Bab 3. PENCULIKAN
Keesokan harinya seperti biasa Jaka berangkat kuliah dengan penuh semangat, seakan musibah yang menimpanya kemarin saat di lokasi konstruksi bukanlah sesuatu yang perlu dianggap serius.
Tubuh Jaka tampak bugar, tubuhnya tidak terlihat ada luka luar maupun luka dalam setelah tertimpa ribuan batu bata dari ketinggian gedung lantai dua puluh.
Saat jam istirahat kuliah, Jaka pergi ke kantin untuk mengisi perutnya.
Di kantin terlihat banyak mahasiswa yang sedang makan sambil berbincang dengan rekan-rekan mereka.
Kehadiran Jaka tidaklah langsung menarik perhatian mahasiswa wanita yang sedang duduk bergerombol.
Sedangkan mahasiswa pria tampak tidak terlalu memperdulikan Jaka yang baru saja datang memasuki kantin.
“Bu Minten, minta bakso satu sama kupat.”
“Baik mas, tunggu sebentar ya?”
Bu Minten yang merupakan salah satu pedagang yang berjualan di kantin tersenyum dengan ramah kearah Jaka.
Di Kantin kampus ada puluhan UMKM yang bekerjasama dengan pihak kampus untuk berjualan di kantin sehingga para mahasiswa bisa makan dengan banyak pilihan makanan dengan harga merakyat dan murah untuk para mahasiswa.
Hanya saja di kantin kampus para pedagang tidak diperbolehkan menjual rokok maupun minuman beralkohol.
Jaka kemudian mencari meja yang kosong, akan tetapi karena sekarang bertepatan dengan jam istirahat maka semua meja sudah penuh, membuat Jaka tampak menghela nafas berat.
“Jaka duduk di sini saja.”
Terdengar seorang wanita memanggil Jaka sambil melambaikan tangannya.
Jaka segera menoleh ke arah sumber suara, ternyata yang memanggilnya adalah satu mahasiswa wanita yang cantik dan sedang tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan.
Jaka tampak malu untuk menuruti ajakan mahasiswa wanita itu, bagaimanapun juga dia merasa tidak pantas untuk duduk bersanding dengan wanita secantik Intan Warsito yang merupakan idola baru di Universitas Matrix.
Intan Warsito adalah teman seangkatan Jaka di Fakultas ekonomi di Universitas Matrix, Intan Warsito sendiri berasal dari keluarga konglomerat yang ada di Jakarta.
Apalagi Jaka sangat tahu kalau Intan berasal dari keluarga kaya sehingga Jaka merasa tidak pantas bergaul serta berdekatan dengannya meskipun mereka satu kelas yang sama.
Kembali ke kantin, pada saat ini Jaka Kelud hanya bisa cengar-cengir saja seperti monyet di tulup ketika mendapat ajakan dari Intan Warsito.
Rasa rendah dirinyalah yang membuatnya tidak berani menerima ajakan Intan untuk duduk di meja yang sama dengannya.
Jaka Kelud menyadari siapa dirinya yang hanya anak gunung yang miskin, karena hal inilah Jaka tidak segera menuruti panggilan Intan Warsito.
“Jaka kemarilah, ayo duduk bersamaku.”
Bukannya mendekat kearah Intan, sebaliknya Jaka langsung pergi menjauh sambil membawa semangkuk Bakso pesanannya yang sudah tersaji menuju sudut kantin dan duduk di dekat tangga.
Ekspresi wajah Intan tampak menjadi buruk begitu melihat apa yang dilakukan Jaka yang mengabaikan niat baiknya.
Sementara itu Jaka sedang memakan Bakso di tangannya dengan lahap, dalam sekejap satu mangkuk Bakso sudah berpindah tempat ke perutnya.
“Aagh..”
Tanpa disadari Jaka bersendawa yang langsung menjadi pusat perhatian semua mahasiswa yang ada di kantin ini.
“Dasar orang kampung, benar-benar tidak sopan bersendawa begitu keras.”
“Betul sekali, dasar orang miskin.”
“Eh… lihat, bukankah itu Jaka, sang Kuli Konstruksi itu?”
“Yups… ternyata yang bersendawa itu Jaka, pantas saja tidak punya sopan santun.”
Beberapa mahasiswa di kantin yang sedang menikmati makanan mereka tampak bergunjing membicarakan Jaka.
Sementara itu Jaka yang sudah terbiasa dan kebal dengan gunjingan para mahasiswa di kampusnya sama sekali tidak peduli.
Bagaimanapun juga apa yang mereka gunjingkan adalah sesuatu yang nyata, dialami Jaka sebagai orang miskin dari kampung dan pekerja Konstruksi setelah pulang kuliah.
***
Sorenya sepulang kuliah, Jaka yang tidak punya kegiatan karena diliburkan dari lokasi konstruksi tampak sedang jalan - jalan menyusuri trotoar kota Jakarta tanpa tujuan.
Hanya satu yang ingin dilakukan Jaka yaitu lebih mengenal wilayah Jakarta dengan lebih baik.
Hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ketika Jaka sedang berjalan di jalan bisnis yang dipenuhi hotel serta Cafe dan Club malam besar.
“Kurang ajar, pergi, lepaskan aku…!”
Saat Darko lewat di depan Cafe dan Club yang cukup mewah dan besar, tiba-tiba Jaka mendengar suara seorang wanita yang sedang berteriak seakan sedang mengusir seseorang.
“Ha ha ha ha… cantik, kamu jangan terlalu jual mahal kepada kami, saya tahu kamu ini sedang mencari om-om untuk menghiburnya. Jadi kamu jangan terlalu jual mahal kepada kami, begini-begini kami masih bisa membayarmu setelah membuat kami berempat terhibur dengan layananmu, ha ha ha ha….”
Suara tawa beberapa pria juga terdengar setelah suara wanita yang berteriak untuk mengusirnya terdengar di telinga Jaka.
Seketika itu juga Jaka menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara.
Ketika jaka melihat wanita itu wajahnya langsung berubah, begitu melihat dengan jelas sosok wanita yang sedang diganggu keempat pria dengan tampang mesum.
“Intan…? Bukankah itu Intan? Kenapa dia ada di tempat ini malam-malam?”
Jaka langsung menggumam yang hanya didengar dirinya sendiri dengan tatapan tidak percaya melihat kearah wanita yang ada di kejauhan itu.
Intan adalah teman kuliahnya yang selalu bersikap baik kepadanya berbeda dengan teman-teman wanita yang lainnya.
Meskipun Intan berasal dari keluarga konglomerat, tapi hatinya sangat baik dan tidak pernah memandang rendah orang yang lebih miskin darinya.
“Pergi… atau saya akan berteriak minta tolong, biar kalian dihajar petugas keamanan!”
Dengan ekspresi panik dan suara sedikit melantur Intan membentak keempat pria yang menghalangi jalannya.
“Ha ha ha ha… lihatlah wanita ini terlihat semakin cantik saja saat marah, sepertinya dia akan membuat kita puas saat di ranjang.”
“Betul… betul… betul sekali, ayo kita tangkap dan masukkan jalang ini kedalam mobil, jangan sampai ada orang yang mencampuri dan mengganggu kesenangan kita.”
Begitu mendengar saran salah satu rekannya, ketiga pria ini langsung bergerak merangsek ke arah Intan dengan lebih agresif dan langsung memegangi kedua tangan Intan dengan kuat.
“Lepaskan…! Kurang ajar, brengsek, lepaskan aku…!”
Intan berontak dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari pegangan kedua preman yang memegangi kedua tangannya.
Sekuat apapun Intan berusaha melepaskan diri, tetap saja tenaganya tidak sebanding dengan kekuatan empat pria yang langsung memegangnya dan menyeretnya memasuki sebuah mobil SUV besar berwarna hitam yang terparkir tak jauh dari tempat mereka beraksi.
Jaka yang melihat kejadian ini segera berlari untuk menyelamatkan Intan yang akan dimasukkan kedalam mobil SUV.
Tanpa di sadari Jaka itu sendiri, tubuhnya melesat dengan sangat cepat seperti angin ke arah Intan.
Saking cepatnya jarak seratus meter yang membentang dari tempat Jaka berdiri hingga ke tempat parkir Club malam itu dicapai hanya kurang dari satu detik.
Plak… plak… plak… plak
“Berhenti….!”
***
Bab 214. KEMATIAN RAJA SILUMAN BUTO IRENG Begitu sampai diatas puncak gunung Salaka, Jaka Kelud berhenti dan berdiri memandang ke arah Raja Buto Ireng yang sedang berlari mengejarnya. “Hoi anak manusia, sepertinya sudah tidak ada tempat untuk melarikan diri lagi. Sekarang tenangkan hatimu, saya akan memakan tubuhmu dengan cepat, sehingga kamu tidak akan merasa sakit terlalu lama, ha ha ha ha…” Suara Raja Buto Ireng menggema di puncak gunung Salaka, dia berdiri tak jauh dari Jaka Kelud setelah berhasil menyusulnya. Jaka hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Raja Buto Ireng itu. Bagi Jaka Kelud omongan Raja Buto Ireng itu hanya angin lalu, karena dia akan terlebih dahulu menghabisi Raja Siluman di depannya ini. “Anak manusia, apakah kamu sudah siap untuk menjadi santapanku? Baiklah, sepertinya kamu memang sudah siap.” Begitu Raja Buto Ireng selesai berbicara, sosoknya langsung melesat dengan sangat cepat kearah Jaka Kelud. Tangannya
Bab 213. KEMATIAN AKI SALAKA Sosoknya sudah berpindah tempat di belakang Aki Salaka yang berusaha menjauh dari pertempuran dua makhluk berbeda dimensi ini. Bola api itu seperti mempunyai radar, kemanapun Jaka Kelud menghindar, maka bola api itu terus mengejarnya. Kali yang ketakutan dengan bola api ini adalah Aki Salaka, mana mungkin dia tidak ketakutan, karena Jaka Kelud bersembunyi di belakang tubuhnya. Maka secara otomatis, maka bola api mengejar kearahnya. Jaka Kelud sepertinya memang sengaja menghindar dengan cara mengelilingi tubuh Aki Salaka. Dia sedang mempunyai rencana jitu untuk mengalahkan Aki salaka, tanpa dia turun tangan sendiri. “Arghh….”Tiba-tiba saja terdengar jeritan melengking, ketika bola api itu menghantam tubuh Aki Salaka. Sebenarnya bola api itu tertuju pada tubuh Jaka Kelud, akan tetapi pada suatu kesempatan dia sengaja berdiri di depan Aki Salaka. Dan, ketika kedua bola api itu meluncur dengan cepat kearahny
Bab 212. RAJA SILUMAN BUTO IRENG “Kita memang tidak saling kenal, tapi kamu sudah berusaha membunuh orang yang salah. Apa kamu tahu, untuk apa saya datang kemari? Dan bagaimana saya bisa datang kesini?” dengus Jaka Kelud sambil menatap Aki Salaka yang sedang mengatur nafasnya yang memburu setelah tadi berusaha membunuhnya. “Sebenarnya saya tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan, akan tetapi karena kamu sudah berbuat salah kepada orang yang saya kenal. Maka kamu juga harus merasakan apa itu hukum karma.” “Ha ha ha ha ha… anak muda kalau ngomong itu yang jelas. Kamu jangan asal tuduh, lihatlah saya itu tidak melakukan apapun seperti yang kamu tuduhkan. Aki Salaka masih berusaha mengelak dari tuduhan Jaka Kelud, bibirnya kemudian terlihat mulai berkomat-kamit membaca mantra, kemudian…. Wusss…Sebuah asap hitam langsung muncul di belakang Aki Salaka, asap hitam itu perlahan berubah bentuk menjadi sosok berburu dengan tinggi empat meter, bahkan saking tinggin
Bab 211. SERANGAN KERIS PUSAKA Mulut Aki Salaka langsung mengatup ketika mendengar pertanyaan Jaka Kelud yang terus terang tanpa tedeng aling-aling lagi, menuduhnya sebagai orang yang mengirimi santet ke tubuh Rustam Buwono. “Apa yang kamu katakan bocah? Kalau bicara itu coba diatur, jangan asal ngomong dan menuduh orang,” ucap Aki Salaka sambil menatap tajam kearah Jaka Kelud. Meskipun suaranya terdengar seperti membantah perkataan Jaka Kelud. Akan tetapi Jaka Kelud bisa membaca getaran terkejut dari nada suaranya, meskipun hanya sedikit saja, karena Aki Salaka sangat pandai menyembunyikan perubahan emosinya. “Ha ha ha ha… kamu tidak perlu menyembunyikan kebusukanmu. Lihatlah apa yang ada didalam ruangan ini? Bukankah semua ini adalah alat untuk melakukan ritual pemanggilan iblis?” Perkataan Jaka tentu saja adalah benar, karena dia sudah menyebarkan pandanganya ke seluruh ruangan. Di seluruh ruangan yang gelap dan dipenuhi dengan aroma asap
Bab 210. BERTEMU AKI SALAKA Firasat buruk seketika menghantui pikirannya, ketika mendengar suara pintu utama dibuka. Akan tetapi pikiran buruk itu segera di tepis dan mengira kalau yang membuka pintu adalah cantriknya atau Surono pelayan yang bekerja di rumahnya. Pada saat Aki salaka akan melanjutkan ritualnya untuk melihat kondisi Rustam Buwono melalui pusaka Kaca Belanga. Tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya terbuka, mata Aki Salaka menatap tajam kearah pintu dan matanya langsung memicing untuk mempertajam penglihatannya, untuk melihat siapa yang memasuki ruang kerjanya. Sementara itu sebelum sesosok tubuh memasuki ruang kerja Aki Salaka, Jaka Kelud yang memasuki rumah Aki Salaka memandang seisi rumah. Suasana rumah ini sama persis dengan rumah-rumah di lereng gunung Kelud tempat dia tinggal bersama keluarganya. Di ruang tamu ada furniture yang terbuat dari kayu jati dan beberapa kursi sederhana yang ditata berjajar yang bisa menampung
Bab 209. BELIS MARAKAYANGAN “Kurang ajar, dasar Belis kurang kerjaan. Kalau kamu tidak sanggup mengambil nyawa tumbal itu sebaiknya kamu pergi saja, alih-alih mendatangiku, dasar Belis lemah,” gerutu Aki Salaka yang tidak mau mengikuti permintaan Belis Marakayangan ini. Belis Marakayangan yang ingin memasuki tubuh Aki Salaka sangat marah mendengar perkataannya, apalagi dia juga kesulitan untuk merasuki tubuh Aki Salaka untuk diambil nyawanya. Kekuatan mantra perlindungan Aki Salaka yang cukup kuat, membuat Belis Marakayangan itu kesulitan untuk merasuki tubuhnya. Sambil terus membaca mantra perlindungan, Otak Aki Salaka berpikir keras. Karena dia tidak mungkin membiarkan Belis piaraannya ini malah menjadikannya tumbal. “Ha ha ha ha… kulitmu sepertinya cukup alot Aki Salaka. Tapi jika saya tidak bisa mengambil jiwamu, maka keluargamu juga boleh. Bukankah kamu punya anak dan cucu di kota? Ha ha ha ha….” Belis Marakayangan tampaknya tidak kekurang
Bab 208. MENDATANGI AKI SALAKA Ucap Jaka Kelud dengan tatapan teduh kearah wanita paruh baya di depannya. “Alhamdulillah, Ya Alloh terimakasih Engkau telah mengabulkan doa-doa hamba Mu ini.” Airmata kebahagiaan mengalir dari sepasang matanya yang menghitam karena kurang tidur dan kantung mata yang menggelembung di kelopak matanya, karena sering menangis. “Terus nak Jaka mau kemana? Apakah nak Jaka akan menemani tante disini?” “Maaf tante, saya ada urusan sebentar. Maaf saya pamit terlebih dahulu,” sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada, Jaka Kelud berpamitan kepada Melati Sugiri. “Baiklah, tante hanya bisa mengucapkan terimakasih atas perhatian nak Jaka Kepada kami.” Jaka Kelud segera berjalan meninggalkan ruang ICU, meninggalkan Melati Sugiri yang sudah bisa bernafas lega, setelah mendengar informasi dari Jaka Kelud. Jaka Kelud tidak pergi ke mobilnya setelah meninggalkan ruang ICU, alih-alih langsung pulang kerumah, dia malah me
Bab 207. KEMARAHAN AKI SALAKA Aki Salaka sangat geram, ketika ilmu santet yang ditujukan ke tubuh Rustam Buwono mendapat perlawanan. Segera saja Aki Salaka mengaktifkan pusaka Kaca Benggala untuk melihat orang yang sudah berani melawan dirinya. Perlahan dari dalam air yang ada di pusaka Kaca Benggala terlihat mulai ber riak dan mengeluarkan gelembung-gelembung seakan air di dalam pusaka Kaca Benggala itu sedang mendidih. Mulut Aki Salaka meracau membaca mantra yang tidak bisa didengar dengan jelas sambil menggerakkan kedua tangannya di atas pusaka Kaca Benggala. Perlahan dari air yang ada di dalam pusaka Kaca Benggala mulai mengeluarkan asap, akan tetapi asap yang keluar adalah asap hitam yang sangat pekat. Kejadian ini tentu saja mengejutkan Aki Salaka, karena dalam sejarahnya pemakaian pusaka Kaca Benggala, dia belum pernah menghadapi fenomena se aneh ini. Fenomena, dimana dari dalam pusaka Kaca Benggala mengeluarkan asap hitam, apalagi as
Bab 206. MELAWAN SANTET “Apa? Apa yang kamu katakan? Kalau mau membantah perintah saya itu jangan membuat alasan yang tidak masuk akal. Awas kalian, saya akan memberi Surat Peringatan kepada kalian bertiga yang menolak menjalankan tugas dari saya,” ancam dokter Sasongko kepada ketiga tim medis yang bersamanya. Setelah memberi ancaman kepada tim medisnya, dokter Sasongko berniat untuk memeriksa sendiri tubuh Rustam Buwono untuk mencari sumber asap. Akan tetapi seperti halnya apa yang terjadi kepada ketiga tim medisnya, kaki dokter Sasongko seperti dilem atau di pakai kepada lantai di bawahnya. “Aduh, kenapa kakiku tidak bisa digerakkan? Apa sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam dokter Sasongko dalam hatinya. Sementara itu ketiga tim medis tampak menahan senyum melihat kondisi dokter Sasongko mengalami kejadian seperti yang mereka alami. Sementara itu Jaka Kelud yang sedang melakukan pengobatan pada tubuh Rustam Buwono, tampak memandang