Bab Utama : 2/3. Apakah Kevin akan menggunakan kemampuan berubah wujudnya untuk menghadapi hewan spiritual ini?
Kevin membuka matanya di antara teriknya cahaya matahari spiritual yang menyelinap masuk dari jendela kamar penginapan. Udara Kota Hantu di pagi menjelang siang tetap terasa dingin, seperti kota yang enggan melepaskan jejak malamnya. Di sebelahnya, Valkyrie masih tertidur dengan napas tenang, selimut menyelimuti sebagian tubuhnya, menyisakan bahu putih pucat dan rambut peraknya yang terurai ke bantal. Pemandangan itu, untuk sesaat, membuat Kevin lupa bahwa mereka masih berada di wilayah berbahaya.Beberapa saat kemudian, setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan jubah bersih berwarna kelam keperakan yang diambil dari cincin ruang miliknya, Kevin berdiri di depan cermin spiritual, mengikat rambut panjangnya ke belakang.Valkyrie bangun tak lama kemudian. Tanpa banyak bicara, ia juga mandi dan mengenakan pakaian barunya—gaun spiritual dari kain temaram biru laut dengan detail perak yang menggambarkan pola-pola naga kabut. Gaun itu membungkus tubuhnya dengan elegan, menonjol
Asap kehitaman perlahan memudar dari medan pertarungan, sementara debu halus abu iblis beterbangan ditiup angin pertama yang bebas dari racun. Api Phoenix masih menyala redup di dada Kevin, memancarkan semburat oranye keemasan seperti bara yang belum padam. Sisa panas dari serangan pamungkasnya terasa di udara, membentuk riak gelombang qi yang menjalar ke setiap arah.Kevin Drakenis berdiri kokoh, tubuhnya masih meneteskan darah dari luka-luka yang terbuka di dada dan lengan. Bilah Pedang Ilahi Phoenix di tangannya bergetar pelan, menyisakan nyala magis keperakan yang berkedip seperti nyala bintang terakhir di langit malam. Di kakinya, tubuh Alastair telah menjadi debu hitam yang tersebar dalam bayangan kabut—sosok legendaris yang kini tinggal kenangan. Tidak ada raungan terakhir, tidak ada teriakan keputusasaan—hanya bisikan fana sebelum dilahap oleh kehampaan.Langkah ringan menghampiri dari sisi medan pertempuran.Valkyrie datang tanpa suara, hanya hembusan napasnya yang terdengar,
Raungan itu menembus dimensi, membuat udara seperti berderak. Langit seolah terbelah. Tanah Terlarang merespons dengan retakan dan gempa aneh yang terasa sampai ke ujung lembah. Bahkan dari jauh, Valkyrie yang menyaksikan segalanya harus menancapkan pedangnya ke tanah, menahan keseimbangan agar tak terbawa badai qi yang mengamuk.Namun Kevin tidak mundur. Tak ada getar di matanya. Tak ada keraguan. Ia menatap monster di depannya, lalu menggigit bibir bawahnya hingga darah menetes.Dengan jari yang bergetar oleh energi yang menumpuk, ia menyapukan darah itu ke lambang phoenix di dadanya.Simbol itu menyala—membakar angkasa.“Kau boleh berubah,” bisiknya dalam nada rendah, namun kekuatan kata-katanya bergema ke setiap penjuru lembah, “Tapi aku… aku sudah ditakdirkan menjadi malaikat maut bagimu.”Langkahnya berubah. Napasnya menyatu dengan udara, dan qi-nya bergelombang bagaikan badai surgawi. Kedua tangannya menggenggam Pedang Ilahi Phoenix dengan satu misi ..."Heavenfall Incineration
Langit buatan yang menjulang tinggi di atas Lembah Awan Hitam bukan lagi atap pelindung dari energi spiritual—ia telah berubah menjadi kanvas neraka, diwarnai merah gelap dan ungu pekat. Awan-awan racun berputar lamban seperti pusaran maut yang malas namun pasti, menggulung energi jahat di dalamnya. Petir menyambar acak, kadang muncul dari celah awan, kadang dari tubuh para petarung yang sudah meleburkan jiwa dan qi mereka ke dalam duel berdarah.Tanah di bawah mereka retak-retak dan membara, seperti ingin membuka mulut dan menelan seluruh penderitaan yang tertumpah di atasnya.Dari medan yang telah menelan belasan nyawa, kini hanya dua sosok yang tersisa berdiri—bagai dua pilar tak tergoyahkan di tengah badai kehancuran.Kevin Drakenis.Tubuhnya berlumuran darah, sebagian miliknya, sebagian musuh. Tapi matanya masih membara—bukan karena amarah, melainkan karena tujuan yang telah membentuk jalan hidupnya hingga titik ini. Aura spiritualnya bukan hanya terasa kuat—tapi kuno dan agung,
Alastair Nyxen perlahan bangkit dari puing-puing batu hitam yang kini retak seperti cermin pecah. Darah berwarna ungu gelap mengalir dari sudut bibirnya, menetes ke tanah yang sudah dipenuhi luka dan jejak pembantaian. Sayap iblisnya kini hangus di salah satu sisi, terbakar sebagian oleh "Demon’s Heavenfire Strike".Sementara itu, tubuhnya bergetar menahan panas dan tekanan spiritual yang masih melingkupi lembah.Namun meski tubuhnya terluka, sorot matanya tetap congkak.“Jadi... kau benar-benar mewarisi jiwa Phoenix. Tapi api itu... tak akan bertahan lama.” Alastair tertawa pendek, meski darah keluar bersamaan. “Api akan padam. Tapi kegelapan? Ia abadi.”Kevin tak menjawab. Ia hanya melangkah maju, perlahan tapi mematikan. Setiap jejak kakinya membakar racun yang mengendap di tanah. Pedang Ilahi Phoenix di tangannya masih memercikkan api ungu kehitaman—api yang tidak lagi sekadar menyucikan, tapi membalas dendam.Dari balik reruntuhan, muncul lagi para pembunuh profesional milik Sekt
Di sisi lain medan pertempuran yang kini menjadi ladang kematian, Valkyrie berdiri angkuh di antara tubuh-tubuh bersimbah darah. Kabut racun masih menggantung di udara, menari samar seperti roh penasaran yang belum tenang. Namun bagi Valkyrie, ini bukan lagi pertempuran—ini adalah seni, dan ia adalah maestro-nya.Tanpa sehelai debu pun menempel pada zirah peraknya yang berkilau merah karena cipratan darah musuh, ia melangkah ringan, penuh percaya diri. Sorot matanya tajam seperti belati surgawi. Rambut peraknya berkibar, diterpa angin yang membawa aroma besi dan racun busuk.Setiap tebasan pedangnya bukan hanya akurat—tapi mutlak. Kepala demi kepala berguguran seperti buah matang, tak satupun diberi kesempatan untuk kembali bangkit. Zanrei, pedang legendarisnya yang terukir ukiran naga dan ular, menari dalam genggamannya seolah hidup, seolah haus darah. Percikan racun yang menempel di bilahnya langsung menguap, terbakar oleh aura tajam miliknya.“Cih,” desis Valkyrie sambil melirik seo