Bab Bonus Gems : 1/1 Selesai.
Pagi itu, Paviliun Drakenis masih berbalut sisa-sisa kehancuran. Koridor batu hitam yang biasanya tegak berwibawa kini retak di beberapa bagian, meninggalkan bekas goresan pedang dan ledakan. Lentera-lentera spiritual yang bergelantungan di sepanjang dinding bergetar pelan, memancarkan cahaya biru redup yang dingin dan menyeramkan—kontras dengan terangnya matahari yang sudah meninggi di luar. Cahaya itu memberi kesan seolah paviliun ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sebuah benteng angkuh yang tak sudi dijamah waktu.Derap langkah para penjaga elit terdengar teratur. Mereka berjubah hitam, wajah terbungkus kain, dan senjata panjang berkilat di tangan. Sorot mata mereka tajam, liar, seperti serigala yang siap menerkam siapa pun yang berani melanggar. Bahkan para pelayan yang sedang membersihkan puing-puing tak berani mengangkat kepala terlalu tinggi.Di sudut aula, dua pelayan perempuan menyapu pecahan batu dan kayu yang hancur. Suara sapu bertemu lantai bergaung samar, seseka
Udara malam di Kota Millbrooke—markas besar Organisasi Dokter Spiritual Dunia—selalu beraroma obat-obatan. Puluhan menara berlapis kaca spiritual memantulkan cahaya bintang, dan ribuan tabib serta dokter spiritual sibuk menjalankan penelitian mereka. Tempat itu biasanya dipenuhi ketenangan, seperti kuil yang dijaga disiplin.Namun malam itu, ketenangan diguncang.Suara langkah berat dan seretan tubuh terdengar di gerbang utama. Dua murid penjaga terperanjat ketika melihat sosok yang nyaris tak dikenali. Tubuh penuh luka, wajah lebam, baju compang-camping, dan darah kering di seluruh tubuhnya.“D-Draven?!” salah satu murid berteriak kaget, hampir menjatuhkan tombak spiritualnya.Tubuh Draven diseret ke dalam, matanya setengah terbuka, mulutnya berlumuran darah. Tapi di genggamannya erat-erat ia masih memeluk gulungan ungu bersegel.“Cepat bawa dia ke Balai Medis Utama!” teriak murid lain.Geger pun pecah. Para dokter spiritual senior berhamburan, energi spiritual berwarna hijau dan biru
Udara di dalam paviliun mendadak menegang. Bau darah besi bercampur dengan energi hitam yang pekat, menusuk ke dalam paru-paru setiap orang. Para tetua dan tamu yang menyaksikan kini mulai gemetar, beberapa bahkan sudah berlari menjauh ke sudut ruangan dengan wajah pucat pasi.“Tidak… kalau duel ini berlanjut, paviliun ini akan runtuh!” teriak seorang tetua Paviliun Pedang Angin sambil terhuyung, darah menetes dari hidungnya akibat tekanan energi. Tetua ini masih penasaran dan bertahan di tempat sementara beberapa tetua dan pemimpin paviliun serta sekte lainnya sudah meninggalkan Paviliun Drakenis.“Lihat! Alaric… dia belum kalah!” seru yang lain, menunjuk ke tengah ruangan.Alaric Xarxis, meski tubuhnya terluka parah dan darah hitam menetes membasahi lantai marmer, mendadak mengangkat tangan ke langit-langit. Aura hitamnya berdenyut liar, semakin mengerikan. Bayangan hitam di sekujur tubuhnya merambat ke dinding, menutupi ukiran emas paviliun. Lampu kristal satu per satu pecah dengan
Udara di sekitar Kevin berubah drastis. Bukan lagi hawa membakar dari api neraka sebelumnya, melainkan sesuatu yang lebih murni—dingin, tajam, namun penuh wibawa. Aura pedang yang ia lepaskan berdesir di udara seperti ribuan jarum tipis menusuk kulit, membuat bulu kuduk berdiri bagi siapa pun yang merasakannya.Para tetua paviliun yang menyaksikan langsung merasakan dada mereka terhimpit. Beberapa bahkan terpaksa mundur selangkah, wajah pucat pasi.“Tidak mungkin… dia benar-benar… hendak mengeluarkan teknik itu…!” desah salah seorang, suaranya bergetar, seolah baru saja melihat malapetaka turun dari langit.“Apa yang dia lakukan?!” teriak tetua lain dengan panik, kedua tangannya bergetar menahan tongkatnya agar tidak jatuh. “Aura pedangnya… seperti gunung itu sendiri yang runtuh menimpa kita!”Dan saat itu—Pedang Iblis Surgawi di tangan Kevin meledak dengan cahaya yang tak tertahankan. Sinar emas menyilaukan memancar, menusuk hingga ke sudut-sudut paviliun. Dari kilatan itu, terbentuk
Debu dan asap masih meliuk di udara, bergulung seperti naga kelabu yang enggan menghilang. Paviliun Drakenis yang tadi berkilau megah kini tampak seperti medan perang neraka—lantai marmernya pecah membentuk celah-celah menganga, pilar-pilar marmer rebah tak berdaya, dan lampu kristal berayun liar, memantulkan cahaya kacau ke seluruh ruangan.Para tamu masih di tempatnya. Tak ada yang berani lari, seolah kaki mereka tertancap di lantai. Napas mereka memburu, mata tak berkedip. Mereka tahu ini bukan lagi sekadar duel kehormatan—ini adalah ritual penentuan penguasa, dan mereka adalah saksi yang tak bisa berpaling.Dari balik kabut asap yang menyesakkan dada, siluet Alaric muncul. Tubuhnya tegak, jubahnya berkibar, dan senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum yang dingin, penuh keyakinan. Matanya menyala merah, seperti bara yang siap meledak kapan saja. Bayangan raksasa yang menjulang di belakangnya mengangkat kedua tangan, seakan hendak meremukkan langit dan bumi dalam satu genggaman.“Kevi
Langit-langit Paviliun seakan bergetar saat seratus pedang surgawi melayang di udara, berkilau laksana bintang-bintang emas yang siap jatuh menghantam bumi. Aura tajamnya menusuk tulang, membuat para tamu yang berada di aula menahan napas dengan wajah pucat pasi. Beberapa yang lemah spiritualnya langsung terjatuh berlutut, darah merembes dari telinga mereka hanya karena tertekan oleh niat pedang Kevin.Di sisi lain, Alaric mengangkat tangannya perlahan. Dari tubuhnya menyembur kabut hitam pekat, lalu mencair menjadi ratusan sosok bayangan—prajurit tanpa wajah dengan mata merah menyala. Mereka bergerak senada, seolah tubuh Alaric adalah poros dan mereka hanyalah cerminan kegelapan yang patuh. Suara desisan lirih terdengar dari tiap langkah mereka, seperti ribuan roh lapar yang merintih dalam jeritan sunyi.“Seratus pedang surgawi… melawan seratus pasukan bayangan.” Suara seorang tetua paviliun bergetar, seperti baru saja menyaksikan akhir dunia.“Ini… bukan lagi duel,” bisik yang lain,