Bab Bonus Gems : 2/2 Selesai. Bab Extra Author : 0/1. Bab Akumulasi pasti diselesaikan author tapi sabar ya ...
Suara Claudia terdengar pelan di telinga mereka—halus, seperti hembusan napas yang menyusup melalui batu komunikasi.“Target terlihat. Gaun hitam bertabur opal. Rambut sanggul separuh. Cindy,” bisiknya.Dari lantai dansa yang dipenuhi tawa dan suara gesekan sepatu di atas ubin kristal, Kael menoleh perlahan. Dan di sana—berdiri anggun seperti ratu racun yang turun dari menara zamrud—Cindy Aleta.Auranya seperti asap manis yang beracun. Gaun hitamnya menyerap cahaya sekitarnya dan memantulkannya kembali dalam kelap-kelip halus dari batu opal di sepanjang dadanya. Rambutnya disanggul separuh ke atas, beberapa helai tergerai membingkai wajah ovalnya yang nyaris tak tersentuh usia. Senyumnya lembut, bahkan menawan. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya—tajam, waspada, seperti ular berbisa yang sedang menyusun serangan dari balik semak belukar.Langkah-langkah Kael nyaris tak terdengar di atas lantai marmer yang mengilap, hanya sesekali bergema pelan saat sepatu kulit hitamnya menyentuh per
Suasana sejenak hening. Di luar jendela kaca setinggi dua meter, kembang api magitek meledak perlahan di langit—merah, ungu, lalu perak—namun tak seorang pun di ruangan itu menoleh.Kael, yang sejak tadi diam, akhirnya bersandar di kursi berlengan dan menyilangkan kedua tangan. Sorot matanya gelap, tapi tak kehilangan sinar kepercayaan diri.“Aku bisa memancing Cindy keluar,” katanya ringan, seperti membahas rencana makan malam. “Menurut catatan terakhir, dia masih punya satu kelemahan klasik... pria tampan yang tahu dia tampan.”Claudia menoleh dengan senyum mengejek.“Dan kau cocok jadi keduanya,” ujarnya sambil melirik Kael dari ujung rambut sampai ujung sepatu.Kael membalas dengan anggukan tipis. “Tepatnya... pria tampan, sombong, dan tidak takut mati.”Helena menghela napas, tapi tak membantah.Ravena berhenti memutar belatinya dan meletakkannya perlahan di atas meja, suara logam yang menyentuh permukaan marmer terdengar seperti palu ketukan hakim.“Baik,” katanya. “Kalau rencana
Gerbang besar Centralpolis, terbuat dari logam hitam yang dilapisi lapisan pelindung alkimia, berderit pelan saat dua penjaga mendekat. Salah satunya—berbadan kekar dan mengenakan pelindung dada bersimbol Ular Berkepala Dua—menatap mereka dengan mata penuh curiga.Namun, sorot matanya berubah seketika saat Kael menyerahkan gulungan dokumen. Mata penjaga itu menyapu lambang perak di bahu jubah Kael dan segel keluarga bangsawan yang tampak begitu asli. Jari-jarinya sempat bergetar saat melihat stempel keemasan yang nyaris mustahil untuk dipalsukan—hasil karya Claudia semalam, diproses dengan tinta khusus yang hanya bisa bereaksi pada cahaya bulan tiruan.Setelah beberapa detik yang terasa seperti satu jam dalam hening, penjaga itu mengangguk.“Selamat datang di Centralpolis, Tuan Casterian,” ucapnya dengan nada penuh hormat. “Festival Malam Alkimia dan Racun baru saja dimulai. Kalian… datang tepat waktu.”Ia memberi isyarat, dan gerbang raksasa itu mulai terbuka perlahan, mengeluarkan su
Centralpolis—sebuah kota yang berdetak bukan oleh detik jam, melainkan oleh irama ambisi, racun, dan sihir alkimia. Bangunan-bangunan menjulang tinggi seperti tusukan duri hitam yang mengoyak langit senja, seolah menyembunyikan matahari di balik kepulan kabut beracun yang menggantung di udara. Cahaya yang jatuh di kota ini tak pernah benar-benar murni—selalu redup, berkilau aneh seolah melewati tabir kaca kotor yang penuh rahasia.Suara langkah kaki di jalanan berbatu bercampur dengan derai tawa yang palsu, denting gelas kristal dari kedai-kedai mewah, dan desis rahasia yang dijual dalam bisikan. Di sudut-sudut gelap lorong, pertukaran informasi bisa menjadi lebih berbahaya—dan lebih berharga—daripada sekantong emas spiritual.Di kota inilah Cindy Aleta tinggal—atau lebih tepatnya, bersembunyi. Ia bukan lagi pewaris resmi keluarga Solaris dengan nama Keyla Solaris, dinasti alkemis racun yang dahulu disegani sekaligus ditakuti. Kini, ia menyamar sebagai wanita biasa... rambutnya yang du
Langit Nagapolis mulai temaram saat kabut senja merambat menutupi puncak menara Paviliun Dracarys. Di dalam aula pribadi di lantai tertinggi, ketiga wanita itu berdiri dalam keheningan yang mendebarkan. Hanya suara angin yang menggesek tirai-tirai sutra merah dan aroma dupa spiritual yang membumbung tipis dari tungku perak di sudut ruangan.Helena Caraxis berdiri menatap peta kuno yang dibentangkan di atas meja batu. Jari-jarinya menyusuri jejak tinta hitam yang melingkari wilayah paling terpencil di luar barat daya Nagapolis—sebuah tempat yang ditandai dengan huruf-huruf kuno dan tanda segel.“Apa kalian tahu letak Tanah Terlarang Dewa dan Iblis ini?” suara Helena rendah, tapi mengandung keresahan yang dalam.Claudia menatap tajam, dahinya mengernyit. “Tadi kau bilang Chief dalam bahaya... siapa yang kau khawatirkan akan mencelakai Chief Kevin?”Helena menarik napas perlahan, seolah tiap kata yang akan ia ucapkan adalah beban. “Dewa Tanpa Wajah—Axel Gods. Dan Dewi Wajah Racun—Loxainne
Malam telah reda. Kabut tipis mulai turun, membalut reruntuhan Paviliun Dracarys seperti tirai rahasia. Udara masih berdenyut dengan sisa-sisa kekuatan spiritual yang tadi menghantam langit dan bumi.Helena berdiri di antara reruntuhan gerbang luar, tubuhnya nyaris tak bergerak, tetapi jiwanya bergemuruh. Sorot matanya mengarah lurus ke Ravena yang kini duduk di atas balok runtuh, wajahnya redup, tapi matanya belum kehilangan cahaya kebencian.Claudia berdiri membelakangi keduanya, menatap langit Nagapolis yang berwarna kelam. Hening menjerat mereka bertiga, sampai akhirnya suara Helena memecahnya—pelan, nyaris seperti bisikan.“Yang Kevin bunuh di Paviliun Caraxis… bukan aku.”Ravena mendongak, perlahan. Napasnya memburu. “Apa?”Helena menelan ludah, lalu melangkah ke depan. Api ungu yang mengelilingi tubuhnya telah padam, meninggalkan sisa bara di ujung jubahnya. Rambut ungunya menjuntai lepas, sedikit berantakan oleh pertempuran, namun wajahnya—untuk pertama kalinya sejak muncul—men