Rong Tian menarik napas dalam, menenangkan debaran jantungnya. Ia menendang tanah berpasir dengan ujung sepatu, menguji daya dorongnya.
Sensasi aneh yang sempat menyelimuti pikirannya perlahan menghilang, berganti dengan pemahaman akan keunikan sepatu ini.
WUUT!
Tubuhnya terangkat dengan kecepatan mengagumkan, melayang lima meter di udara. Jubah hitam yang ia kenakan berkibar liar, membuka lebar seperti sayap kelelawar yang hendak memburu mangsa dimalam hari.
Lalu sesuatu terjadi.
Hembusan angin tipis nyaris tak terdengar, namun tubuhnya kembali terangkat, kali ini lebih tinggi dari yang ia perkirakan. Rong Tian terbelalak, gua yang seharusnya menjadi tujuannya kini terlewatkan begitu saja!
Ia mengeraskan rahangnya. "Begini cara kerjanya...!" gumamnya, nyaris tak percaya.
Ia memicingkan mata, memperhatikan lebih saksama. Jubah hitam itu ternyata bukan sekadar kain biasa.
Di baliknya, terdapat dua baling-baling kecil yang tersembunyi, nyaris tak terlihat. Sedangkan sepatu yang ia pakai bukan sekadar alas kaki, melainkan perangkat dengan sistem mekanis canggih yang memberinya kemampuan melompat luar biasa.
Dari ketinggian belasan meter, pemandangan di bawahnya tampak begitu kecil.
Hembusan angin pagi menyapu wajahnya, membawa hawa dingin gurun yang menusuk hingga ke tulangnya. Seketika itu juga, ia menyadari bahaya lain—ia harus segera mengendalikan pendaratannya!
Namun, bagaimana caranya?
Panik melandanya ketika tubuhnya mulai kehilangan momentum dan gravitasi mulai menariknya kembali. Rong Tian mencoba mengendalikan keseimbangan, tapi tanpa pegangan yang tepat, laju penurunannya justru semakin cepat!
BAM!
Tubuhnya menghantam pasir, menciptakan lubang kecil di sekitarnya.
Ia mengerang, bersiap menanggung rasa sakit, tetapi—anehnya—tak ada luka atau nyeri yang terasa. Rong Tian mengangkat tangannya, memeriksa tubuhnya. Tidak ada goresan, bahkan pakaian yang ia kenakan tetap utuh.
Sebuah pemikiran melintas di benaknya.
Ini bukan sekadar pakaian biasa. “Ini adalah perangkat yang dirancang untuk seorang kultivator kelas Grand master!” kegembiraan seketika melanda.
Dia mengepalkan tangan. "Aku harus menguasainya," desisnya semakin antusias.
Sejak saat itu, ia tak membuang waktu. Ia terus berlatih, mencoba memahami mekanisme jubah dan sepatu tersebut. Setiap lompatan yang gagal, setiap pendaratan yang kurang sempurna, semuanya ia pelajari dengan tekun.
Hari mulai menjelang senja saat akhirnya ia berhasil mengendalikan peralatan tersebut sepenuhnya.
Napasnya masih sedikit memburu, tetapi ada kepuasan yang terpancar di wajahnya. Dengan satu lompatan terakhir, kali ini terarah dan presisi, ia melayang menuju gua di atas tebing, tempat di mana peti kayu kecil yang ia temukan sebelumnya menunggunya.
Dalam kegelapan gua, matanya berkilat.
Rong Tian berdiri di dalam gua, napasnya masih berat setelah perjalanan panjang dan latihan melelahkan.
Matanya menyapu ruang sempit itu, memastikan bahwa tempat ini benar-benar bisa menjadi perlindungan sementara. Ia melirik ke bawah—gurun yang gelap membentang tanpa batas, dihuni oleh makhluk-makhluk buas yang siap merobek tubuhnya kapan saja.
"Di sini aku akan bertahan hidup! Di sini aku aman dari ancaman makhluk buas, binatan iblis yang berkeliaran di bawah sana!" bisiknya lirih.
Kegalauan yang menghantuinya sejak jatuh ke Abyss of Suffering lenyap. Kini hanya ada satu hal—bertahan hidup dan membalas mereka yang membuangnya ke tempat terkutuk ini.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka peti kayu itu lebih lebar, membongkar isinya dengan cermat.
Tiba-tiba, matanya membulat. Ia menarik sebuah gulungan sutra tua yang terlipat rapi, di bagian depannya terukir karakter kuno yang samar-samar masih bisa terbaca meskipun sudah termakan usia.
"Salinan teknik Qinggong Raja Kelelawar Hitam," gumamnya.
Dadanya berdebar. Qinggong adalah teknik gerak luar biasa dalam dunia persilatan—menguasainya bisa membuat seseorang bergerak dengan kecepatan dan ketangkasan seperti siluman, nyaris tak tersentuh lawan.
Rong Tian menelan ludah, matanya berbinar tajam. Ia semakin bersemangat membongkar lebih dalam, mencari apa lagi yang tersembunyi di dalam peti ini.
Jari-jarinya kemudian menemukan sebuah kitab lain, lebih tua, lebih lusuh, dengan tulisan tangan yang nyaris pudar di atas kertas yang telah menguning.
"Catatan Harian Raja Kelelawar Hitam!" suaranya mengandung keterkejutan sekaligus rasa hormat.
Ia terdiam sejenak, merenungi namanya. “Raja Kelelawar Hitam... Nama ini pasti bukan sembarangan.”
Pikiran itu mendorong Rong Tian untuk mengambil sebuah batu kasar di sudut gua. Dengan ujung jarinya yang kotor oleh pasir dan debu, ia mulai mengukir, membentuk permukaannya hingga menyerupai tablet batu.
Dengan penuh penghormatan, ia menggoreskan nama itu di atasnya. “Raja Kelelawar Hitam!”
Selesai mengukir, Rong Tian menarik napas dalam-dalam. Ia kemudian berlutut, melakukan upacara sederhana.
Di hadapan batu tablet yang baru ia buat, ia membungkuk, menekan dahinya ke tanah yang dingin.
"Tuanku Raja Kelelawar Hitam, hamba Rong Tian memberi hormat pada Anda." Suaranya bergetar ringan, bukan karena takut, tetapi karena keyakinan bahwa pertemuannya dengan warisan ini bukan kebetulan.
"Meski kita tidak pernah bertemu secara langsung, hamba merasa bahwa ini adalah kehendak langit. Dengan ini, hamba mengakui Anda sebagai Master!"
Saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya, angin dingin berhembus ke dalam gua.
Langit yang tadinya tenang tiba-tiba berubah. Gelombang mendung mengalir cepat menutupi cahaya bulan, menyelimuti jurang dalam kegelapan yang pekat.
Guruh menggelegar!
Cahaya petir memancar di langit, menyambar dengan intensitas yang mengguncang. Seakan-akan Langit dan Bumi merespons, menyaksikan sumpah Rong Tian yang baru saja ia ucapkan.
Ia tetap bersujud, tak bergerak sedikit pun meskipun angin bertiup semakin kencang.
Malam ini, Rong Tian bukan lagi sekadar pemuda yang terbuang. Hari ini, ia adalah murid dari seorang legenda yang telah lama menghilang , dan akan muncul dengan membuat heboh dunia persilatan.
Bersambung
Mata di balik topeng itu bersinar dengan cahaya keemasan yang dingin dan mencekam, memancarkan aura kematian yang membuat darah dalam pembuluh nadi membeku. Setiap langkahnya di atas dedaunan kering tidak mengeluarkan suara sama sekali, seolah ia berjalan di atas udara."Siapa yang berani bicara omong kosong hendak membunuhku?" suara dingin dan mencekam bergema dari balik topeng, seolah berasal dari dalam kuburan yang paling dalam dan gelap. Suaranya bergaung di antara pepohonan dengan cara yang tidak natural, menciptakan efek mengerikan yang membuat tulang belakang bergetar.Xu Wei Ming melompat turun dari beruangnya yang sudah sepenuhnya tidak terkendali dan berlari ke semak-semak.Meski jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang dan keringat dingin mulai membasahi punggungnya, ia berusaha keras mempertahankan kewibawaannya sebagai pemimpin rombongan."Kami kultivator dari Sekte Iblis Teratai Bulan Perak!" bentaknya sambil mengeluarkan pedang bengkok dari sarung kulit di p
"Lihat itu," bisik Wei Laosan sambil menunjuk ke arahnya dengan sikap meremehkan. "Pemabuk itu akhirnya pergi juga. Sudah mabuk berat dari pagi.""Untung sekali," sahut temannya yang gemuk dengan nada lega. "Bau darah di bajunya itu benar-benar mengganggu nafsu makan. Membuat suasana jadi seram.""Mungkin dia penjahat yang kabur," tambah yang lain sambil menggeleng. "Atau mungkin korban perampokan yang berhasil selamat."Rong Tian keluar dari kedai dan berjalan terhuyung-huyung di jalan yang mulai sepi.Lentera-lentera kertas merah dan kuning berkibar tertiup angin malam yang sejuk, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di jalanan batu yang sudah dipakai selama ratusan tahun.Suara langkah kakinya bergema pelan di antara bangunan-bangunan tua dengan arsitektur klasik dinasti kuno.Ketika ia mencapai ujung jalan yang gelap dan sepi, jauh dari pandangan orang-orang, langkahnya tiba-tiba berubah menjadi stabil dan terlatih. Gerakan mabuk yang tadi dipalsukan langsung hilang,
Wei Laosan mulai mengumbar cerita..."Ada kultivator aliran putih yang begitu licik dan kejam!" serunya sambil menggebrak meja hingga mangkuk-mangkuk bergetar. "Dia menyamar sebagai kultivator aliran iblis dan berhasil membunuh lima puluh anggota Sekte Iblis Teratai Bulan Perak sendirian!"Suara gemuruh kaget langsung terdengar dari berbagai penjuru kedai.Pedagang rempah hampir tersedak sup yang sedang diminumnya, sementara keluarga muda yang sedang makan malam langsung saling pandang dengan mata membulat."Lima puluh orang?" tanya temannya yang gemuk dengan suara tidak percaya. "Itu mustahil! Bagaimana mungkin satu orang bisa mengalahkan lima puluh kultivator sekaligus? Bahkan kultivator elit pun tidak bisa melakukan hal seperti itu!""Itulah yang membuatnya luar biasa!" jawab Wei Laosan sambil menunjuk-nunjuk dengan jari telunjuknya."Dia pasti murid senior dari sekte besar seperti Sekte Tao Tianjian Ge atau Sekte Shennong Gu! Mungkin bahkan dari Sekte Hunyuan Dao! Dia sengaja meny
Saat itu... seorang wanita paruh baya dengan pakaian sutra hijau duduk di meja belakang bersama putri kecilnya yang berusia sekitar tujuh tahun. Mereka sedang menikmati sup jamur shiitake dengan irisan daging ayam, namun mata sang ibu terus melirik cemas ke arah Rong Tian."Niang," bisik anak kecil itu dengan suara polos, "kenapa Gege itu bajunya kotor sekali?"Sang ibu langsung menarik anaknya lebih dekat sambil berbisik, "Jangan lihat ke arah sana, Mei'er. Dan jangan bicara keras-keras.""Tapi kenapa, bu?" tanya anak itu dengan mata bulat penuh keingintahuan."Karena... karena orang seperti itu berbahaya," jawab sang ibu sambil melirik ke arah suaminya yang duduk di seberang meja. "Die, mungkin kita harus pulang sekarang."Sang ayah, seorang pria kurus dengan janggut tipis, mengangguk sambil menatap Rong Tian dengan was-was. "An'er, habiskan makananmu dengan cepat. Kita akan segera pulang.""Betul," bisik sang ibu lagi. "Pemuda macam apa yang minum arak sepagi ini? Pasti mentalnya t
Sinar matahari pagi menyusup melalui jendela-jendela berornamen kayu ukir di Rumah Arak Chrysanthemum Emas, salah satu kedai minuman paling terkenal di distrik timur Jiuyuan Cheng.Bangunan bertingkat dua dengan atap genteng hijau zamrud ini telah berdiri selama lebih dari seratus tahun, menjadi saksi bisu perjalanan waktu ibukota.Aroma khas arak beras premium dan bunga krisan kering menguar dari puluhan gentong keramik besar yang tersusun rapi di sudut-sudut ruangan, bercampur dengan harum dupa cendana yang selalu dibakar setiap pagi.Rong Tian duduk sendirian di meja bundar kayu jati dekat pintu masuk, punggungnya bersandar pada kursi bambu yang berderit pelan setiap kali ia bergerak.Posisinya strategis, memungkinkan pandangan langsung ke jalan raya dan sekaligus memungkinkan udara segar masuk melalui celah pintu yang terbuka.Jubah hitam yang dikenakannya tampak compang-camping dengan berbagai robekan, sementara noda-noda darah kering telah mengering menjadi coretan kecoklatan ya
Langkah kaki Rong Tian bergema di jalan batu paving ibukota, diiringi oleh tatapan ngeri dan takut dari setiap orang yang ia lewati. Dalam hatinya, amarah masih berkobar dengan panas yang menyengat."Mereka yang merenggut nyawa orang tak berdosa," batinnya sambil terus melangkah, "akan merasakan balasan yang setimpal."Di kota kecil Luoshui, sekitar lima puluh li dari Hutan Kesemek, seorang kultivator berlari terbirit-birit melintasi jalan-jalan sempit. Napasnya tersengal-sengal, jubah hijau Sekte Iblis Teratai Bulan Perak yang ia kenakan robek di beberapa bagian. Wajahnya pucat pasi, mata melotot penuh ketakutan seolah baru saja menyaksikan hantu.Fang Ming Xue, demikian namanya, adalah satu-satunya yang selamat dari pembantaian di Hutan Kesemek. Ia berhasil melarikan diri dengan menggunakan jimat pelarian darurat ketika rekan-rekannya satu per satu tewas di tangan pemuda berambut hitam yang mengerikan itu.Ia berlari tanpa henti hingga mencapai sebuah bangunan bertingkat tiga dengan