Bab Bonus Gems : 1/2. Apakah Kevin sudah menang atau ada pertarungan yang lebih dasyat?
Langit memang telah tenang. Tapi kedamaian tidak pernah benar-benar lahir di Tanah Terlarang Dewa dan Iblis.Meski Demyxian telah musnah, kehancurannya hanya membuka satu lapisan permukaan dari dunia gelap yang jauh lebih dalam. Kabut merah—tipis namun menjijikkan—tetap menggantung di udara. Ia bergerak perlahan seperti asap dupa dari altar pengorbanan kuno, menyebarkan aroma besi dan darah hangus ke seluruh penjuru angin beserta satu nama ...Kevin Drakenis.***Jauh di bawah permukaan tanah, di kedalaman yang bahkan cahaya pun enggan mencapai, berdiri markas besar Sekte Petir Langit. Sebuah ruang batu yang melingkar, dikelilingi tiang petir yang tak henti-henti memuntahkan kilat dari ujung ke ujung. Langit-langit ruangan itu tidak pernah diam; selalu gemuruh, seolah badai surgawi terjebak selamanya di sana.Pertemuan rahasia telah dimulai.Di tengah ruangan yang dikelilingi para tetua, berdiri seseorang yang tak membutuhkan pengantar. Jubahnya panjang, sehitam malam tanpa bulan, ber
Di tengah ruangan Menara Racun berdiri Cindy Aleta—tak lagi berselubung bayangan, tak ada ilusi atau samaran. Wajahnya telanjang dari kepura-puraan. Mata hijaunya bersinar seperti zamrud gelap, penuh perhitungan dan luka lama. Di antara jemarinya yang lentik, ia memutar sebuah botol kristal kecil, di dalamnya cairan berwarna ungu berdenyut seperti jantung makhluk kuno.“Ah, akhirnya kalian berhasil lolos juga dari bayangan spiritualku,” bisiknya dengan senyum bengis. “Jadi... kalian datang untuk membunuhku, atau untuk menyelamatkan kekasihmu, Helena?”Nada suaranya seperti belati—dingin, tajam, menyusup ke dalam celah-celah keyakinan.Helena berdiri tak bergeming. Aura tenangnya berbanding terbalik dengan kobaran api yang menari samar di matanya. Ia menatap Cindy dengan tajam, menyimpan ribuan kata yang tak perlu diucapkan.“Kau tahu aku butuh pil itu,” katanya akhirnya, nada suaranya nyaris tak bergetar.Cindy mendekat satu langkah, botol di tangannya berkilau dalam cahaya remang. “T
Kegelapan menelan segalanya di Ruang Bawah Tanah.Tak ada cahaya, tak ada waktu. Hanya deru angin berputar seperti bisikan kutukan, dan di tengahnya, tawa lirih—renyah, namun menyesakkan.Ravena terhempas ke lantai batu yang dingin dan retak. Di sekelilingnya, cermin-cermin kuno pecah berserakan, mencerminkan kilatan cahaya dari kabut beracun yang menyelimuti ruangan. Asap tipis berwarna hijau keunguan merayap, membekukan tanah yang disentuhnya. Nafasnya memburu, uap putih keluar dari bibirnya yang membiru karena suhu yang turun drastis.Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena sesuatu di dalam dirinya bangkit, sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Aura gelap mulai merembes dari kulitnya, membentuk garis-garis hitam berdenyut di lengan dan lehernya. Matanya, yang biasanya bening seperti embun pagi, kini bersinar dengan warna biru pekat yang mengancam.“Bangun, Ravena…” Suara itu datang lagi—halus, seperti desahan angin musim dingin yang merayap ke dalam tulang
Langkah-langkah Helena menggema lirih saat ia memasuki ruang berbentuk persegi, namun setiap gema terasa seperti detik-detik yang berdetak menuju kehancuran. Lantai logam di bawahnya berkilauan redup, dialiri aliran listrik samar berwarna biru, berdenyut seolah menunggu jantung pertempuran berdentum. Udara di sekelilingnya tegang dan bermuatan, seperti sebelum badai dahsyat meledak. Rambut cokelat gelapnya menari tertiup angin tak kasat mata, dan aroma logam serta ozon memenuhi paru-parunya.Langit-langit ruangan tidak solid. Ia seperti membran hidup, tempat kilatan petir sesekali meloncat dengan bunyi SRAAAAK!, memantul dari satu sisi ke sisi lain, meninggalkan jejak kilau di pupil mata Helena.Lalu... dia muncul.Dari gumpalan petir yang terpilin seperti simpul langit, terbentuklah Bayangan Petir Cindy—manifestasi energi murni yang menyerupai tubuh manusia, namun tak lebih dari aliran listrik yang menjalin bentuknya. Tubuhnya mendesis, memijar, dan matanya—jika bisa disebut begitu—ha
Menara Racun, kini bukan sekadar struktur tua yang menyimpan sejarah kelam. Ia telah berubah menjadi semacam makhluk sadar—bernapas, merasakan, dan... menghakimi. Kabut beracun yang menggulung di udara tak lagi terasa seperti uap mati, melainkan seperti nafas panas yang berdenyut perlahan, seirama dengan detak jantung ruang itu sendiri. Dinding-dindingnya mengerang pelan, seperti menyimpan nyawa yang pernah terkunci di dalamnya.Claudia berdiri diam di tengah ruangan berbentuk oktagon yang dikelilingi cermin dan panel kristal. Matanya, yang keperakan dan tajam seperti bilah obsidian, menatap dalam ke pusaran kabut ungu yang kian mengental. Tangannya perlahan bergerak, menyentuh gagang pedang yang masih tersarung di pinggangnya. Udara mulai terasa berat dan panas, seperti ruang itu sedang memanas dari dalam perut bumi.Kemudian... getaran.Kristal di dinding mulai bergetar perlahan, mengeluarkan suara samar seperti napas naga yang menahan amarahnya terlalu lama. Gelombang panas mendesis
Derit lirih terdengar dari engsel pintu berukir kepala ular saat pintu menara itu terbuka perlahan, seperti menyambut tamu-tamu yang telah ditunggu-tunggu sejak lama. Kabut tipis berwarna ungu menyelinap keluar bersama bau menyengat—campuran logam karat dan rempah membusuk—yang menusuk langsung ke pangkal hidung Helena. Ia terbatuk ringan, lalu menutup hidungnya dengan kain kecil yang disiapkan sejak awal agar racun tidak terhirup.Helena melangkah pelan memasuki Menara Racun. Matanya menyapu seluruh ruang, waspada. Dinding-dinding menara menjulang tinggi dan dipenuhi ukiran rumit berupa ular melilit batang-batang bunga berbisa... nightshade, belladonna, dan moonblossom hitam. Api berwarna ungu menyala di obor-obor yang tergantung melayang tanpa kait, meliuk lembut seperti tarian roh dalam kabut racun.Beberapa detik kemudian, suara langkah cepat menyusul dari belakang. Claudia muncul, mengenakan mantel panjang berwarna kelabu dengan simbol pelindung racun menyala samar di bahunya. Tan