Bab Bonus Gems : 2/2 Selesai. Bab Extra Author : 0/1. Jurus baru Pedang Dewa Ilahi yang mengerikan ...
Lantai marmer aula Paviliun Drakenis kini dipenuhi bercak darah. Draven terkapar, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi namun masih dipenuhi kebencian. Urat di pelipisnya menonjol, nafasnya tersengal seperti orang yang tinggal menunggu ajal.Para pembunuh masih berdiri melingkari mangsanya, sebagian dengan senyum sinis, sebagian lagi menatap Kevin menunggu perintah. Aura kematian memenuhi udara—seolah setiap detik bisa menjadi akhir hidup Draven.Kevin berjalan perlahan mendekat. Sepatunya berdecit di atas lantai, suaranya begitu jelas di antara keheningan yang mencekam. Ia berhenti tepat di hadapan Draven yang masih berusaha bangkit dengan tubuh remuk.“Lihat dirimu,” ujar Kevin dengan suara tenang, hampir seperti bisikan maut. “Tadi kau datang dengan sombong, mengaku anggota Organisasi Dokter Spiritual Dunia … sekarang?”Kevin menunduk sedikit, matanya menatap dalam ke mata Draven. Tatapan yang dingin, tak berperasaan, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.“Kau hanya bangkai hidup y
Draven merasakan kulit di tengkuknya dingin saat puluhan pasang mata para pembunuh menatapnya. Senjata-senjata tipis yang berkilat seperti taring ular semakin mendekat. Ruangan yang semula hangat dengan cahaya lampu kristal, kini seakan dipenuhi aura kematian.“Menjauhlah dariku!” teriak Draven sambil melontarkan jarum-jarum beracunnya. Gerakannya cepat, bahkan hampir tak terlihat oleh mata awam. Jarum-jarum itu meluncur seperti kilatan cahaya hijau, mengarah ke dada dan tenggorokan para pembunuh.Namun—Ting! Ting! Ting!Semua jarum itu terpental, ditangkis dengan mudah oleh pedang tipis, kipas baja, bahkan sekadar gerakan jari dari para pembunuh. Beberapa bahkan sengaja membiarkan jarum itu menempel di pakaian mereka, lalu menatap Draven dengan senyum mengejek.“Kau pikir racunmu cukup untuk membuat kami ketakutan?” salah seorang pembunuh berambut panjang tertawa, matanya merah menyala.Draven menggertakkan gigi. “Dasar sampah! Jangan remehkan aku!”Ia bergerak cepat, tubuhnya melomp
Suasana seketika riuh. Beberapa tamu saling berbisik, sebagian menahan napas, menunggu reaksi dari Kevin.PLAAAK!Suara tamparan keras memecah udara. Semua mata terbelalak. Draven terhuyung ke samping, pipinya memerah membengkak. Bukan Helena yang menamparnya, melainkan Kevin yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin menusuk.“Jangan pernah...” Kevin mendesis, suaranya rendah namun mengandung tekanan yang membuat bulu kuduk meremang. “Jangan pernah membentak atau kurang ajar terhadap kekasihku. Atau... aku akan merobek mulut besarmu itu.”Draven mendengus, darah menetes dari sudut bibirnya. “Cih! Kau... bajingan! Kau sudah membunuh ayahku! Semula kukira kau juga sudah membunuh kakakku—ternyata dia masih hidup!” Ia menunjuk Helena dengan gemetar. “Pasti kalian bersekongkol untuk membunuh ayahku!”PLAAAK!Tamparan kedua mendarat. Kali ini bukan dari Kevin, melainkan dari Helena. Matanya penuh kilatan amarah. Tangannya bergetar tapi tegas, tak sudi lagi menahan sakit hatinya.
Tak seorang pun menyadari duel mematikan yang baru saja terjadi di kamar utama Kevin. Aura benturan, suara runtuhan, bahkan getaran spiritual, semuanya terserap habis oleh formasi yang telah ia pasang. Lingkaran formasi itu berkilat samar di lantai marmer, menelan segala bentuk keributan seakan kamar itu hanyalah ruang biasa. Hanya Kevin dan Selene yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.Setelah mengantar Selene ke kamar barunya—kamar kecil di sisi timur Paviliun Drakenis—Kevin kembali menapakkan langkah ke aula utama. Pesta masih bergema, padahal jarum waktu hampir menyentuh tengah malam. Lampu-lampu kristal spiritual masih berkilau, musik lembut dari alat musik tradisi kuno bercampur dengan denting gelas, dan aroma anggur spiritual bercampur dengan dupa yang menenangkan.Namun, begitu Kevin muncul, keheningan kecil seperti bayangan melintas. Beberapa tamu menoleh. Ada yang menunduk dalam hormat, ada pula yang hanya melirik dengan tatapan sulit ditebak.Di sudut aula, Dr
Langkah Kevin terdengar mantap, menghantam lantai batu seperti dentang genderang perang. Selene hampir bisa merasakan getaran setiap pijakannya di tulang rusuknya yang masih sakit. Ia berdiri membeku, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam menusuk kulit.Kevin berhenti tepat di depannya. Tubuhnya sedikit condong ke depan, wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal. Nafas Kevin terasa panas di pipinya. Tatapannya menusuk, seperti bilah pedang yang siap menebas.“Aku tidak pernah melepaskan orang yang berniat membunuhku,” ucapnya, suaranya rendah, berat, seperti guntur yang tertahan. “Tapi aku memberi pengecualian kepadamu… karena aku suka padamu.”Selene terbelalak. Kata-kata itu membuat dadanya berdegup cepat, antara marah, bingung, dan… takut.“Kau bisa menjadi praktisi bela diri yang hebat kalau mengikutiku,” lanjut Kevin. “Atau mati di sini, sekarang.”Ruangan seakan menyempit. Selene masih terdiam, giginya menggertak, mencoba menghitung untung rugi di kepalanya. Ia
Kilatan belati di tangan Selene masih bergetar, memantulkan cahaya lampu kristal yang berada di atasnya. Napasnya patah-patah. Bara dendam menyala di matanya, tetapi wajahnya pucat seperti bulan yang kehabisan cahaya. Di hadapannya, Kevin bersandar di sofa, satu kaki menyilang, tenang—seakan barusan tidak terjadi apa-apa selain angin lewat dan hanya asap rokok yang bergerak pelan.Hening satu detik.Lalu...BRUKK!Selene melesat cepat dari tempatnya. Tubuhnya meluncur bagai anak panah, belati menghujam, membelah udara dengan siulan tajam. Angin kamar terasa tercabik, tirai merah di jendela berkibar liar, dan cairan spiritual dalam ruangan mendesir seperti disedot oleh niat membunuhnya.Kevin memiringkan badan beberapa derajat—hanya itu.KRAKK! Belati menghantam meja kaca di samping sofa, meledakkannya jadi serpihan bening yang berkilau seperti hujan bintang.“Cepat,” gumam Kevin tanpa bangkit, mata tetap tenang seakan tak ada kejadian yang berbahaya, “tapi terlalu terburu-buru.”Selen