Seperti yang sudah diperkirakan, perjalanan menuju Gurun Hadarac memakan waktu lebih dari satu minggu. Rong Tian hanya terdiam sepanjang perjalanan. Bagaimana mungkin dia bisa berbicara?
Setiap kali mencoba mengemukakan pendapatnya, bukan hanya tamparan yang diterimanya, tetapi juga pukulan-pukulan keras yang membuat tubuhnya remuk.
Akibatnya, wajahnya babak belur. Matanya bengkak, dan seluruh tubuhnya dipenuhi memar kebiruan. Kondisinya sungguh menyiksa.
Ditambah lagi, tangannya diikat ke belakang, dan kakinya pun tak bisa bergerak bebas.
“Tuan... aku lapar,” gumam Rong Tian dengan suara parau. Mulutnya terasa kaku, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk berbicara dengan jelas.
“Haha, kamu lapar? Anjing hina seperti kamu tak pantas menikmati makanan enak!” ejek salah satu pria berbaju hitam.
Dengan gerakan kasar, dia melempar sepotong roti kukus yang sudah mengeras ke arah Rong Tian.
Tawa riuh pun meledak di antara kawan-kawannya.
Tak ada sedikit pun rasa iba saat mereka menyaksikan Rong Tian berusaha menyantap roti itu dengan mulutnya, karena tangannya terikat erat. Roti yang hampir basi itu harus dia kunyah dan telan tanpa bantuan air, membuat tenggorokannya terasa seperti terbakar.
Meski tubuhnya hancur dan jiwanya tertekan, ada satu harapan yang terus menyala di hati Rong Tian.
“Aku tak boleh mati. Sekeras apa pun penderitaan ini, aku harus bertahan,” tekadnya membara. Dia terus mengunyah roti keras itu, sesekali melirik ke arah tiga sosok berbaju hitam. Wajah mereka dihafalnya dengan seksama, setiap garis dan ekspresi yang terpancar dari mata mereka.
“Kelak, jika ada kesempatan, aku akan membalas semua ini,” batinnya bergolak, sambil terus menyantap roti itu dengan gigih.
Tiba-tiba, salah satu pria yang wajahnya dihiasi bekas luka bacokan senjata tajam bersuara. “Bocah lemah, kenapa kau mengintip kami? Apa kau berniat membalas dendam?”
Saat berbicara, pria berwajah bacokan itu mencabut belatinya dengan gerakan cepat.
Namun, pemimpin kelompok baju hitam segera menghalanginya. “Biarkan saja. Apa kau pikir dia bisa bertahan hidup di Gurun Hadarac?”
“Coba kau pikir, dalam seratus tahun terakhir, siapa yang pernah selamat dari tempat itu?” ujar pemimpin itu dengan nada tenang, mencoba meredakan amarah kawannya.
Si wajah bekas bacokan itu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Pemimpin itu melanjutkan, “Lihat saja nanti. Begitu kita tiba di Gurun Hadarac, serigala-serigala kelaparan pasti sudah menunggu. Kemungkinan dia bertahan hidup hanya satu persen. Sisanya? Mati mengenaskan.”
Rong Tian menggigil mendengar percakapan itu.
Hatinya berdesir ketakutan, tetapi tekadnya tak goyah. Dia tahu, Gurun Hadarac adalah tempat yang kejam, tapi dia juga tahu bahwa hanya dengan bertahan, dia bisa membalas semua ini suatu hari nanti.
Kusir yang mengendarai kereta itu tertawa keras, menambahkan, “Aku tak sabar melihat anak ini jadi santapan serigala!”
Setelah beberapa hari perjalanan yang melelahkan, tubuh Rong Tian terasa kaku dan sakit akibat guncangan kereta yang tak henti-hentinya. Kelompok itu akhirnya tiba di tujuan pada malam hari. Waktu kira-kira setara dengan kentongan pertama, atau sekitar pukul 23.00 hingga 01.00.
Angin gurun berdesir, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Suhu turun hingga minus dua derajat, membuat udara terasa seperti pisau yang mengiris kulit. Suara lolongan serigala terdengar dari kejauhan, namun kereta masih terus melaju, meski perlahan. Roda kereta bergerak berat di atas pasir, membuat langkah kuda menjadi lambat dan terasa berat.
“Mengapa belum berhenti?” Rong Tian bertanya-tanya dalam hati. Suara lolongan serigala semakin jelas, seolah-olah binatang buas itu sudah menunggu di depan mata.
Ekspresi kebingungan di wajah Rong Tian memancing si wajah codet untuk berkomentar. “Bocah miskin, jangan kira kau akan dilepas di pinggiran gurun! Ini bukan seperti yang kau bayangkan!”
Si codet tertawa terbahak-bahak, puas melihat ketakutan dan kebingungan yang terpancar dari wajah Rong Tian. Rong Tian sendiri merasa bingung. Dia tidak mengenal si codet dan kawan-kawannya. “Mengapa mereka begitu membenciku?” pikirnya.
Tiba-tiba, kereta berhenti. Suara lolongan serigala terdengar semakin dekat, seolah-olah mereka sudah dikelilingi oleh binatang buas itu. Dari arah depan, sang kusir berteriak keras, “Kawan... kita sudah tiba di Abyss of Suffering!”
“Ayo, keluarkan bocah itu!” perintahnya.
Mendengar nama ‘Abyss of Suffering’, Rong Tian menggigil. Tempat itu dikenal juga sebagai Kunan Shenyuan, atau Jurang Kesengsaraan. Ini adalah lokasi pembuangan paling mengerikan di seluruh gurun.
Semua penjahat besar, orang-orang terhina, dan mereka yang dianggap tak layak hidup di dunia, dibuang ke sini. Tak ada catatan tentang siapa pun yang pernah selamat setelah dibuang ke jurang ini.
Rong Tian meronta ketika dia diseret keluar dari kereta oleh si wajah codet. “Jangan buang aku ke Jurang Kesengsaraan ini.”
“Aku dan kalian tidak punya masalah. Bahkan tak saling mengenal... Tolonglah,” suara Rong Tian terdengar serak. Ekspresinya gelap, namun dia menahan diri untuk tidak menangis. Menunjukkan air mata bukanlah sifatnya.
Si wajah codet tertawa keras. “Kenapa baru sekarang kau berpikir akan dibuang ke Abyss of Suffering? Kau terlambat meminta belas kasihan!” Dia menampar pipi Rong Tian dengan keras, membuat pandangan anak itu menjadi gelap sejenak.
Meski tubuhnya sudah hancur dan jiwanya tertekan, ketika dia dibawa ke ujung tebing, siap dilemparkan ke bawah, tak ada air mata yang menetes.
“Tuan... Jangan buang aku ke neraka di bawah,” pinta Rong Tian. Seharusnya dia menangis, tapi tidak.
Orang-orang berbaju hitam itu bukanlah pemula dalam hal kejahatan. Mereka telah berkali-kali membuang musuh ke Jurang Kesengsaraan ini. Semua korban mereka selalu menangis, memohon belas kasihan.
Namun, sikap Rong Tian berbeda. Dia tetap teguh, meski di ambang kematian.
Melihat ketabahan Rong Tian, si wajah codet semakin geram.
Dia lalu berinisiatif melakukan sesuatu. “Pemimpin, ijinkan aku merusak inti mutiara bocah ini. Selama di kereta, aku melihat sorot matanya penuh dendam. Ini adalah tindakan perlindungan. Kalau-kalau dia beruntung dan selamat, dia tak akan bisa berkultivasi dan membalas dendam!”
Di antara tiupan angin malam yang membuat rambut pemimpin kelompok berkibar, pria itu mengangguk setuju. “Lakukan saja. Toh dia akan mati! Kalaupun hidup, dia akan sengsara seumur hidupnya!”
Ekspresi si codet berubah gembira. Dengan cepat, dia menghimpun Qi di tangannya, lalu menyentuh pusaran tempat inti mutiara seseorang berada. PANG! Dengan paksa, dia menghancurkan inti mutiara Rong Tian.
Rong Tian merasakan sakit yang tak terkatakan. Dia menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak berteriak. Dia tak ingin menunjukkan rasa sakitnya.
“Buang dia!” perintah pemimpin kelompok.
Ketiga anak buahnya mendorong Rong Tian, dan tubuhnya terjatuh ke dalam jurang yang dikenal sebagai The Abyss of Suffering.
Lima nafas berlalu, dan keadaan di bawah sana menjadi ribut. Suara lolongan serigala terdengar, seolah-olah mereka sedang bersiap untuk berpesta.
“Mari kita pergi...” ajak pemimpin kelompok itu. Mereka menghilang dengan cepat, jejak roda kereta tersapu angin yang membawa pasir Gurun Hadarac menutupi segala jejak.
Angin malam semakin kencang, pasir beterbangan di udara. Malam itu adalah malam yang mengerikan. Pertanyaan besar menggantung di udara: Bagaimana nasib Rong Tian?
Bersambung
Lin Xiaoyu membungkuk hormat."Yang Mulia, ini adalah Tuan Rong Tian, seorang teman yang kami temui dalam perjalanan ke Daqi. Dia sangat membantu kami menghadapi kesulitan di jalan."Xiao Yunhai mengamati Rong Tian dengan tatapan menilai.Matanya yang tajam seperti elang menyapu sosok pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, mencari tanda-tanda kultivasi atau kekuatan tersembunyi. Namun yang ia temukan hanyalah seorang pemuda biasa tanpa aura kultivasi yang berarti."Ah, seorang... teman perjalanan," ujar Xiao Yunhai dengan nada yang sedikit merendahkan. Senyum di wajahnya berubah menjadi seringai tipis yang hampir tak terlihat."Sungguh mulia dari Sekte Hua San untuk membantu orang awam dalam perjalanan mereka."Rong Tian membungkuk sopan, wajahnya tetap tenang tanpa menunjukkan emosi apapun. "Suatu kehormatan bertemu dengan Yang Mulia Pangeran Mahkota," ucapnya dengan suara datar.Xiao Yunhai hanya mengangguk singkat sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada para kultivat
Para kultivator sekte ortodoks menegakkan tubuh mereka, wajah-wajah mereka menunjukkan kekaguman dan rasa hormat.Xiao Yunhai, yang dijuluki "Sang Lautan Awan" karena kebijaksanaan dan ketenangan yang menyerupai lautan tak bertepi, adalah sosok yang dihormati bukan hanya karena darah kerajaan yang mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga karena kemampuan kultivasi yang dikatakan luar biasa.Pandangan Pangeran Mahkota terhenti pada sosok Wu Lishan yang masih gemetar, wajahnya menunjukkan ketertarikan."Apa yang terjadi dengan murid Sekte Wudang ini?"Jiang Feng membungkuk dalam. "Yang Mulia, rekan saya tiba-tiba diserang oleh... sesuatu yang tidak terlihat. Kami menduga ini adalah ulah teknik iblis."Xiao Yunhai mengangguk pelan, matanya menyipit penuh perhitungan.Tanpa kata, ia melangkah mendekati Wu Lishan. Tangannya yang panjang dan ramping terangkat, jari telunjuk dan jari tengahnya mengarah ke punggung Wu Lishan."Jimat Pemanggil Hantu Kecil," gumamnya. "Teknik dasar namun efektif ji
Hantu kecil transparan di punggung Wu Lishan terus tertawa dengan suara melengking yang hanya terdengar oleh Rong Tian.Tawa itu bergema dalam benaknya seperti lonceng perak yang ditiup angin musim dingin.Para kultivator dari delapan sekte besar masih terpaku menyaksikan Wu Lishan yang meronta di lantai, tubuhnya menggeliat seperti ikan yang terlempar ke daratan."Tolong! Ada sesuatu di punggungku!" Wu Lishan berteriak, matanya membelalak lebar dengan ketakutan yang nyata. Keringat dingin mengalir dari dahinya, membasahi jubah putihnya yang kini ternoda debu lantai restoran.Jiang Feng dari Sekte Wudang bergegas mendekati rekannya, tangannya bergerak cepat membentuk segel, mencoba mendeteksi energi asing."Tidak ada apa-apa di punggungmu, Wu Lishan! Kendalikan dirimu!"Namun Wu Lishan terus meronta, wajahnya pucat pasi seperti kertas yang belum ditulisi. "Aku merasakannya! Ada yang menarik-narik punggungku! Dingin... sangat dingin!"Bhiksu Hui Zhen dan Fa Ming dari Biara Teratai Pera
"Zombie?" Jiang Feng dari Sekte Wudang tertawa keras."Kau terlalu banyak mendengar cerita rakyat, Nona Lin. Tidak ada yang namanya zombie di dunia nyata.""Itu pasti hanya kultivator lain yang menggunakan teknik ilusi untuk menakut-nakuti kalian," tambah Li Tian dari Sekte Khong Tong. "Atau mungkin kalian terlalu lelah dan berhalusinasi."Wu Lishan, yang paling arogan di antara mereka, mendengus keras."Aliran iblis dan ilmu-ilmu sesat hanyalah omong kosong yang dibesar-besarkan.” Tidak ada yang bisa menandingi kekuatan aliran ortodoks, terutama Sekte Wudang. Jika memang ada kultivator iblis sekuat itu, mengapa mereka tidak pernah berani menampakkan diri di hadapan Sekte Wudang?"Zhao Jingyi, yang biasanya tenang, kini tidak bisa menyembunyikan kemarahannya."Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri! Makhluk itu nyata, dan kekuatannya melampaui apa pun yang pernah kami lihat sebelumnya!""Tentu saja," Wu Lishan tersenyum mengejek. "Dan aku baru saja minum teh dengan Kaisar Jade ke
Terakhir, Sekte Bulan Perak mengirim Chen Yun dan Bai Lihua, satu-satunya pasangan pria-wanita dalam kelompok. Mereka mengenakan jubah putih-perak dengan sulaman bulan sabit, mencerminkan kedekatan sekte mereka dengan kekaisaran.Suasana di ruangan itu formal namun santai.Para kultivator muda berbincang satu sama lain, membicarakan berita terbaru dari sekte masing-masing atau gosip tentang dunia persilatan.Namun Rong Tian segera menyadari bahwa hampir tidak ada yang mengajaknya bicara, kecuali Lin Xiaoyu, Zhao Jingyi, dan dua biksu dari Biara Teratai Perak yang ramah pada semua orang."Jangan khawatir tentang mereka," bisik Bhiksu Hui Zhen pada Rong Tian saat mereka duduk berdampingan. "Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk dengan persaingan antar sekte untuk memperhatikan orang luar.""Mereka tidak bermaksud tidak sopan," tambah Bhiksu Fa Ming dengan senyum menenangkan. "Hanya saja, di dunia kultivasi, status dan kekuatan sering menjadi ukuran utama dalam interaksi sosial."Rong Tia
Rong Tian mengamati kota dengan mata yang lebih kritis.Daqi memang mengesankan, dengan jalan-jalan lebar yang dipenuhi pedagang dan pengembara dari berbagai penjuru dunia.Bangunan-bangunan tinggi dengan atap melengkung khas bangunan Benua Longhai, semuanya berdiri berdampingan dengan toko-toko mewah dan kedai-kedai yang menawarkan makanan eksotis.Patung-patung dan air mancur menghiasi alun-alun dan taman-taman yang tersebar di seluruh kota, menciptakan oase keindahan di tengah hiruk pikuk kehidupan kota."Ini jauh lebih modern dari kota-kota di Barat," komentar Rong Tian, matanya mengamati kereta-kereta tanpa kuda yang bergerak dengan tenaga qi, lampu-lampu jalan yang menyala dengan energi spiritual, dan berbagai perangkat modern lainnya yang menunjukkan kemajuan teknologi kultivasi di ibukota.Kereta mereka berhenti di depan sebuah penginapan bertingkat lima yang megah."Penginapan Awan Perak," ucap Paman Liu, menunjuk papan nama yang tergantung di atas pintu masuk. "Salah satu pe
Keheningan mencekam menyelimuti Hutan Pinus setelah zombie Liwei menghilang di balik kegelapan pepohonan.Aura menekan yang dipenuhi energi iblis perlahan memudar, digantikan oleh desiran angin lembut yang menggoyang dedaunan pinus.Bau anyir darah masih mengambang di udara, bercampur dengan aroma resin pinus yang tajam, menciptakan kontras yang mengganggu indra penciuman.Lin Xiaoyu dan Zhao Jingyi masih terduduk di tanah, tubuh mereka gemetar oleh campuran rasa takut, kelelahan, dan luka-luka yang mereka derita.Wajah keduanya pucat pasi, mata mereka masih melebar oleh keterkejutan atas pembantaian mengerikan yang baru saja mereka saksikan.Perlahan, kesadaran kembali ke mata mereka.Lin Xiaoyu yang pertama menoleh, pandangannya tertuju pada sosok Rong Tian yang masih berdiri tenang di sisi kereta kuda.Pemuda itu tampak tidak terganggu oleh kekacauan yang baru saja terjadi, seolah pemandangan mayat bergelimpangan dan darah yang membasahi tanah hutan adalah hal biasa baginya.Di dek
Gerakan zombie Liwei tidak seperti gerakan manusia normal.Terlalu cepat, terlalu kaku, namun juga terlalu efisien. Ia bergerak seperti boneka yang dikendalikan oleh tali tak terlihat, setiap gerakan diperhitungkan untuk membunuh dengan cara paling efektif."Apa itu?!" teriak salah satu murid Sekte Mentari Ufuk Barat, wajahnya pucat pasi oleh ketakutan. "Itu bukan manusia!"Penatua Feng mengangkat pedangnya, wajahnya menunjukkan kewaspadaan tinggi."Jiangshi! Mayat hidup! Bagaimana mungkin ada jiangshi di wilayah Selatan?"Sebelum siapa pun sempat bereaksi lebih jauh, zombie Liwei telah mencapai barisan depan murid Sekte Mentari Ufuk Barat. Tangannya yang pucat dengan kuku-kuku panjang yang menghitam bergerak dalam pola mematikan, merobek daging dan memutuskan leher dengan efisiensi yang mengerikan.Jeritan kesakitan dan ketakutan memenuhi hutan saat zombie Liwei bergerak di antara para murid Sekte Mentari Ufuk Barat seperti angin kematian.Darah menyembur ke segala arah, membasahi ba
Tanpa peringatan lebih lanjut, Penatua Feng melesat maju.Gerakannya begitu cepat hingga hampir tak terlihat oleh mata biasa, hanya meninggalkan jejak kabur dan hembusan angin kencang. Pedangnya yang panjang berkilat kemerahan, terarah langsung ke jantung Lin Xiaoyu.Lin Xiaoyu dan Zhao Jingyi bergerak secara bersamaan, pedang mereka membentuk formasi pertahanan yang mereka latih selama bertahun-tahun. Dentingan logam bergema di hutan saat pedang dan pedang bertemu, menciptakan percikan api yang berpendar sejenak sebelum padam."Teknik Pedang Bunga Hua San: Kelopak Berguguran!" seru Lin Xiaoyu, pedangnya bergerak dalam pola rumit yang menciptakan ilusi ribuan kelopak bunga yang berputar-putar."Teknik Pedang Naga Mengaum!" Zhao Jingyi melengkapi serangan saudara seperguruannya, pedangnya bergerak dalam gerakan vertikal yang kuat, menciptakan gelombang energi qi yang menyapu ke depan.Penatua Feng mendengus meremehkan.Tanpa mengucapkan nama jurus, ia mengayunkan pedangnya dalam geraka