Bab Bonus Gems : 1/1 Selesai.
Langkah-langkah Kevin bergema pelan di antara lembah yang porak-poranda. Setiap hentakannya membunyikan tanah yang retak oleh sisa energi pertempuran sebelumnya. Ujung jubahnya yang compang-camping melambai tertiup angin, serupa bendera dari medan perang yang belum usai. Darah mengering di bagian bahunya, namun tatapan matanya tak berubah—tetap dingin, tajam, dan memancarkan ancaman diam yang mematikan.Pedang spiritual di tangannya berdenyut lembut, seperti makhluk hidup yang bernapas bersama nadinya. Warna biru tua dan hitam pada bilahnya tampak seperti pusaran badai malam—sebuah simbol bahwa kekuatan darah naga telah sepenuhnya menyatu dengan kehendak spiritualnya. Dalam diam, pedang itu berdesir, seolah siap melumat siapa pun yang berani menghalangi jalannya.Dari balik kabut tipis, suara langkah lain menggema. Sosok Raijin muncul, tinggi menjulang dengan tubuh yang dibalut baju zirah keperakan yang menyala oleh listrik hidup. Aura petir menari di sekujur kulitnya, dan matanya men
Suara berat dan bergema memecah keheningan, seperti gelegar guntur dari lembah yang dalam.“Pertanda langit seperti itu…” gumam Kurozan, berdiri di belakang mereka, suaranya dalam dan bergetar oleh sesuatu yang tak hanya ketakutan, tapi juga rasa hormat. “Terakhir kali aku melihatnya... saat Perang Seribu Jiwa. Tapi kali ini…” Ia menghela napas pelan, sorot matanya tajam mengarah pada sosok yang berdiri tegak di depan. “Pertanda itu turun untukmu, Kevin.”Langit di atas mereka bagaikan lukisan yang robek—gumpalan awan gelap saling bertabrakan dari dua arah berbeda, membentuk pusaran kolosal yang menyala dengan kilatan petir merah keemasan. Angin meraung seperti makhluk kuno yang baru saja dibangkitkan, meniupkan debu dan serpihan batu dari tanah yang mulai retak.Namun Kevin tidak bergeming.Tatapannya tajam menembus cakrawala yang mengamuk, seakan menantang para dewa dan iblis yang bersembunyi di balik badai. Napasnya tertahan sejenak, lalu mengalir keluar dengan berat—seperti uap da
Angin dingin menyisir lembah, membawa aroma logam dan kehampaan. Reruntuhan perkemahan di Lembah Surgawi kini tak lebih dari tumpukan debu, tiang-tiang kayu patah, dan kain robek yang melambai seperti bendera perang yang dikoyak sejarah. Di tengah kehancuran itulah mereka bertiga berada—Kevin, Valkyrie, dan Kurozan—bertahan di antara sisa-sisa badai yang hampir merenggut nyawa mereka.Valkyrie duduk bersila di atas batu datar yang masih menghangat oleh jejak spiritualnya. Es tipis menempel di lengan dan bahunya, mengilap dalam cahaya senja seperti sisik naga yang retak. Nafasnya berat dan berembun, tapi sorot matanya masih tajam, menembus gelapnya masa depan yang menunggu.“Kau tahu kita tak bisa tinggal di sini lebih lama, Tuan Muda...” katanya pelan, namun tegas. Suaranya serak, bercampur rasa nyeri dan keyakinan. “Tanah ini... sedang menghisap kita. Qi di sekitarnya tidak lagi netral. Seolah setiap napas yang kita hirup ingin menelan jiwa kita.”Kevin tak menjawab langsung. Ia berd
Sosok muda Sekte Alkimia Darah ini merupakan satu-satunya pewaris yang tersisa dari Patriark Darah—pemimpin sekte terkutuk itu yang pernah mencoba menggulingkan hukum langit, sebelum akhirnya tubuhnya hangus dibakar oleh api surgawi dalam ritual penyucian yang dikenal dalam sejarah sebagai "Malam Penyembelihan Merah."Murid itu kini berdiri diam di hadapan kuali raksasa berisi cairan merah yang mendidih dan terus menguarkan bau amis menyengat. Kulit tangannya penuh guratan aneh—garis-garis alkimia bercahaya samar yang tertanam langsung ke dalam daging, bukan tinta atau besi, tapi darah dan mantra.Tubuhnya kurus, pucat, nyaris seperti mayat hidup, tapi dari balik kerentanan fisik itu, tersembunyi kekuatan yang memelintir dan mengerut seperti makhluk buas yang lapar akan balas dendam.Dan pada malam itulah… langit di atas sekte mereka retak.Bukan retakan biasa, tapi robekan hitam menganga seperti luka di wajah semesta. Awan menggulung, berputar seperti pusaran hitam raksasa. Petir meny
Di tempat lain, jauh di utara, berdiri sebuah gunung hitam menjulang. Permukaannya retak, mengeluarkan asap merah dari celah-celah cadas. Di puncaknya, ritual kuno tengah berlangsung—lingkaran simbol darah dan api melingkupi tubuh-tubuh yang melayang setengah sadar.Sekte Pemakan Roh. Para pengikut sekte bertudung dan bertopeng tengkorak duduk melingkar, mulut mereka terus melafalkan mantra pemecah jiwa. Namun tiba-tiba, suara mereka berhenti—seolah alam sendiri menyuruh mereka diam.Seorang tetua yang duduk di tengah lingkaran perlahan membuka kelopak matanya—yang ternyata dijahit dengan benang merah. Luka-luka itu tidak pernah sembuh. Tapi di balik jahitan yang mulai terlepas, mata pucatnya bersinar seperti bara dalam kegelapan.Dan ia tertawa. Pelan. Retak. Darah merembes dari sela jahitan, menetes ke lantai batu.“Kami akan menyantap jiwamu… Pewaris Dewa…” ucapnya dengan suara penuh haus dan dendam.Tawanya makin keras. Angin di sekitar mereka menggila, dan di kejauhan, roh-r
Tak perlu waktu lama setelah pertemuan kelam di bawah tanah itu. Setelah kata "bunuh" terlontar dari mulut sang pemimpin yang suaranya seperti retakan petir dalam ruang batu, takdir mulai bergerak seperti gigi roda neraka yang berputar pelan namun pasti. Dalam hitungan jam, dua Kontrak Darah dilepaskan dari altar terlarang—dan dunia pun mulai bergeser.Namun ini bukan sekadar perintah pembunuhan biasa. Ini adalah kutukan spiritual yang dikirim lewat saluran yang tak terlihat—dibawa angin yang tidak bisa diukur, menyusup lewat celah bebatuan kuno, dan berbisik ke telinga roh-roh yang bahkan telah lama mati. Ia meresap ke dalam dunia, bagai kabut yang membawa racun tak berbentuk.Darah sebagai sumpah. Nama sebagai umpan. Hadiah sebagai racun.Dua gulungan merah tua diletakkan di atas altar obsidian yang penuh dengan simbol-simbol gelap berkilau merah seperti bara. Gulungan itu tampak hidup—urat-urat hitam menjalar di permukaannya, berdenyut seperti nadi yang bernyawa. Ketika gulungan i