Bab Utama : 2/2 Selesai. Terima kasih sudah membaca sejauh ini ... mohon maaf apabila beberapa hari terakhir ini hanya ada Bab Utama saja.
"Tempat ini ..." bisiknya, mata menelusuri dinding-dinding batu yang dipenuhi ukiran nyaris terhapus waktu. "Tempat ini bukan hanya tempat persembunyian. Ini ... benteng pelindung. Dibuat untuk menjaga sesuatu yang jauh lebih penting daripada manusia.”Kael meliriknya dan tersenyum miring, tatapannya teduh namun menilai. “Kau cepat tanggap,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti pujian.Mereka berhenti di hadapan sebuah pintu batu yang menjulang tinggi, menjulang seperti penjaga purba. Tidak ada gagang. Tidak ada celah. Tidak ada tanda bahwa pintu itu pernah dibuka. Hanya permukaan kasar dan datar, membisu di tengah keabadian.Kael melangkah maju dan meletakkan telapak tangannya di tengah-tengah batu. Urat-urat di tangannya tampak menegang, dan bibirnya mulai menggumamkan sesuatu dalam bahasa asing—keras, tercekik, dan tidak wajar. Bahasa itu terdengar seperti serpihan kutukan yang ditiupkan dari dasar dunia, hanya bisa dipelajari lewat darah dan penderitaan.Tiba-tiba, cahaya biru m
Lorong Bawah Tanah Silsilah Hitam, Distrik Hitam Nagapolis, Tengah Malam...Udara di lorong itu dingin dan buat menggigil. Tak ada suara, kecuali derak langkah kaki yang pelan tapi mantap. Helena mengikuti di belakang Kael, menyusuri tangga batu yang tua dan lembap. Setiap pijakan mengeluarkan suara halus, seperti desahan batu yang terbangun dari tidur panjangnya. Dindingnya dipenuhi lumut tua berwarna keabu-abuan, dan bau tanah basah serta logam tua memenuhi indera penciuman.Titik awal perjalanan mereka tersembunyi di balik pintu besi berkarat, terletak di belakang toko barang antik yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Bangunannya reot, kayu-kayunya lapuk, dan papan nama yang nyaris copot hanya bertuliskan samar-samar terbaca ...“TOKO LAMA #29.”Helena menggigit bibir bawahnya, pelan—hingga hampir berdarah. Napasnya masih tersengal, seakan paru-parunya menolak bekerja sempurna setelah pertempuran yang baru saja dilewatinya. Keringat dingin masih membasahi pelipis dan tengkuknya,
Kevin tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata, merasakan denyut jantungnya yang masih kacau akibat efek racun yang belum sepenuhnya hilang. Tapi ramuan sebelumnya telah cukup kuat untuk membuatnya bisa berbicara lagi, meski suaranya masih serak.Perlahan ia membuka mata dan menatap Claudia. “Cindy Aleta … apakah kau kenal nama itu?” tanyanya dengan nada datar, namun ada bara api di balik suaranya yang tertahan.Claudia mengernyit. Valkyrie, yang berdiri tak jauh, segera memiringkan kepalanya penuh rasa ingin tahu.“Cindy Aleta?” ulang Valkyrie. “Bukankah ... Raisa Aleta yang memimpin Sekte Infinity Power di dunia fana?”Kevin menoleh ke arah Valkyrie, lalu mengangguk perlahan.“Aku tidak tahu apakah Raisa masih hidup atau tidak. Terakhir aku bertarung dengannya di The Widow’s Nest ... dan pertempuran itu nyaris membunuh kami berdua,” katanya, nada suaranya menggantung.Namun ada sorot ragu yang menyelinap dalam tatapannya.“Tapi Cindy … dia berbeda. Aku membiarkannya hidup karena
Clara menatap Kevin dengan mata membelalak, seolah tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar.“Kau … mau pergi ke Tanah Terlarang Dewa dan Iblis?” suaranya nyaris berbisik, seolah menyebut nama itu saja bisa memanggil kutukan dari langit.Udara di ruangan seketika berubah. Dinginnya bukan karena suhu, tapi karena beban dari nama yang disebut itu. Bahkan nyala lampu seakan bergetar dalam diam, terpengaruh oleh ketegangan yang mengental.Namun Claudia tidak terlihat kaget. Wajahnya tetap tenang, tapi mata elangnya menatap Kevin dengan ketegasan yang tak bisa diabaikan.“Memang hanya itu satu-satunya jalan,” katanya pelan namun tegas. “Racun Jiwa bukan sesuatu yang bisa diatasi oleh ramuan biasa. Tidak juga oleh teknik penyembuhan tingkat tinggi. Satu-satunya harapan … adalah Pil Racun Iblis. Dan satu-satunya tempat di mana pil itu mungkin masih ada—adalah di markas lama Sekte Racun Iblis.”Kevin mengangguk, seolah pikirannya telah bulat sejak awal.“Tapi Claudia …” Clara m
Ruang peracikan Paviliun Dracarys diselimuti keheningan mencekam, seolah dunia menahan napas. Di tengahnya, Claudia Xander bergerak laksana penari bayangan—sigap, hening, namun tegas, membawa satu per satu bahan yang baru saja ia ambil dari ruang penyimpanan tertutup tujuh segel.Clara berdiri di dekat meja batu giok hitam, matanya berkaca-kaca tapi fokus. “Apa semua ini … bisa menyelamatkan Kevin?”Claudia tak menjawab langsung. Ia hanya meletakkan sebuah peti kayu kecil ke atas meja, membuka pengaitnya dengan segel qi, lalu memperlihatkan isi yang membuat udara seolah menebal."Akar Jiwa Tua," bisiknya. Batang tua berurat gelap itu mengeluarkan aroma lembap yang menusuk, seperti tanah kuburan yang baru digali. “Sudah lebih dari seratus tahun umurnya. Akar ini mengandung resonansi spiritual yang bisa menyambung energi jiwa yang nyaris putus.”Kemudian ia membuka botol batu oniks kecil. Cairan kental berwarna ungu gelap di dalamnya tampak berdenyut pelan.“Darah Iblis Ungu. Tetesan da
Langkah Kevin terhuyung-huyung saat akhirnya ia mencapai gerbang utama Paviliun Dracarys. Debu senja masih melekat di jubahnya yang koyak, dan darah mengering di sudut bibirnya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena racun yang menjalar seperti api dingin dalam setiap urat nadinya. Wajahnya pucat, nyaris tanpa warna, dan napasnya—pendek, kasar, seperti dihela dari dasar neraka.Seorang penjaga yang sedang berjaga di bawah lentera kristal segera mengenali siluet itu.“Chief ...!!!” serunya panik.Dua penjaga lainnya segera menghampiri dan memapah Kevin dengan hati-hati, seolah menyentuhnya terlalu keras akan membuatnya pecah. Saat mereka melintasi halaman, aura spiritual di sekitarnya bergetar, merespons Qi yang kacau dan nyaris meledak di dalam tubuh Kevin.Salah satu dari mereka berteriak, “Cepat panggil Nona Claudia Xander! Sekarang!”Claudia muncul dari ruang dalam, mengenakan gaun merah terusan. Matanya langsung membesar melihat kondisi Kevin yang nyaris tak sadark
Wusshhh!Sebuah pusaran cahaya keunguan meledak, menyilaukan mata dan mengguncang udara di sekeliling. Aura spiritual mendesir keluar seperti angin badai yang keluar dari celah dimensi. Debu, kerikil, dan serpihan batu terangkat ke udara, menari liar dalam lingkaran energi yang memekakkan telinga. Tanah tempat Kevin berdiri bergetar, seolah menolak kehadiran kekuatan sebesar itu.Dari dalam pusaran itu, muncul gerbang—berbentuk lingkaran tak sempurna yang tampak berdenyut seperti jantung hidup. Cahaya ungu menyala redup, tapi memancarkan kekuatan yang tidak stabil. Ujung-ujungnya berkedip, seolah gerbang itu bisa runtuh kapan saja jika ditunda terlalu lama.Kevin tak berkata sepatah kata pun.Tak ada ragu di matanya. Tak ada pertanyaan.Ia menarik napas dalam-dalam, dan mengangkat kakinya ke dalam cahaya. Saat telapak kakinya menembus permukaan energi itu, angin spiritual mengerang di sekelilingnya, seperti roh-roh yang menjerit karena tak ingin ditinggalkan.Tubuhnya mengikuti. Satu
Langit di atas Centralpolis perlahan kehilangan warnanya. Biru cerah yang biasanya memantul di kaca-kaca gedung tinggi mulai memudar, ditelan kelabu muram. Awan gelap—bukan awan hujan biasa—bergerak seperti kawanan makhluk hidup, berputar dan menari dalam pola tak wajar. Ada sesuatu yang jahat di dalamnya, sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini.Kabut pekat berwarna keunguan menjalar dari celah-celah langit, turun seperti kabut neraka yang enggan menghilang. Cahaya matahari terhapus sepenuhnya, tergantikan oleh bias warna aneh yang menari di atas reruntuhan bangunan.Menara Sembilan Bayangan tak lagi berdiri megah. Batu-batu dan logam melengkung berserakan di tanah seperti sisa tubuh raksasa yang diluluhlantakkan.Di tengah kehancuran itu, Kevin berdiri tegak seorang diri.Semua penjaga yang tadi mengepungnya musnah tanpa bersisa seorang pun. Tubuh mereka hancur oleh kekuatann spiritual yang tak mampu ditanggung oleh tubuh mereka saat pertarungan Kevin melawan Cindy Aleta. Kemungkin
Langkah Kevin terseok-seok saat ia menjauh dari reruntuhan Menara Sembilan Bayangan. Setiap napas terasa lebih berat. Racun dari jarum Cindy tak hanya merusak tubuhnya, tetapi juga menyusup ke dalam meridian spiritualnya, membuat aliran Qi-nya mendadak melonjak liar dan tak terkendali.Kabut spiritual di Centralpolis berkilat samar, seolah mengejek langkah lemah yang kini ia ambil. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan dunia perlahan bergoyang seperti layar retak.Tiba-tiba, tubuhnya roboh ke lutut. Tangan kirinya menahan tubuhnya agar tidak jatuh total, sementara tangan kanan menggenggam erat gagang pedang. Darah mengalir dari luka di bahunya, namun bukan darah merah biasa. Warna ungu kehijauan mulai mengalir, pekat dan berdenyut ... tanda bahwa racun itu mulai menyatu dengan darahnya.“Racun jiwa …” desis Kevin, tubuhnya membeku di tempat. Rasa dingin menjalar cepat dari luka ke seluruh syarafnya, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram jantungnya dan memerasnya perlaha