Bab Utama : 1/2 Bab Bonus : 0/1 Bab Extra : - Bab Hadiah : - Selamat siang ... Maaf, Author agak telat rilis bab karena ada urusan kerjaan ... Diusahakan ada Bab Extra Malam ini ya ...
Dengan satu gerakan cepat, ia menelan pil itu.Tubuhnya menegang.Lalu... bergetar.Ledakan aura spiritual memancar dari seluruh pori-porinya. Tekanan dari dalam tubuhnya menciptakan gelombang energi yang meretakkan lantai, menghancurkan tiang-tiang kecil di sekitarnya seperti disambar petir dari langit. Aura biru membumbung seperti kobaran api surgawi.Cindy tersentak ke belakang, menutup wajah dari cahaya menyilaukan yang mendadak meledak dari tubuh Kevin.“Kau... benar-benar menelan itu?” gumam Cindy, ekspresinya berubah untuk pertama kalinya—dari angkuh menjadi waspada.Kevin mengangkat pedangnya. Cahaya biru kini menyala seperti bintang jatuh, berdenyut dengan intensitas yang tidak manusiawi.“Aku tidak perlu rumah untuk menang,” ucap Kevin pelan, namun penuh taji.“Aku hanya butuh satu tebasan tepat ... untuk membuatmu diam.”Lalu ia melompat.Tubuhnya menembus udara, meninggalkan jejak cahaya biru yang mengoyak ruang seperti komet surgawi yang jatuh ke bumi. Seluruh kekuatan, s
CLINK! CLINK! CLINK!Tiga jarum mental. Dua lainnya berhasil diredam oleh tebasan presisi Kevin yang nyaris mustahil dilakukan manusia biasa. Tapi satu ...“ARGH!” Satu jarum menancap ke bahu kirinya, menembus daging dan masuk ke aliran darah. Kevin menggertakkan gigi. Keringat dingin mengalir di pelipis. Racun itu bergerak cepat, seperti makhluk hidup yang tahu ke mana harus pergi—menyusuri jalur-jalur Qi, mencoba memutus koneksi spiritualnya dari dalam.“Terlambat ...” Suara Cindy muncul dari belakangnya, seperti bisikan setan di telinga. “Racun itu ... tidak akan membunuhmu. Tapi cukup untuk membuatmu sadar ... bahwa rasa takut itu nyata. Kau bukan dewa, Kevin. Kau bisa hancur seperti yang lain.”Kevin menyeringai, darah menetes dari luka di bahunya, menodai lantai obsidian.“Cih! Racunmu tidak akan mempan padaku,” sahutnya tajam. “Aku sudah mencicipi racun kehidupan sejak kecil. Yang kau berikan? Hanya rasa pahit kecil yang menggelitik lidah.”Dalam satu gerakan memutar yang ny
Kabut kehijauan menggantung pekat di udara, bergerak perlahan seperti makhluk hidup yang mengintai dari sela-sela bayangan. Di dalam ruangan berdinding batu obsidian itu, hawa menjadi berat, seolah dunia sedang menahan napas. Bau logam dan getah menyengat hidung—campuran racun dan kematian yang tak bisa dilihat mata telanjang, tapi bisa dirasakan langsung ke tulang belakang.Setiap tarikan napas adalah perjuangan. Seperti meneguk ribuan jarum halus yang menyelinap ke paru-paru dan menari liar di dalam, menyayat pelan tapi pasti. Qi Kevin tidak lagi mengalir seperti biasa. Ia bisa merasakannya—aliran energi spiritualnya tertahan, seperti sungai yang dibendung oleh racun tak kasatmata.Tubuhnya goyah, satu langkah mundur diambilnya dengan terpaksa. Luka di lambungnya, yang sebelumnya hanya berdenyut samar, kini terasa seperti bara api yang menempel langsung di organ dalam. Napasnya terengah. Tapi mata itu—mata seorang praktisi bela diri yang telah berkali-kali menantang kematian—tetap m
Wanita itu menyeringai lebar, dan kali ini, ia tidak lagi repot-repot menyembunyikan rasa bangga yang membara di balik senyumnya. Cahaya dari kristal spiritual yang menggantung di langit-langit memantul di matanya, menambah kesan gila namun indah pada wajahnya yang nyaris terlalu sempurna untuk dipercaya.“Akhirnya kau sadar juga,” ucapnya pelan, dengan suara yang meluncur seperti beludru namun menyimpan bilah tersembunyi di balik tiap katanya. “Semua orang bodoh di luar sana ... selalu mengira bahwa Iblis Racun Hati dan Black Widow adalah sosok yang sama.”Ia tertawa kecil, ringan, seperti suara bel yang retak. Kepalanya bergeleng perlahan seolah sedang menyayangkan kebodohan dunia.“Padahal kami ... dua jiwa yang berbeda. Dua sisi dari racun yang sama. Raisa dan aku.”Nama itu menghantam dada Kevin seperti petir yang menyambar dari langit gelap. Ia mengepalkan tangannya, kuku-kukunya nyaris menembus kulit. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tubuhnya belum sepenuh
Langkah Kevin terhuyung. Nafasnya terengah-engah, seolah paru-parunya terbakar oleh energi yang tadi ia paksa keluarkan di pertarungan melawan Raisa Aleta. Tubuhnya basah oleh keringat dan bercak darah, sebagian miliknya, sebagian milik makhluk racun yang telah ia hancurkan.The Widow’s Nest—dimensi mematikan yang dipenuhi racun, ilusi, dan jebakan itu—telah menghilang bersama sosok Raisa. Tidak ada ledakan. Tidak ada kilatan cahaya. Hanya senyap, seakan ruang itu tak pernah ada.Kini, hanya kesunyian yang tersisa.Kevin berdiri tegak, sendirian, di tengah aula megah Menara Sembilan Bayangan. Cahaya ungu samar menari-nari di antara dinding batu hitam, seperti bayangan arwah yang terus mengawasi. Di sekelilingnya, ratusan penjaga menara berdiri dalam formasi melingkar. Mereka tak bergerak, tapi ketegangan di udara begitu nyata—siap membunuh dalam satu isyarat.Langkah sepatu hak tinggi menggema.PLOK ... PLOK ... PLOK ...Suara itu lembut tapi menusuk. Muncul dari sisi ruangan, seorang
Raisa tidak panik—tapi juga tidak tersenyum. Ia melompat mundur, tubuhnya meliuk bagai kelopak bunga yang diterpa badai, gesit dan anggun, namun tidak cukup cepat.SHUUUTT! Ujung roknya terbelah, dan dari bahunya mengucur darah segar, menetes cepat ke lantai yang retak.Raisa mencibir. Ia menyeka bahunya tanpa ekspresi, tapi mulutnya menyeringai dingin. Lalu, ia meludah—bukan darah, tapi cairan hitam berbuih yang menguarkan aroma racun dan besi panas.Cairan itu jatuh ke tanah dan menggeliat. Dalam sekejap, ia membentuk tubuh—makhluk setengah manusia setengah serangga dengan kulit mengkilap seperti eksoskeleton kumbang, mata majemuk menyala hijau, dan tangan yang berakhir pada cakar beracun.“VENOM INCARNATE!!” teriak Raisa, nadanya penuh kekuasaan, seolah memanggil entitas dari dasar neraka.Makhluk itu mengerang, lalu menyembur maju ke arah Kevin. Cakarnya menggores udara, meninggalkan jejak racun yang mendesis di udara, memenuhi ruangan dengan bau belerang dan kematian.Kevin menyi
Kevin berdiri tegak, tubuhnya seperti pilar baja di tengah badai racun. Di tangannya, Pedang Iblis Suci berdenyut dengan aura yang tidak hanya gelap—tetapi juga bercahaya ungu menyala, seperti nyala amarah dari dunia lain. Aura itu merayap di udara, membentuk pusaran samar yang menolak kabut dan kegelapan, seolah medan perang itu sendiri enggan mendekatinya.Saat jemarinya menggenggam gagang pedang lebih erat, sebuah getaran menyusup dari logam ke tulang-tulangnya. Bukan hanya getaran fisik—tapi bisikan, gambaran, dan kilasan teknik bertarung yang asing namun terasa akrab. Mereka mengalir deras ke dalam pikirannya, seolah roh pedang itu sendiri sedang menuangkan warisan kekuatannya langsung ke kesadaran Kevin."Gunakan aku sesukamu … dan belahlah langit serta neraka."Suara itu tidak lantang, tapi menggema seperti gaung dari kedalaman kekosongan. Dingin, namun memabukkan. Roh Pedang Iblis Suci mulai bangkit.Mata Kevin menyala, seberkas cahaya menyala di pupilnya seperti bara ungu yang
Tiba-tiba lantai bergetar, disertai dengungan rendah seperti suara ratusan roh menggumamkan mantra. Lilin-lilin di udara meledak menjadi nyala ungu menyilaukan, serpihan energinya membentuk pola spiral yang turun ke tanah, menguak lantai rahasia yang tersembunyi di tengah menara.Simbol-simbol roh mulai menjalar dari dinding, membentuk formasi aneh yang tampak hidup—bergerak perlahan seperti makhluk kuno yang baru dibangunkan dari tidur panjangnya. Aroma dupa hitam menyusup ke udara, pekat, panas, dan menusuk, seakan membakar hidung dan memicu halusinasi.Raisa melayang, tubuhnya terangkat oleh energi tak kasatmata. Ia melayang di atas arena yang kini menyala dengan cahaya ungu lembayung, senyumnya berubah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi."Selamat datang di The Widow’s Nest, Kevin," bisiknya dengan nada hampir seperti nyanyian pemakaman. "Di sinilah para lelaki tangguh datang ... dan menjadi abu. Mari kita lihat seberapa kuat tekadmu."Kevin tak menjawab. Ia mengangkat tangan, dan
Di puncak Menara Sembilan Bayangan, udara terasa berbeda—lebih pekat, lebih dingin, lebih berbisik. Di tengah ruangan yang dilingkupi bayangan yang tak sepenuhnya berasal dari cahaya atau kegelapan, berdiri sebuah singgasana kristal yang memantulkan warna-warna lembayung dan hitam, seperti malam yang tertangkap dalam es.Raisa Aleta duduk di sana, anggun seperti bayangan yang sedang bermimpi. Sekelilingnya, sembilan lilin ungu melayang di udara, nyalanya menari pelan tanpa tersentuh angin. Cahaya yang mereka pancarkan membentuk pola formasi spiritual, rumit dan menghipnotis—seperti jaring laba-laba yang dibuat oleh dewa, indah tapi mematikan. Garis-garis halus energi itu terhubung ke lantai, dinding, bahkan udara—menyusun perangkap diam yang hanya bisa dilihat oleh mata yang terlatih.Gaun Raisa memeluk tubuhnya seperti lautan malam, berkilau halus seperti serpihan bintang yang ditenun menjadi kain. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi kristal merah tua—bukan sekadar permata, tapi pecahan