Bab pertama hari ini ... Bab utama : 1/3.
Di lereng altar yang retak dan dipenuhi bau besi darah, Kevin berdiri di antara delapan cultivator inti Sekte Angin Neraka. Aura mereka menyatu, membentuk pusaran energi iblis yang membuat udara bergetar—namun Kevin tetap diam. Tidak ada keraguan di sorot matanya. Hanya kesunyian dingin dari seseorang yang telah menyeberangi batas manusia.Jubah hitamnya berkibar pelan di bawah hembusan angin qi. Di tangannya, King of Darkness berdenyut pelan, seolah hidup dan lapar. Ujung pedangnya tidak sekadar menggores udara, melainkan menyedot cahaya, menciptakan bekas kelam yang membekas di realitas itu sendiri.Salah satu musuhnya, seorang cultivator bertopeng perak, mengangkat tangannya dan berseru, “Formasi Penyegel Naga! Aktifkan sekarang!”Tapi Kevin sudah bergerak.WUUUSHH!!Pedangnya melintas—tidak hanya memotong udara, tetapi mengiris dimensi. Sebuah kilatan hitam menyapu langit, dan...BOOOMMMM!!!Setengah bukit di belakang mereka meledak. Batuan raksasa terangkat lalu hancur seperti ka
Langkah Celestine terdengar jelas meski tanah retak di bawahnya terus menggeram seolah menolak kehadirannya. Sepatu peraknya menginjak puing-puing altar yang mulai runtuh. Aura langit berkumpul di sekitarnya, meliuk seperti angin surgawi yang marah. Di matanya, tak hanya ada amarah, tapi juga keteguhan—teguh seperti kilat yang tahu tepat di mana ia akan menyambar.Ia menunjuk altar pemanggilan iblis yang berdenyut merah seperti luka yang belum sembuh. Di balik kabut qi gelap yang menggantung tebal di udara, sosok seorang gadis tampak mengambang dalam kapsul kristal iblis. Rantai qi hitam membelit tubuhnya seperti ular lapar. Meskipun matanya tertutup, auranya yang murni memancar, seakan berteriak meminta pertolongan dalam kesunyian.“Kau mencuri jiwa-jiwa suci dari Gerbang Barat, Zherana,” suara Celestine terdengar tajam, membelah udara seperti bilah petir. “Kau ubah mereka menjadi roh pendendam... budak kebencian. Dan sekarang... bahkan jiwa murni itu kau ikat di altar neraka ini?”Z
Pulau Neraka — Tengah MalamLangit di atas Pulau Neraka tidak pernah mengizinkan cahaya menembus permukaannya. Seolah-olah seluruh dunia telah melupakan tempat ini. Kabut abadi membalut daratan, pekat dan dingin, seakan napas kematian itu sendiri. Awan berwarna ungu gelap berputar perlahan, seperti asap dupa yang menyembur dari altar dunia bawah, menari dalam keheningan yang menyesakkan.Lautan di sekelilingnya tidak bergelombang biasa—ia mendidih, bergolak dalam bisikan qi terkutuk yang mengalir seperti racun ke seluruh penjuru dimensi. Setiap riaknya membawa aroma busuk dari darah dan abu, seperti jeritan jiwa-jiwa yang tak kunjung menemukan damai.Di tengah pulau, di atas dataran retak yang dikelilingi jurang api, berdiri sebuah altar iblis. Tidak terbuat dari batu biasa, tapi dari jaringan urat qi yang menggeliat—hidup, berdenyut seperti jantung raksasa. Merah menyala, seolah sedang memompa kehancuran ke dalam bumi.Namun malam ini... tanah kutukan itu akan berguncang.SRAAAAKKKKK
Beberapa Hari Kemudian – Pulau Neraka, Lokasi RahasiaLangit di atas Pulau Neraka bukan lagi langit yang dikenali dunia. Warnanya kelabu tua, diselingi semburat ungu gelap yang berputar-putar seperti kabut hidup, mengalir melalui celah-celah batuan hitam yang kasar dan tajam seperti gigi iblis. Asap beracun merayap pelan di sepanjang lereng, menyelimuti daratan dengan aroma belerang dan darah hangus.Suara jeritan terdengar samar dari dalam gua-gua bawah tanah—bukan jeritan makhluk biasa, melainkan pekik jiwa-jiwa yang terkunci antara hidup dan mati. Gema itu memantul di dinding lembab, menjelma menjadi desahan setan yang mengguncang jiwa siapa pun yang cukup bodoh untuk mendekat.Di jantung pulau ini, tersembunyi dalam lipatan dimensi terlarang, berdiri sebuah struktur iblis: Katedral Kegelapan. Pilar-pilar obsidian menjulang melintasi langit buatan, dipenuhi simbol kutukan dan tulisan kuno yang bersinar merah darah.Di tengah aula utama, di atas singgasana kristal iblis yang tampak
Pelataran Utama Kota DewaAngin berembus pelan namun menusuk, membawa debu dan bau darah yang belum juga hilang dari tanah suci itu. Di tengah keheningan yang mencekam, suara langkah tua terdengar—tenang, namun mengandung wibawa yang dalam.Elder Vashir melangkah maju. Jubahnya yang berwarna kelabu laut berkibar lembut di balik aura spiritualnya yang tenang seperti kabut pagi. Tangan kanannya terangkat perlahan, telapak terbuka seolah menepis ketegangan yang menggantung di antara para tetua dan Arkantra Drago.“Kami tidak datang untuk menantangmu, Arkantra Drago,” suaranya berat dan serak, namun terdengar jelas hingga ke sudut terjauh pelataran yang retak. “Kami datang untuk mendengar... syaratmu.”Seketika suasana menjadi beku. Bahkan angin pun seperti enggan berdesir. Semua mata tertuju pada satu titik: sosok bertopeng dengan jubah hitam legam yang duduk santai di atas singgasana batu retak, sebatang rokok menyala di ujung jarinya.Kevin tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke de
Kota Dewa, Dua Hari Setelah Pertempuran BesarLangit Kota Dewa tampak suram, seolah masih meratapi luka yang belum sempat mengering. Gumpalan kabut abu bercampur sisa qi terbakar menggantung rendah, menutup cahaya mentari yang mencoba menembus reruntuhan. Bau logam darah yang meresap ke tanah bercampur dengan aroma hangus dari menara-menara spiritual yang runtuh, menciptakan campuran bau yang menusuk dan mencekik.Burung-burung qi—yang dulunya berputar megah di atas altar suci—kini terbang rendah sambil mengeluarkan suara nyaring, seperti pekikan duka yang menusuk relung hati. Suara mereka bersaing dengan desir angin yang menyapu puing, memantulkan gema kenangan dari pekikan, ledakan, dan teriakan yang masih tertinggal dalam udara.Pelataran utama yang dulunya bersinar dalam aura spiritual kini menjadi panggung luka dan kehancuran. Retakan besar membelah ubin suci yang dahulu dilintasi para tetua sekte dengan khidmat. Pilar-pilar agung—simbol kekuatan, keabadian, dan perjanjian damai—