terakhir hari ini ... Besok author akan berikan dua bab extra bonus author ... terima kasih.
"Tidak … tidak mungkin! Helena sudah tiada!" bisiknya dengan suara lebih keras, matanya melebar. "Dia mati di tanganku sendiri ... di antara darah dan reruntuhan. Aku yang memastikan napas terakhirnya!"Tapi aura itu … aura lembut yang menyelusup ke dalam relung jiwa, yang tak bisa disalahartikan … terasa begitu nyata."Apa… roh penasaran? Hantu? Tapi kenapa setelah sekian lama, rasanya masih sama... seperti ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya pergi…”Seketika, suara berat dan berwibawa memotong lamunannya.“Kevin.”Suara Baron Vasper terdengar tegas, menyadarkan Kevin dari pusaran pikirannya. Kevin menoleh cepat, seakan tertangkap basah dalam nostalgia."Maaf, Paman," katanya buru-buru, menata kembali ekspresinya yang sempat goyah.Baron mengamati Kevin dengan tatapan lembut namun penuh pemahaman. Ia tahu Kevin menyimpan banyak luka, dan tak semuanya bisa sembuh hanya dengan waktu.Kevin menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Baron dengan sorot mata yang kembali tajam dan
Langkah Kevin pelan namun mantap saat ia kembali ke serambi utama Paviliun Vasper—sebuah paviliun sederhana yang berdiri di tengah hamparan perbukitan hijau. Tak ada kemewahan seperti di Paviliun Dracarys, tapi ketenangan dan kesederhanaannya justru menciptakan rasa damai yang langka setelah pertempuran brutal beberapa hari terakhir.Angin siang berembus lembut, membawa aroma rumput dan kayu pinus dari kejauhan. Cahaya mentari menyinari lengan bajunya yang masih kotor oleh bekas debu pertarungan, namun tatapannya tetap tenang. Di sisi lain serambi, Baron sudah menunggu, tampak gelisah walau berusaha menyembunyikannya dengan secangkir teh hangat di tangan.Kevin menatap pria paruh baya itu dengan tenang, sebelum mengambil tempat duduk di seberangnya.“Maaf, Paman. Ada yang harus kutangani lebih dulu,” ucap Kevin, suaranya datar tapi mengandung ketegasan.Baron mengangguk kaku, senyum canggung terukir di wajahnya. “Tentu, tentu. Aku tahu… kau punya banyak urusan.”Kevin menyandarkan pun
“Seperti titah Anda, Guru,” jawabnya dengan suara rendah, nyaris tenggelam dalam napasnya sendiri.Langkah kaki sang murid terdengar pelan, menyusuri lorong-lorong batu yang panjang dan remang. Gaung tapaknya beradu dengan dinding-dinding tua, lalu perlahan menghilang—ditelan oleh kedalaman dan kesunyian.Elder Tian Long masih berdiri diam. Matanya perlahan terpejam, seperti seorang bijak kuno yang mencoba membaca kembali bab-bab sejarah dari dalam pikirannya. Tapi kali ini, ada yang berubah.Udara yang sebelumnya sunyi kini terasa berbeda. Ia merasakannya terlebih dahulu di ujung jarinya—sebuah getaran halus, nyaris seperti sentuhan roh. Suhu di ruangan menurun, meski tak ada angin yang lewat. Aliran energi spiritual merayap lembut di udara—dingin dan rapat, namun berpendar samar seperti bara yang tersembunyi di bawah tumpukan salju abadi.Tian Long membuka matanya, sorotnya penuh kesadaran baru. Pandangannya menembus kegelapan seolah ia bisa melihat jauh melewati ruang dan waktu.Nag
Murid sekte ini ketakutan ... nada suaranya melemah di akhir kalimat, dan sebelum ia sempat menelan ludah untuk melanjutkan, suara Tian Long membelah udara—tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan detak jantungnya sejenak.“Bayangan masa lalu tak pernah muncul tanpa alasan.”Suara itu tak lebih dari bisikan, namun tajam seperti bilah pedang yang ditempa dalam kutukan. Setiap kata mengiris, menyisakan rasa getir yang menjalar dari telinga hingga ke dasar jiwa sang murid.Tian Long perlahan berbalik, matanya kini menatap langsung ke arah muridnya. Cahaya lentera memantul di sorot matanya yang kini seperti nyala bara, dingin namun membakar.“Jika benar dia masih menginjakkan kaki di dunia ini ...” lanjutnya, setiap kata dipilih dengan ketepatan surgawi, “... maka ada rahasia yang bahkan ayahnya sendiri tak mampu sembunyikan dirinya dariku.”Sang murid menunduk lebih dalam, tubuhnya nyaris gemetar di bawah tatapan yang tak bisa diukur kedalamannya itu. Sebuah energi menggantung di udara,
Di kedalaman Negeri Naga Seiryu—tanah yang diliputi kabut abadi, tempat waktu seolah berjalan lambat—terbentang pegunungan runcing bermahkota es yang menyilaukan. Di balik tirai kristal salju yang tak pernah mencair, berdirilah sebuah kuil kuno. Pilar-pilarnya menjulang seperti taring naga, dihiasi ukiran makhluk langit yang tampak hidup saat kabut menari di sekelilingnya. Naga-naga batu berjaga di setiap penjuru, menatap ke kejauhan seolah siap menerkam siapa pun yang tak layak menapakkan kaki di tempat ini.Di dalam kuil itu, aula utama Sekte Infinity Power menjelma sebagai jantung kekuasaan spiritual yang tak tertandingi. Cahaya biru kehijauan mengalir dari kristal-kristal qi yang menggantung di langit-langit, memantul di lantai obsidian dan menari di udara seperti roh-roh kuno yang belum tenang. Suasana begitu hening hingga suara nafas terdengar seperti desiran badai yang ditahan.Tepat di tengah aula, duduk bersila seorang pria berpakaian putih keperakan—pakaiannya mengalir sepert
“Darahmu murni. Kau adalah buah dari garis keturunan utama. Dan aku ...” Ia berdiri perlahan, berjalan mendekat. Suara langkah Elder Tian Long nyaris tak terdengar, namun setiap langkah membuat dada Helena semakin sesak. “Aku hanya membutuhkan ... setetes saja.”Helena menjerit.“Kau monster!” teriaknya, suara seraknya menggema di aula yang hening. Ia meronta, namun rantai spiritual itu hanya menertawakan perjuangannya. “Ayahku... Ayahku akan membunuhmu!”Seketika, Tian Long berhenti. Ia tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya—senyum yang bukan milik manusia. Lalu ia mendekatkan wajahnya, hanya sejengkal dari Helena, napasnya sedingin kematian.“Sayang sekali ...” bisiknya pelan, nyaris dengan nada simpati yang memuakkan. “Ayahmu ... ialah yang pertama kali memberitahuku di mana kau berada. Dan ya, dia yang menyerahkanmu padaku dengan sukarela.”Seketika dunia runtuh di dalam dada Helena. Jantungnya mencelos, bukan karena ketakutan ... tapi karena pengkhianatan. Suara Tian Long menggema
Sang Master, pria tua dengan sorot mata bijak dan tubuh yang membawa jejak pertempuran panjang, mengangguk perlahan. Bayangan dari kristal biru memantulkan gurat wajahnya, menambahkan kesan sakral pada kehadirannya.Pria itu tersenyum tipis—senyum seorang guru yang tahu bahwa muridnya telah memilih jalan yang sulit, tapi benar.“Kalau begitu, Helena ... persiapkan dirimu. Jalan yang kau pilih bukan jalan balas dendam. Tapi lebih berat dari itu—jalan untuk membongkar kebohongan yang dibangun oleh naga putih.”“Elder Tian Long sudah mulai bergerak lagi,” ujarnya, suaranya dalam seperti gemuruh lembut dari perut bumi. “Dan kau tahu apa artinya itu, Helena. Tidak akan ada tempat yang aman bagi siapa pun yang membawa darah Caraxis di nadinya. Terutama jika Kevin—”“Dia tak tahu siapa aku sekarang,” potong Helena cepat, nadanya berubah lebih tajam. “Baginya ... aku telah mati. Digantikan oleh gadis palsu, boneka yang diciptakan Ayahku sendiri. Tapi aku akan merebut kembali hidupku. Aku akan
Langkah-langkah ringan Helena nyaris tak bersuara saat ia menapaki akar-akar pohon tua yang menjalar seperti urat nadi bumi. Cahaya matahari sore yang menyusup di antara dedaunan rimbun hanya mampu menciptakan bayangan lembut di permukaan tanah. Aroma tanah basah bercampur embun membelai indra penciumannya, menghadirkan sensasi nostalgia yang samar—wangi dari masa ketika ia masih menjadi bagian dari dunia yang kini telah menolaknya.Helena menyibak ranting pakis yang menjulang setinggi dada, lalu berdiri di hadapan celah batu besar di kaki bukit. Celah itu tampak seperti rahang naga kuno yang terbuka lebar, seolah menantikan seorang putri buangan untuk kembali ke perut bumi. Hanya mereka yang pernah disingkirkan dari peradaban manusia yang tahu keberadaan tempat ini—gua rahasia di dalam lembah terlarang.Tanpa ragu, Helena melangkah masuk. Udara di dalam gua berubah drastis—dingin, lembap, dan berat dengan aroma lumut tua, mengusir harum pepohonan yang masih tersisa di jubah merahnya.
Apakah Kevin masih mampu mengenalinya? Masih mau mempercayainya? Atau… yang tersisa di benak Kevin kini hanyalah kebencian pada sosok yang memakai wajahnya—Helena palsu—yang telah menghancurkan dantian dan meredianya, merenggut martabatnya, dan … membantai seluruh isi Paviliun Drakenis?Ia menggigit bibirnya, keras. Rasa asin darah menguar di lidahnya, menciptakan jejak nyata dari keputusan yang mulai mengeras dalam hatinya. Matanya tetap menatap Kevin, seolah menanamkan tekadnya ke dalam siluet pria itu.“Aku akan membuktikan siapa aku,” bisiknya lagi, kali ini lebih tegas, seperti sumpah yang diukir di udara. “Bahwa aku adalah Helena yang mencintaimu. Bukan bayangan yang mencoreng semua kenangan itu.”Namun …Belum sekarang.Belum saat luka-luka lama sembuh sepenuhnya. Belum saat seluruh bayangan pengkhianatan sirna dari pandangan mata orang-orang. Ia tahu langkah tergesa hanya akan memperkeruh kebenaran.Untuk saat ini, cukup baginya untuk melihatnya dari jauh.Cukup baginya untuk m