Share

Bab 5. Rencana Keji Evan

Aisha ingin mengekspresikan kekesalannya, tetapi ditahan serapat mungkin karena bisa saja membuat Evan murka dan berakhir membahayakan mereka semua terutama Ansel. “Kak Ansel tidak akan datang lagi.” Tatapan nanarnya.

 

“Bagus.” Senyuman lembut dibentuk Evan kemudian mengecup permukaan bibir tipis Aisha yang berujung pada hubungan ranjang panas. 

 

Sementara, Ansel kembali menjalani propesinya sebagai satpam yang dimulai sejak pukul sebelas malam. Persenjataan yang dibutuhkannya mulai dikantongi, mulai dari senjata ringan yaitu tongkat kayu, hingga pada senjata yang cukup mengerikan yaitu pistol listrik kemudian terakhir senjata api yang hanya dipakai di saat paling genting saja. Itupun hanya bisa diarahkan pada bagian betis atau organ tubuh lainnya yang tidak akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.

 

Ansel menjadi penjaga keamanan tempat berkumpulnya berlian mahal dan banyak juga berlian langka yang tinggal di dalam gedung ini, maka persenjataan penjaga keamanan di sini berbeda dengan penjaga keamanan pada umumnya. Awalnya semua persenjataan ini terasa sangat tabu untuknya karena Ansel adalah seorang keturunan elit yang biasanya mendapatkan penjagaan khusus dari bodyguard tanpa perlu mengantongi senjata, tetapi seiring berjalannya waktu pria ini mulai terbiasa berdampingan dengan beberapa senjata di tubuhnya.

 

“Aku dengar kau berasal dari keluarga kaya. Lalu kenapa membuang waktu di sini, dengan sengaja kau memotong waktu tidur yang selalu kami inginkan.” Seorang rekan bertanya heran pada Ansel saat keduanya sedang berjalan menyusuri lorong menuju posisi masing-masing.

 

“Dengar dari siapa?” kekeh santai Ansel yang sebenarnya sangat terluka karena status rich yang dulu dikantonginya sudah musnah.

 

“Supervisor.” Datar pria ini yang masih memandang heran ke arah Ansel.

 

Lagi, Ansel terkekeh santai saat hatinya semakin hancur karena seharusnya supervisor tidak perlu mengumbar tentang dirinya. Apalagi pengakuannya pada supervisor hanyalah dusta untuk menutupi kenyataan yang berkebalikan. Dengan dibahasnya hal itu membuat rasa sakit di hatinya semakin bertumpuk. Namun, terpaksa Ansel harus memperluas kebohongannya demi bertahan di tempat elit ini karena hanya tempat ini yang memberikan gaji lebih tinggi dibandingkan penjaga keamanan biasa. “Aku sedang diajari mandiri oleh papa. Papa bilang aku harus tahu rasanya menjadi manusia yang memulai semua dari nol. Ya, kurang lebih begitu.” Senyuman hambarnya karena angka nol adalah kehidupan hariannya kini.

 

“Enak sekali menjadi orang kaya. Hidup susah adalah cara belajar bukan kehidupan yang sebenarnya.” Pria ini menunjukan senyuman getir karena kehidupannya jauh berbeda dari kalimat yang diluncurkan Ansel, sedangkan senyuman lawan bicaranya semakin hambar.

 

Ansel menepuk bahu rekannya. “Kehidupan ini berputar. Aku yakin esok kehidupanmu akan lebih baik, kawan!” Senyuman tulus dipertontonkan saat memberikan semangat pada rekan kerjanya karena kini Ansel sangat mengerti rasanya hidup menderita, bahkan bagaimana sulitnya mendapatkan makanan. Jadi, dia harap seluruh rekannya akhirnya akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari yang mereka miliki hari ini.

 

Ansel sudah mengisi posisinya. Gedung ini dijaga oleh puluhan satpam, tidak heran jika para pria dengan perawakan tinggi besar akan tersebar di banyak titik. Cahaya lampu yang wattnya sangat besar ikut menjadi bagian dari keamanan begitupun dengan CCTV paling canggih di abad ini.

 

Fokus yang disertai dengan stamina penuh adalah modal utama, lalu kemampuan beladiri dan juga berkelahi bebas menjadi bagian dari persyaratan karena bisa dikatakan semua penjaga keamanan di sini mempertaruhkan nyawa mereka demi menjaga kumpulan berlian yang sering menjadi sasaran kelas mafia dan organisasi hitam lainnya saat rubah biasa tidak pernah berani menampakan diri di sini karena mereka tahu menjarah tempat ini sama saja dengan menyetor nyawa.

 

Sementara, Alea masih disibukan dengan mengurus Ocean yang sering terbangun di malam hari. “Besok Mama akan mengajukan pengunduran diri dari pabrik. Ocean tunggu dengan papa ya sampai urusan Mama selesai. Mama janji tidak lama, setelah ini Ocean akan bersama Mama setiap hari, kita akan membuat usaha kecil-kecilan seperti usulan papa,” ucap lembut Alea bersama sentuhan manja di puncak hidung Ocean yang tampak manis dengan bias kemerahannya.

 

Pada esok paginya Ansel kembali, Alea selalu menunjukan senyuman penuh syukur saat melihat suaminya pulang tanpa membawa luka fisik sedikit pun. “Syukurlah, kamu sudah pulang.” Pelukan adalah penyambut kedua setelah senyuman penuh syukurnya yang selalu melengkapi wajah cantik dan indah bak mentari pagi.

 

“Aku akan kembali untuk kalian.” Kecupan Ansel mendarat lembut serta penuh kasih sayang di puncak kepala Alea. “Bagaimana hari ini, apa istriku mulai tinggal di rumah?” tanya santai si pria saat tubuhnya masih mendapatkan lingkaran tangan Alea.

 

Wajah berseri Alea menengadah ke arah Ansel. “Belum. Hari ini aku akan mengajukan surat pengunduran diri.”

 

Jemari dingin Ansel segera mengusap lembutnya pipi Alea. “Ya sudah, selesaikan saja dulu dengan cara yang baik. Biarkan Ocean bersamaku.”

 

“Lalu bagaimana dengan waktu tidurmu?” Alea masih menengadahkan wajahnya tanpa melepaskan pelukannya.

 

“Tidak apa, Sayang. Aku bisa tidur saat Ocean tidur. Bukankah Ocean sangat suka tertidur di siang hari, itu kesempatan untukku,” kekeh hangat serta kegelian Ansel.

 

“Hihi ....” Alea menunjukan tawa manisnya, “baiklah kalau begitu. Aku memercayakan Ocean padamu.”

 

“Tentu.” Kini kecupan Ansel mendarat di atas permukaan bibir Alea seiring menggoda istrinya hingga kedua pipi Alea merona malu-malu. Begitupun dengan bagian inti tubuhnya yang tampak lebih merona yang selalu berhasil memuaskan Ansel.

 

Pagi ini kediaman Adithia sangat hening walau biasanya memang hening, tetapi kali ini jauh lebih hening karena Aisha ditahan suaminya sendiri, dikurung di dalam kamar hingga wanita ini harus memohon, “Aku tidak bisa seharian berada di sini. Lalu siapa yang akan merawat papa. Tolong jangan melakukan ini ....” Punggung dingin Evan dipandangi dengan tatapan lusuh dan sayu.

 

Evan tidak membalik tubuhnya, maka pantulan wajah psikopatnya terlihat jelas dalam permukaan cermin. “Aku melakukannya supaya kamu tidak menerima kedatangan Ansel!” Kedua kancing di pergelangan tangannya dirapihkan bergilir.

 

“Kakak tidak akan datang lagi!” Kali ini dalam permohonan Aisha diselipkan kalimat lantang dengan harapan dapat merubah keputusan Evan mengurungnya di dalam kamar besar ini.

 

Barulah Evan membalik tubuhnya, berdiri gagah, membusungkan dadanya sangat angkuh bersama tatapan dingin. “Kau bisa menjamin itu, Sayang?”

 

“Iya. Kakak tidak akan datang lagi.” Sendu Aisha yang hampir menjatuhkan air mata kesedihannya saat tatapannya mengarah pada Evan.

 

Saat ini Evan memegangi plipisnya sesaat, kemudian melangkah pendek menuju tempat Aisha berdiri sendu. “Astaga Sayang ..., jangan menangis. Baiklah ... aku akan bermurah hati padamu. Silakan keluar dari kamar, tapi hari ini tidak ada keluar rumah ya, Sayang.” Kecupan mendarat di dahi Aisha. Tepatnya adalah kecupan lembut, tetapi tetap melukai Aisha.

 

Maka, akhirnya Aisha dapat menemui Adithia yang menempati kamar besarnya seorang diri. “Pa, maaf Aisha terlambat.” Pelukannya segera mendarat lirih di tubuh ayahnya yang masih terbaring. Maka Adithia segera mengetahui alasan dari sikap putrinya, tetapi tubuhnya sangat lemas hingga tidak memiliki kekuatan untuk membalas pelukan Aisha.

 

Evan berdiri santai di ambang pintu menyaksikan penderitaan yang selalu menyelimuti Adithia, tetapi alih-alih merasa iba justru dia merancang rencana lebih keji. ‘Mungkin jika aku menceritakan penderitaan Ansel maka ayah mertuaku akan cepat mati. Itu sangat bagus karena aku hanya tinggal menaklukan Aisha sebagai jalan menguasai semua harta pria penyakitan itu!’ Seringai berkibar saat hatinya bermonolog keji.

 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status