Beranda / Fantasi / Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa / 155. Tiba di Centralpolis

Share

155. Tiba di Centralpolis

Penulis: Zhu Phi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 16:53:00

Pagi keempat.

Langit masih diselimuti kabut tipis saat siluet menara pusat Centralpolis perlahan muncul di kejauhan. Menara itu menjulang tinggi, angkuh, bagai tombak kuno yang menembus langit—seolah menantang para dewa untuk turun langsung dan menyaksikan dunia fana. Kabut keemasan yang mengelilinginya tampak berdenyut halus, mengikuti ritme formasi pelindung yang tak kasat mata, seperti jantung kota yang berdetak dari kedalaman spiritualnya.

Centralpolis. Kota yang tidak mengenal tidur. Cahaya spiritual dari lampu-lampu berbentuk lotus dan orb melayang lembut di udara, menyinari jalanan berbatu giok yang disucikan oleh para biksu pada era pendirinya. Gedung-gedung menjulang bagaikan altar, dan dari setiap balkon megah para bangsawan, tercium aroma dupa langka bercampur dengan wangi bunga silva dan wewangian ilahi. Kabut tipis yang menggantung di udara menari-nari di antara jalan-jalan berbentuk spiral yang saling bersilangan.

Centralpolis, kota yang berdiri di ambang dua dunia—moder
Zhu Phi

Bab Utama : 2/2 Selesai. Bab Bonus Gems : - Ada 2 Bab Bab Extra Author : - Ada 1 Bab Bab bonus mungkin diberikan hari ini jika author ada waktu ... kalau tidak akan diakumulasikan besok ya ... terima kasih.

| 1
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   155. Tiba di Centralpolis

    Pagi keempat.Langit masih diselimuti kabut tipis saat siluet menara pusat Centralpolis perlahan muncul di kejauhan. Menara itu menjulang tinggi, angkuh, bagai tombak kuno yang menembus langit—seolah menantang para dewa untuk turun langsung dan menyaksikan dunia fana. Kabut keemasan yang mengelilinginya tampak berdenyut halus, mengikuti ritme formasi pelindung yang tak kasat mata, seperti jantung kota yang berdetak dari kedalaman spiritualnya.Centralpolis. Kota yang tidak mengenal tidur. Cahaya spiritual dari lampu-lampu berbentuk lotus dan orb melayang lembut di udara, menyinari jalanan berbatu giok yang disucikan oleh para biksu pada era pendirinya. Gedung-gedung menjulang bagaikan altar, dan dari setiap balkon megah para bangsawan, tercium aroma dupa langka bercampur dengan wangi bunga silva dan wewangian ilahi. Kabut tipis yang menggantung di udara menari-nari di antara jalan-jalan berbentuk spiral yang saling bersilangan.Centralpolis, kota yang berdiri di ambang dua dunia—moder

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   154. Kurozan

    Langit di atas Saint City memancarkan rona biru yang damai, seolah menipu kenyataan yang baru saja terjadi di tanah di bawahnya. Sinar matahari menyinari debu-debu halus yang masih melayang di udara, tertinggal dari kehancuran yang belum lama berlangsung. Namun bagi Kevin, cahaya itu hanya menyoroti satu hal—jejak keputusasaan yang ia tinggalkan di balik punggungnya.Langkah-langkah Kevin meninggalkan jejak samar di tanah yang masih basah oleh darah. Tanpa menoleh, ia berjalan menjauh dari reruntuhan Paviliun Xarxis, tempat yang dulu dihormati karena kekuatan dan tradisinya, kini hanyalah tumpukan puing tak bernyawa. Angin yang berembus dari arah barat membawa serta bau logam pekat dan hangus qi, bercampur dengan aroma kehancuran. Teriakan dan ledakan dari pertarungan tadi kini telah digantikan oleh sunyi ... sunyi yang sangat mencekam.Di baliknya, bangunan utama Paviliun Xarxis ambruk perlahan, seperti raksasa tua yang akhirnya menyerah pada waktu. Tidak ada jenazah yang tertinggal d

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   153. Hukuman Mati

    Beberapa cultivator mulai saling pandang. Ketakutan mendorong sebagian dari mereka untuk berbicara. Ada yang mulai menyebut nama kota. Ada yang menyebut sosok misterius yang pernah mereka lihat meninggalkan Saint City. Ada pula yang dengan suara gemetar menyebutkan nama seorang mantan tetua yang diduga berhubungan dengan Celestial Myrad.Kevin mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap tak berubah—dingin, datar, tak memberi petunjuk apakah informasi mereka berguna atau tidak.Sementara rokok terus terbakar, bara merahnya menyusut perlahan ... seperti nyala harapan yang perlahan padam di mata mereka yang bersujud.“Jangan memohon pada iblis ini lagi!” seru seorang cultivator dengan wajah merah padam, darah menetes dari pelipisnya yang robek. Matanya membelalak penuh amarah dan keputusasaan. “Dia tidak akan membiarkan kita hidup-hidup! Dasar bajingan tak berhati!”Suasana di halaman Paviliun Xarxis mendadak membeku. Jeritannya menggema di dinding batu, bergema seperti ratapan terak

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   152. Kesadisan Kevin

    Langit di atas Saint City kembali membiru, tapi kedamaian itu hanyalah tipuan. Tanahnya masih basah oleh darah, sebagian sudah menghitam, sebagian lagi masih hangat, mengalir dari tubuh-tubuh yang belum dikuburkan. Asap tipis mengepul dari reruntuhan Paviliun Xarxis, seperti napas terakhir dari bangunan yang pernah berdiri dengan angkuh.Aroma besi—tajam, menusuk, dan penuh kematian—masih melekat di udara, menyusupi hidung dan tenggorokan, menyatu dengan hawa hangus dan debu reruntuhan.Di atas gerbang timur yang telah runtuh sebagian, seorang pria berdiri diam. Kevin.Bayangannya tegak menjulang di tengah puing, seperti siluet malaikat maut yang telah memutuskan siapa yang layak hidup dan siapa yang telah kehilangan hak itu. Jubahnya robek di sana-sini, bercak darah mengering di tepinya, dan ujungnya berkibar perlahan tertiup angin sore yang muram. Angin itu dingin—bukan karena cuaca, tapi karena sisa-sisa ketakutan yang menggantung di udara.Mata Kevin menyapu sisa-sisa kekuatan Pavi

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   151. Kepercayaan

    “Aku tak ingin perang,” katanya akhirnya. Suaranya tidak membela, tidak pula memohon. Hanya menyatakan kebenaran seperti batu karang menyambut gelombang. “Aku ingin keseimbangan.”Keseimbangan. Kata itu menggantung di udara, terasa lebih berat daripada kelihatannya.Kael melangkah sedikit mendekat, namun tetap menjaga jarak aman. Kabut tipis di sekitarnya menyapu jubahnya, menimbulkan ilusi seolah ia bukan makhluk dari dunia ini.“Dan untuk itu,” lanjutnya, “seseorang sepertimu tidak bisa berjalan sendirian. Bahkan dengan warisan kekuatan ibumu sekalipun, kau hanya akan jatuh ... lebih cepat.”Helena tersentak. Rahangnya mengeras, dan tangan kirinya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Kata-kata tentang ibunya adalah cambuk yang menyayat.Ia menatap Kael, mata hijaunya kini berkilat dalam kemarahan yang ditahan. “Sekutu bisa jadi pengkhianat,” katanya tajam, seperti pisau yang mengarah ke leher. “Dan kepercayaan ... tidak murah, Kael.”Kael mengangguk pelan, tidak te

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   150. Kael - Anak Anomali

    Langkah kaki pria bertopeng itu menggema pelan di atas lantai batu basah, menciptakan irama aneh di tengah keheningan Distrik Hitam yang dilanda kabut malam. Setiap langkahnya tenang, nyaris tak bersuara, seolah ia tak berjalan, melainkan mengalir—seperti bayangan yang lahir dari malam itu sendiri.Helena memicingkan mata, tubuhnya tegang, jari-jarinya melayang di dekat gagang senjata. Meski lelah, nalurinya tetap waspada. Ada sesuatu dalam cara pria itu bergerak—mantap, tak tergesa, tapi tak juga ragu—yang membuat bulu kuduknya berdiri.Pria itu berhenti di hadapannya, dalam jarak yang cukup dekat untuk bicara, namun cukup jauh untuk menjaga rahasia. Dari balik topeng perak berhias ukiran naga terjalin, suaranya akhirnya terdengar.“Namaku Kael,” ucapnya, tenang namun dalam, seperti suara logam tua yang bergesekan di ruang kosong. Kata-kata itu bukan sekadar perkenalan ... ada beban di dalamnya. Sebuah pengakuan yang mengandung sejarah.Helena menahan napas. Udara malam terasa lebih d

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   149. Pria Bertopeng Perak

    Lorong yang retak – beberapa menit setelah pertarungan ...Asap dan debu masih menggantung berat di udara, seperti selimut tipis kematian yang belum mau enyah dari tempat itu. Bau logam dan belerang menusuk hidung, bercampur aroma hangus dari batu-batu yang terbakar sihir.Di tengah reruntuhan, Helena merangkak pelan, tubuhnya nyaris tanpa tenaga. Setiap gerakannya seperti ditarik gravitasi dari dunia lain. Tangannya gemetar, meraba puing-puing kasar yang dingin dan berdebu. Napasnya berat, terseret seperti rantai yang menggores paru-paru. Ada darah di sudut bibirnya, dan setiap helaan napas membawa nyeri menusuk di dadanya.Di balik pakaian robek dan tubuh yang lebam, liontin di dadanya masih menyala samar—denyutnya lemah, tapi hidup. Seolah menjadi satu-satunya bukti bahwa ia masih bernyawa.“Jangan mati ... jangan sekarang ...” bisiknya pelan, entah pada dirinya sendiri atau pada liontin itu.Dengan sisa kekuatan yang tinggal setipis benang, ia mencoba berdiri. Kakinya bergetar, lut

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   148. Teror Axel Gods

    Siluet pertama menyala merah menyala, dengan aura panas membara yang membuat udara di sekelilingnya berdesis. Api menjilat lantai setiap kali ia bergerak.Siluet kedua tampak samar—seperti cermin pecah yang terus berubah bentuk. Ilusi mengalir dari tubuhnya, membuat kenyataan bergelombang, menyimpang, seolah-olah lorong itu sendiri mulai memutarbalikkan wujud.Siluet ketiga... Tak bisa dilihat. Tak berbentuk. Tapi ada. Tekanan mentalnya menghantam seperti ribuan jarum yang menembus kulit kepala, menusuk syaraf, mencabik fokus dan keseimbangan. Helena nyaris terhuyung, tapi ia menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan rasa ingin muntah yang menghantam tenggorokan."Konsentrasi, Helena ..." gumamnya dengan tekad kuat.Siluet pertama menyerang duluan—sebuah sabetan api membelah udara, menyala terang seperti kilatan petir neraka.Helena melompat tinggi, tombaknya berputar dalam genggaman, menciptakan lengkungan cahaya di udara. Ia menghindar, lalu dalam gerakan balik yang mulus, me

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   147. Sosok Misterius

    Distrik Hitam ... Lorong Tengah.Tiga jam setelah Axel menghilang dari warung tua.Kabut menggantung rendah seperti racun yang belum sempat menguap. Tidak lagi hanya menyelimuti jalan, melainkan menelan seluruh dunia dalam diam. Cahaya lampu jalan berkelip mati satu per satu, seperti enggan menjadi saksi dari sesuatu yang akan terjadi.Langkah Helena merambat perlahan. Sepatunya menyentuh genangan air yang memantulkan bayangan-bayangan mengerikan dari langit gelap. Setiap gerakannya nyaris tak bersuara, diserap oleh kabut dan lorong-lorong batu yang basah. Ia mengenakan tudung panjang, dan jubah hitam kelam yang menyerap cahaya, seolah tubuhnya diciptakan dari bayangan itu sendiri.Di balik tudungnya, mata Helena tajam melihat sekelilingnya. Ia menggenggam liontin kecil yang tersembunyi di balik lapisan jubah, logamnya dingin menempel di dada, namun terasa seperti satu-satunya yang masih hidup dalam tubuh yang nyaris mati rasa.Jantungnya berdetak pelan, tapi tegas. Seperti genderang

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status