Home / Fantasi / Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa / 41. Kejutan Tak Terduga

Share

41. Kejutan Tak Terduga

Author: Zhu Phi
last update Huling Na-update: 2025-04-19 17:38:19
Angin pagi bertiup lebih keras, membawa aroma logam darah dan tanah yang basah oleh penderitaan. Di balik langit yang mulai mendung, cahaya matahari pagi meredup, seperti malu-malu untuk menatap dunia.

Kevin memandang langit yang tak lagi bersahabat, lalu menatap Clara. Matanya melembut, untuk pertama kalinya hari itu.

“Aku tak akan membiarkan mereka menyakitimu, Clara. Aku janji. Dari dasar lubuk hatiku yang terdalam… aku belum pernah melupakanmu.”

Clara menatap Kevin dengan tatapan penuh kasih sayang sambil tersenyum. Selama ini, ia juga tidak pernah tertarik dengan pria lain dan berharap suatu saat Kevin akan kembali.

“Aku tahu, Kev… apa kamu mau mengunjungi makam Paman dan Bibi?” tanya Clara tiba-tiba, suaranya pelan, seperti ragu apakah pertanyaan itu pantas diucapkan saat ini.

Kevin terdiam. Napasnya tercekat. Tubuhnya mendadak bergetar hebat, seolah hantaman petir baru saja menyambar dari dalam dadanya.

“Apa… apa yang kamu katakan barusan?” bisiknya, matanya membelalak tak perca
Zhu Phi

Bab Utama : 2/2 Selesai Bab Bonus : 0/1 Nanti Malam Bab Extra : ? Terima kasih untuk Gems-nya ya sobat readers. Akan ada Bab Bonus malam ini tapi untuk Bab Extra masih tanda tanya ya ....

| 8
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   154. Kurozan

    Langit di atas Saint City memancarkan rona biru yang damai, seolah menipu kenyataan yang baru saja terjadi di tanah di bawahnya. Sinar matahari menyinari debu-debu halus yang masih melayang di udara, tertinggal dari kehancuran yang belum lama berlangsung. Namun bagi Kevin, cahaya itu hanya menyoroti satu hal—jejak keputusasaan yang ia tinggalkan di balik punggungnya.Langkah-langkah Kevin meninggalkan jejak samar di tanah yang masih basah oleh darah. Tanpa menoleh, ia berjalan menjauh dari reruntuhan Paviliun Xarxis, tempat yang dulu dihormati karena kekuatan dan tradisinya, kini hanyalah tumpukan puing tak bernyawa. Angin yang berembus dari arah barat membawa serta bau logam pekat dan hangus qi, bercampur dengan aroma kehancuran. Teriakan dan ledakan dari pertarungan tadi kini telah digantikan oleh sunyi ... sunyi yang sangat mencekam.Di baliknya, bangunan utama Paviliun Xarxis ambruk perlahan, seperti raksasa tua yang akhirnya menyerah pada waktu. Tidak ada jenazah yang tertinggal d

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   153. Hukuman Mati

    Beberapa cultivator mulai saling pandang. Ketakutan mendorong sebagian dari mereka untuk berbicara. Ada yang mulai menyebut nama kota. Ada yang menyebut sosok misterius yang pernah mereka lihat meninggalkan Saint City. Ada pula yang dengan suara gemetar menyebutkan nama seorang mantan tetua yang diduga berhubungan dengan Celestial Myrad.Kevin mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap tak berubah—dingin, datar, tak memberi petunjuk apakah informasi mereka berguna atau tidak.Sementara rokok terus terbakar, bara merahnya menyusut perlahan ... seperti nyala harapan yang perlahan padam di mata mereka yang bersujud.“Jangan memohon pada iblis ini lagi!” seru seorang cultivator dengan wajah merah padam, darah menetes dari pelipisnya yang robek. Matanya membelalak penuh amarah dan keputusasaan. “Dia tidak akan membiarkan kita hidup-hidup! Dasar bajingan tak berhati!”Suasana di halaman Paviliun Xarxis mendadak membeku. Jeritannya menggema di dinding batu, bergema seperti ratapan terak

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   152. Kesadisan Kevin

    Langit di atas Saint City kembali membiru, tapi kedamaian itu hanyalah tipuan. Tanahnya masih basah oleh darah, sebagian sudah menghitam, sebagian lagi masih hangat, mengalir dari tubuh-tubuh yang belum dikuburkan. Asap tipis mengepul dari reruntuhan Paviliun Xarxis, seperti napas terakhir dari bangunan yang pernah berdiri dengan angkuh.Aroma besi—tajam, menusuk, dan penuh kematian—masih melekat di udara, menyusupi hidung dan tenggorokan, menyatu dengan hawa hangus dan debu reruntuhan.Di atas gerbang timur yang telah runtuh sebagian, seorang pria berdiri diam. Kevin.Bayangannya tegak menjulang di tengah puing, seperti siluet malaikat maut yang telah memutuskan siapa yang layak hidup dan siapa yang telah kehilangan hak itu. Jubahnya robek di sana-sini, bercak darah mengering di tepinya, dan ujungnya berkibar perlahan tertiup angin sore yang muram. Angin itu dingin—bukan karena cuaca, tapi karena sisa-sisa ketakutan yang menggantung di udara.Mata Kevin menyapu sisa-sisa kekuatan Pavi

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   151. Kepercayaan

    “Aku tak ingin perang,” katanya akhirnya. Suaranya tidak membela, tidak pula memohon. Hanya menyatakan kebenaran seperti batu karang menyambut gelombang. “Aku ingin keseimbangan.”Keseimbangan. Kata itu menggantung di udara, terasa lebih berat daripada kelihatannya.Kael melangkah sedikit mendekat, namun tetap menjaga jarak aman. Kabut tipis di sekitarnya menyapu jubahnya, menimbulkan ilusi seolah ia bukan makhluk dari dunia ini.“Dan untuk itu,” lanjutnya, “seseorang sepertimu tidak bisa berjalan sendirian. Bahkan dengan warisan kekuatan ibumu sekalipun, kau hanya akan jatuh ... lebih cepat.”Helena tersentak. Rahangnya mengeras, dan tangan kirinya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Kata-kata tentang ibunya adalah cambuk yang menyayat.Ia menatap Kael, mata hijaunya kini berkilat dalam kemarahan yang ditahan. “Sekutu bisa jadi pengkhianat,” katanya tajam, seperti pisau yang mengarah ke leher. “Dan kepercayaan ... tidak murah, Kael.”Kael mengangguk pelan, tidak te

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   150. Kael - Anak Anomali

    Langkah kaki pria bertopeng itu menggema pelan di atas lantai batu basah, menciptakan irama aneh di tengah keheningan Distrik Hitam yang dilanda kabut malam. Setiap langkahnya tenang, nyaris tak bersuara, seolah ia tak berjalan, melainkan mengalir—seperti bayangan yang lahir dari malam itu sendiri.Helena memicingkan mata, tubuhnya tegang, jari-jarinya melayang di dekat gagang senjata. Meski lelah, nalurinya tetap waspada. Ada sesuatu dalam cara pria itu bergerak—mantap, tak tergesa, tapi tak juga ragu—yang membuat bulu kuduknya berdiri.Pria itu berhenti di hadapannya, dalam jarak yang cukup dekat untuk bicara, namun cukup jauh untuk menjaga rahasia. Dari balik topeng perak berhias ukiran naga terjalin, suaranya akhirnya terdengar.“Namaku Kael,” ucapnya, tenang namun dalam, seperti suara logam tua yang bergesekan di ruang kosong. Kata-kata itu bukan sekadar perkenalan ... ada beban di dalamnya. Sebuah pengakuan yang mengandung sejarah.Helena menahan napas. Udara malam terasa lebih d

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   149. Pria Bertopeng Perak

    Lorong yang retak – beberapa menit setelah pertarungan ...Asap dan debu masih menggantung berat di udara, seperti selimut tipis kematian yang belum mau enyah dari tempat itu. Bau logam dan belerang menusuk hidung, bercampur aroma hangus dari batu-batu yang terbakar sihir.Di tengah reruntuhan, Helena merangkak pelan, tubuhnya nyaris tanpa tenaga. Setiap gerakannya seperti ditarik gravitasi dari dunia lain. Tangannya gemetar, meraba puing-puing kasar yang dingin dan berdebu. Napasnya berat, terseret seperti rantai yang menggores paru-paru. Ada darah di sudut bibirnya, dan setiap helaan napas membawa nyeri menusuk di dadanya.Di balik pakaian robek dan tubuh yang lebam, liontin di dadanya masih menyala samar—denyutnya lemah, tapi hidup. Seolah menjadi satu-satunya bukti bahwa ia masih bernyawa.“Jangan mati ... jangan sekarang ...” bisiknya pelan, entah pada dirinya sendiri atau pada liontin itu.Dengan sisa kekuatan yang tinggal setipis benang, ia mencoba berdiri. Kakinya bergetar, lut

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   148. Teror Axel Gods

    Siluet pertama menyala merah menyala, dengan aura panas membara yang membuat udara di sekelilingnya berdesis. Api menjilat lantai setiap kali ia bergerak.Siluet kedua tampak samar—seperti cermin pecah yang terus berubah bentuk. Ilusi mengalir dari tubuhnya, membuat kenyataan bergelombang, menyimpang, seolah-olah lorong itu sendiri mulai memutarbalikkan wujud.Siluet ketiga... Tak bisa dilihat. Tak berbentuk. Tapi ada. Tekanan mentalnya menghantam seperti ribuan jarum yang menembus kulit kepala, menusuk syaraf, mencabik fokus dan keseimbangan. Helena nyaris terhuyung, tapi ia menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan rasa ingin muntah yang menghantam tenggorokan."Konsentrasi, Helena ..." gumamnya dengan tekad kuat.Siluet pertama menyerang duluan—sebuah sabetan api membelah udara, menyala terang seperti kilatan petir neraka.Helena melompat tinggi, tombaknya berputar dalam genggaman, menciptakan lengkungan cahaya di udara. Ia menghindar, lalu dalam gerakan balik yang mulus, me

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   147. Sosok Misterius

    Distrik Hitam ... Lorong Tengah.Tiga jam setelah Axel menghilang dari warung tua.Kabut menggantung rendah seperti racun yang belum sempat menguap. Tidak lagi hanya menyelimuti jalan, melainkan menelan seluruh dunia dalam diam. Cahaya lampu jalan berkelip mati satu per satu, seperti enggan menjadi saksi dari sesuatu yang akan terjadi.Langkah Helena merambat perlahan. Sepatunya menyentuh genangan air yang memantulkan bayangan-bayangan mengerikan dari langit gelap. Setiap gerakannya nyaris tak bersuara, diserap oleh kabut dan lorong-lorong batu yang basah. Ia mengenakan tudung panjang, dan jubah hitam kelam yang menyerap cahaya, seolah tubuhnya diciptakan dari bayangan itu sendiri.Di balik tudungnya, mata Helena tajam melihat sekelilingnya. Ia menggenggam liontin kecil yang tersembunyi di balik lapisan jubah, logamnya dingin menempel di dada, namun terasa seperti satu-satunya yang masih hidup dalam tubuh yang nyaris mati rasa.Jantungnya berdetak pelan, tapi tegas. Seperti genderang

  • Pewaris Ilmu Iblis dan Dewa   146. Kehancuran Paviliun Xarxis

    Tubuhnya nyaris runtuh, namun tatapan Helzavar belum padam.Ia tersenyum miring, meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. “Kau pikir … itu cukup?” bisiknya pelan, lalu membentak, “Aku belum kalah! Aku adalah pilar terakhir Paviliun Xarxis!”Aura hitam mulai bangkit lagi dari dalam tubuhnya—pelan tapi pasti disertai energi kegelapan yang mulai menguasainya.“AAARRRGGGH ...!!!”Langit bergetar saat Helzavar meraung. Suara teriakannya bukan sekadar pekikan putus asa—itu adalah raungan seorang raksasa yang menolak tenggelam sendirian. Gema suaranya melintas cakrawala, membuat awan menggulung gelisah dan angin membungkus medan tempur dengan desiran kematian.Dengan kedua tangan yang sudah berlumuran luka dan darah, Helzavar merentangkan tangan ke langit, lalu menyilangkan jari-jari patahnya dalam gerakan ritual kuno. Di sekelilingnya, pusaran aura hitam meledak, menyedot energi dari tanah, udara, dan bahkan bayangan yang semula diam. Langit berdenyut merah, seolah mengenali bahwa ses

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status