Aisha ingin mengekspresikan kekesalannya, tetapi ditahan serapat mungkin karena bisa saja membuat Evan murka dan berakhir membahayakan mereka semua terutama Ansel. “Kak Ansel tidak akan datang lagi.” Tatapan nanarnya.
“Bagus.” Senyuman lembut dibentuk Evan kemudian mengecup permukaan bibir tipis Aisha yang berujung pada hubungan ranjang panas. Sementara, Ansel kembali menjalani propesinya sebagai satpam yang dimulai sejak pukul sebelas malam. Persenjataan yang dibutuhkannya mulai dikantongi, mulai dari senjata ringan yaitu tongkat kayu, hingga pada senjata yang cukup mengerikan yaitu pistol listrik kemudian terakhir senjata api yang hanya dipakai di saat paling genting saja. Itupun hanya bisa diarahkan pada bagian betis atau organ tubuh lainnya yang tidak akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang. Ansel menjadi penjaga keamanan tempat berkumpulnya berlian mahal dan banyak juga berlian langka yang tinggal di dalam gedung ini, maka persenjataan penjaga keamanan di sini berbeda dengan penjaga keamanan pada umumnya. Awalnya semua persenjataan ini terasa sangat tabu untuknya karena Ansel adalah seorang keturunan elit yang biasanya mendapatkan penjagaan khusus dari bodyguard tanpa perlu mengantongi senjata, tetapi seiring berjalannya waktu pria ini mulai terbiasa berdampingan dengan beberapa senjata di tubuhnya. “Aku dengar kau berasal dari keluarga kaya. Lalu kenapa membuang waktu di sini, dengan sengaja kau memotong waktu tidur yang selalu kami inginkan.” Seorang rekan bertanya heran pada Ansel saat keduanya sedang berjalan menyusuri lorong menuju posisi masing-masing. “Dengar dari siapa?” kekeh santai Ansel yang sebenarnya sangat terluka karena status rich yang dulu dikantonginya sudah musnah. “Supervisor.” Datar pria ini yang masih memandang heran ke arah Ansel. Lagi, Ansel terkekeh santai saat hatinya semakin hancur karena seharusnya supervisor tidak perlu mengumbar tentang dirinya. Apalagi pengakuannya pada supervisor hanyalah dusta untuk menutupi kenyataan yang berkebalikan. Dengan dibahasnya hal itu membuat rasa sakit di hatinya semakin bertumpuk. Namun, terpaksa Ansel harus memperluas kebohongannya demi bertahan di tempat elit ini karena hanya tempat ini yang memberikan gaji lebih tinggi dibandingkan penjaga keamanan biasa. “Aku sedang diajari mandiri oleh papa. Papa bilang aku harus tahu rasanya menjadi manusia yang memulai semua dari nol. Ya, kurang lebih begitu.” Senyuman hambarnya karena angka nol adalah kehidupan hariannya kini. “Enak sekali menjadi orang kaya. Hidup susah adalah cara belajar bukan kehidupan yang sebenarnya.” Pria ini menunjukan senyuman getir karena kehidupannya jauh berbeda dari kalimat yang diluncurkan Ansel, sedangkan senyuman lawan bicaranya semakin hambar. Ansel menepuk bahu rekannya. “Kehidupan ini berputar. Aku yakin esok kehidupanmu akan lebih baik, kawan!” Senyuman tulus dipertontonkan saat memberikan semangat pada rekan kerjanya karena kini Ansel sangat mengerti rasanya hidup menderita, bahkan bagaimana sulitnya mendapatkan makanan. Jadi, dia harap seluruh rekannya akhirnya akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari yang mereka miliki hari ini. Ansel sudah mengisi posisinya. Gedung ini dijaga oleh puluhan satpam, tidak heran jika para pria dengan perawakan tinggi besar akan tersebar di banyak titik. Cahaya lampu yang wattnya sangat besar ikut menjadi bagian dari keamanan begitupun dengan CCTV paling canggih di abad ini. Fokus yang disertai dengan stamina penuh adalah modal utama, lalu kemampuan beladiri dan juga berkelahi bebas menjadi bagian dari persyaratan karena bisa dikatakan semua penjaga keamanan di sini mempertaruhkan nyawa mereka demi menjaga kumpulan berlian yang sering menjadi sasaran kelas mafia dan organisasi hitam lainnya saat rubah biasa tidak pernah berani menampakan diri di sini karena mereka tahu menjarah tempat ini sama saja dengan menyetor nyawa. Sementara, Alea masih disibukan dengan mengurus Ocean yang sering terbangun di malam hari. “Besok Mama akan mengajukan pengunduran diri dari pabrik. Ocean tunggu dengan papa ya sampai urusan Mama selesai. Mama janji tidak lama, setelah ini Ocean akan bersama Mama setiap hari, kita akan membuat usaha kecil-kecilan seperti usulan papa,” ucap lembut Alea bersama sentuhan manja di puncak hidung Ocean yang tampak manis dengan bias kemerahannya. Pada esok paginya Ansel kembali, Alea selalu menunjukan senyuman penuh syukur saat melihat suaminya pulang tanpa membawa luka fisik sedikit pun. “Syukurlah, kamu sudah pulang.” Pelukan adalah penyambut kedua setelah senyuman penuh syukurnya yang selalu melengkapi wajah cantik dan indah bak mentari pagi. “Aku akan kembali untuk kalian.” Kecupan Ansel mendarat lembut serta penuh kasih sayang di puncak kepala Alea. “Bagaimana hari ini, apa istriku mulai tinggal di rumah?” tanya santai si pria saat tubuhnya masih mendapatkan lingkaran tangan Alea. Wajah berseri Alea menengadah ke arah Ansel. “Belum. Hari ini aku akan mengajukan surat pengunduran diri.” Jemari dingin Ansel segera mengusap lembutnya pipi Alea. “Ya sudah, selesaikan saja dulu dengan cara yang baik. Biarkan Ocean bersamaku.” “Lalu bagaimana dengan waktu tidurmu?” Alea masih menengadahkan wajahnya tanpa melepaskan pelukannya. “Tidak apa, Sayang. Aku bisa tidur saat Ocean tidur. Bukankah Ocean sangat suka tertidur di siang hari, itu kesempatan untukku,” kekeh hangat serta kegelian Ansel. “Hihi ....” Alea menunjukan tawa manisnya, “baiklah kalau begitu. Aku memercayakan Ocean padamu.” “Tentu.” Kini kecupan Ansel mendarat di atas permukaan bibir Alea seiring menggoda istrinya hingga kedua pipi Alea merona malu-malu. Begitupun dengan bagian inti tubuhnya yang tampak lebih merona yang selalu berhasil memuaskan Ansel. Pagi ini kediaman Adithia sangat hening walau biasanya memang hening, tetapi kali ini jauh lebih hening karena Aisha ditahan suaminya sendiri, dikurung di dalam kamar hingga wanita ini harus memohon, “Aku tidak bisa seharian berada di sini. Lalu siapa yang akan merawat papa. Tolong jangan melakukan ini ....” Punggung dingin Evan dipandangi dengan tatapan lusuh dan sayu. Evan tidak membalik tubuhnya, maka pantulan wajah psikopatnya terlihat jelas dalam permukaan cermin. “Aku melakukannya supaya kamu tidak menerima kedatangan Ansel!” Kedua kancing di pergelangan tangannya dirapihkan bergilir. “Kakak tidak akan datang lagi!” Kali ini dalam permohonan Aisha diselipkan kalimat lantang dengan harapan dapat merubah keputusan Evan mengurungnya di dalam kamar besar ini. Barulah Evan membalik tubuhnya, berdiri gagah, membusungkan dadanya sangat angkuh bersama tatapan dingin. “Kau bisa menjamin itu, Sayang?” “Iya. Kakak tidak akan datang lagi.” Sendu Aisha yang hampir menjatuhkan air mata kesedihannya saat tatapannya mengarah pada Evan. Saat ini Evan memegangi plipisnya sesaat, kemudian melangkah pendek menuju tempat Aisha berdiri sendu. “Astaga Sayang ..., jangan menangis. Baiklah ... aku akan bermurah hati padamu. Silakan keluar dari kamar, tapi hari ini tidak ada keluar rumah ya, Sayang.” Kecupan mendarat di dahi Aisha. Tepatnya adalah kecupan lembut, tetapi tetap melukai Aisha. Maka, akhirnya Aisha dapat menemui Adithia yang menempati kamar besarnya seorang diri. “Pa, maaf Aisha terlambat.” Pelukannya segera mendarat lirih di tubuh ayahnya yang masih terbaring. Maka Adithia segera mengetahui alasan dari sikap putrinya, tetapi tubuhnya sangat lemas hingga tidak memiliki kekuatan untuk membalas pelukan Aisha. Evan berdiri santai di ambang pintu menyaksikan penderitaan yang selalu menyelimuti Adithia, tetapi alih-alih merasa iba justru dia merancang rencana lebih keji. ‘Mungkin jika aku menceritakan penderitaan Ansel maka ayah mertuaku akan cepat mati. Itu sangat bagus karena aku hanya tinggal menaklukan Aisha sebagai jalan menguasai semua harta pria penyakitan itu!’ Seringai berkibar saat hatinya bermonolog keji. Bersambung ....Evan berkata lembut saat berpamitan pada Aisha serta mertuanya, “Sayang, aku tidak bisa terlambat.”Aisha segera menoleh ke arah suami jahatnya. “Aku akan menemani kamu sarapan,” ucap berat hatinya karena wanita ini harus kembali meninggalkan ayahnya. Lirikannya segera mengarah pada Adhitia sebelum berlalu. Tatapannya hanya diisi sendu. Evan berjalan ke arah Adhitia yang terbaring, memasang wajah datar dengan senyuman kaku. “Evan minta maaf karena harus meminjam Aisha sebentar.”Tatapan Adhitia menyimpan amarah besar pada menantu yang dipilihkannya untuk mendampingi Aisha, tetapi dirinya tidak dapat melakukan apapun, tidak dapat mengekspresikan amarah yang selalu membara di dadanya hingga jalan satu-satunya hanya membiarkan Evan berlalu membawa putrinya.Di ruang makan, lagi, Evan mengungkapkan pesannya, “Ingat ya Sayang, kali ini kamu tidak bisa keluar rumah. Andai kamu memaksa sekali pun satpam tidak akan meloloskan kamu.” Senyuman lembutnya, tetapi itu adalah senyuman jahat di mat
“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan. Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya. “Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini. “Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir. Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya. Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian
Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum,
Satu jam kemudian, Alea membiarkan Ansel beristirahat. Dia ingin memberikan waktu tidur lebih lama pada suaminya. Jadi, wanita ini bergegas mengajak Ocean keluar dari rumah tentunya dengan sangat berhati-hati supaya tidak berpapasan dengan Rima. “Apa Rima masih berada di daerah sini?” Ini adalah satu-satunya pertanyaan yang diukir di hatinya. Halaman mulai ditinggalkan, Alea menyusuri jalanan sempit meninggalkan area rumah sewa milik Rina hingga berakhir di lapangan luas. “Aku harus bersembunyi. Tempat ini terlalu terbuka,” cemasnya. Maka, sebuah warung dipilihnya, tentunya dengan jarak cukup jauh dari rumah sewa. Namun, tidak lama Alea duduk di sini Rina menyapa, “Eh, ada Ocean. Tumben di sini,” kekeh hangatnya, tetapi sikapnya membuat Alea terkesiap.“Bu ...,” sahut Alea dengan grogi. Rina segera duduk di bangku panjang di sisi Alea. “Suami kamu sudah pulang, Nak?” tanya lembutnya. “Sudah, Bu ..., Ansel sedang tidur jadi sengaja Alea bawa Ocean kesini.” Senyuman kakunya akibat p
Alea barusaja kembali tiga jam kemudian saat Ocean hendak dimandikan, Ansel masih terlelap sangat damai hingga tanpa sadar senyuman ditarik teduh. “Selamat tidur,” bisiknya.Setelah Ocen dimandikan, bayinya ikut terlelap bersama ayahnya. Saat ini Alea meraih handphone milik Ansel walaupun sebelumnya wanita ini tidak pernah melakukannya karena tidak ada seorang pun yang harus dihubungi. “Eh, ada Aisha?” Maka, pesan adik iparnya dibaca dengan saksama. “Malam ini ada pesta dan Evan akan menghadirinya. Aku tidak boleh lupa mengatakannya pada Ansel!” Wajahnya sedikit memucat karena ini adalah kabar menakutkan. [Ansel sedang tidur, akan aku sampaikan nanti. Aisha, bagaimana kabarmu?] Sebuah chat diluncurkan. Panggilan dari Aisha segera berdering. “Kak, jangan lupa ya. Aku takut kakak kenapa-kenapa kalau bertemu Evan!”“Kakak juga sangat khawatir.” Pun, Alea mengutarakan isi hatinya. “Bagaimana kabar kamu dan papa?” ulangnya dengan cemas.“Keadaan papa masih sama, Kak?” sendu Aisha, sedangk
Alea ternganga mendengar kalimat Ansel. “Kenapa? Harusnya kamu ambil libur saja, kamu bisa beralasan.” “Tidak. Aku harus menghadapi Evan, aku ingin tahu bagaimana dia sekarang dan apakah dia masih berani menjatuhkanku di sana. Supervisor tahu aku adalah putra dari papa, salah satu pemasok berlian di sana.” Ansel berkata tegas.Saat ini ada banyak kekhawatiran yang ingin disampaikan Alea, tapi wanita ini juga tidak bisa melarang niat Ansel toh setidaknya suaminya pintar beladiri walaupun mungkin itu kurang efektif saat mengadapi Evan yang menyerangnya lewat kekuasaan. Puncak kepala Alea dibelai lembut bersama senyuman teduh. “Jangan khawatir, buang khawatir kamu, Sayang. Aku akan baik-baik saja malam ini dan aku akan pulang tepat waktu, aku janji.” Seharusnya janji Ansel menjadi obat ketegangan yang menyerang Alea, tetapi nyatanya tidak. Justru kekhawatiran semakin menjalar. Pada sore harinya Ansel membantu Alea memersiapkan usaha kecil-kecilan istrinya. Pria ini mendukung penuh lan
Evan dan Ansel berjabatan tangan formal. “Sudah lama kita tidak bertemu.” Sikap hangat Evan yang jelas adalah kepalsuan. Namun, Ansel meladeni penjilat di hadapannya ini, dia memasang sikap yang sama. “Aku sibuk.” Kalimat singkat Ansel dengan senyuman hambar. Saat ini tangannya saling menggapai bahu lawan bicaranya, tetapi Evan maupun Ansel saling meremas bahu alih-alih bersikap sebagaimana seorang ipar.“Aku tahu hidupmu berat,” kekeh Evan yang sebenarnya sangat puas, tetapi dibuat seolah sangat iba. Dia tidak pernah memberikan penjelasan apapun pada kolega jika Ansel hidup melarat, maka kalimatnya itu diungkapkan berdasarkan seragam satpam yang akhirnya diketahui semua orang di dalam pesta. “Ya, papa membuatku hidup dari nol. Itu sangat berat, tapi aku yakin akhirnya aku akan sukses seperti papa atau bahkan lebih dari papa.” Kalimat ini adalah sindiran untuk Evan walaupun terpaksa Ansel harus menggunakan ayahnya sebagai kambing hitam karena mereka berbicara di sekitar kolega.Evan
Ansel berdiri di halaman gedung pencakar langit milik Adhitia. Malam sangat dingin dan cukup sunyi, tetapi sinarnya sebagai seorang pewaris tidak redup sama sekali bahkan satpam segera memberikan penghormatan pada CEO yang selama ini dikenali mereka. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” ‘Ternyata Evan tidak mengganti satpam dengan antek-anteknya!’ Rasa puas mulai menjalar perlahan karena hal ini dapat mempermudah dirinya. “Ya. Aku ada urusan di dalam!” Wibawanya ditunjukan. “Silakan, Tuan.” Satpam menggiring Ansel menuju pintu utama gedung. Namun, rupanya kali ini pintu masuk diakses oleh sidik jari. “Di mana ID cart kalian?” Ansel segera menyadari jika dirinya tidak dapat masuk karena tidak ada akses sidik jari miliknya. “Tuan Evan sudah mengganti semua akses karyawan menggunakan sidik jari, Tuan,” penjelasan diberikan pria ini dengan cukup heran karena seharusnya sebagai pewaris tunggal, Ansel sudah memahami setruktur gedung. Sejenak, Ansel menggeram kesal, “Bu