Ansel dan Ocean menyusup ke dalam mobil yang dikendarai Aisha. Seorang bodyguard segera mengikuti mobil milik Aisha atas perintah Evan. “Inilah alasannya kenapa Aisha tidak pernah bisa mengunjungi Kakak ...,” lirihnya saat mengendarai.
“Iya, Kakak mengerti.” Amarah sedang meletup-letup di dalam dada Ansel, tetapi saat ini dirinya belum bisa melakukan apapun untuk membebaskan Adithia dan Aisha.
“Kita akan ke bank. Jadi bodyguardnya Evan akan menyampaikan jika Aisha barusaja menyumbang. Saat Aisha di dalam bank, Kakak dan Ocean harus tetap di sini.”
“Ya.” Singkat Ansel yang terpaksa harus menunduk di jok belakang supaya keberadaannya tidak terlihat.
“Aisha ingin Kakak dan Ocean kembali ke rumah, tapi sebelum itu Aisha akan menghubungi Evan dulu. Aisha harus memastikan Evan tidak akan cepat pulang.” Rasa rindu pada keluarganya masih meletup-letup jadi pertemuan singkat saja tidak akan pernah cukup.
Saat ini Ansel tidak lantas memberikan jawaban. Selama beberapa saat dirinya terjerat dalam kebingungan hingga akhirnya mengambil keputusan. “Kakak akan datang lain kali saja. Kamu tidak perlu menanyakan kembalinya Evan supaya dia tidak curiga.”
“Tapi bagaimana dengan papa. Papa masih ingin bertemu kakak. Pasti Kakak dapat melihat rasa rindu yang menyiksa papa, kan ....” Suara yang diperdengarkan Aisha hanya sendu.
“Kakak menyayangi kamu dan papa. Jadi jangan telepon Evan. Kakak tidak ingin dia curiga dan akhirnya membahayakan kalian.” Lagi, Ansel harus melakukan pengorbanan walaupun selalu terasa perih karena jika diungkapkan rasa rindu pada Adithia dan Aisha akan selalu menghujaninya.
Aisha mendesah, “Baiklah ... nanti Aisha akan mengalihkan perhatian bodyguard agar Kakak dan Ocean bisa keluar dari mobil setelah mendapatkan uangnya.”
Kini Ansel yang mendesah, “Iya. Terimakasih ....” Lirihnya ingin disampaikan, tetapi itu bukanlah hal yang baik karena mungkin Aisha hanya akan tersedu-sedu penuh perih. Jadi, rencana mereka dijalankan dan semuanya berjalan lancar. Namun sebelum Aisha meninggalkan mobil untuk masuk ke dalam bank, Ansel berkata tidak menginginkan semua uang milik adiknya. Intinya pria ini berterimakasih pada kebaikan adiknya hanya saja jangan sampai membuat Evan curiga, jadi Aisha hanya memberikan dua puluh persen dari total tabungannya.
Kini, Ansel dan Ocean kembali menaiki bus dengan membawa uang di dalam tas. ‘Semoga saja Aisha dan papa baik-baik saja. Semoga saja Evan tidak mencium keanehan apapun.’
Namun, kehadiran Ansel sudah didengar oleh Evan sejak awal kedatangannya. Hanya saja laporan yang diterimanya tidak lengkap jadi yang didengarnya hanya sebatas Ansel berlalu setelah akses masuknya diblokir.
Di sisi lain, Aisha juga tidak bodoh. Dia mengganti gembok yang dirusaknya dengan gembok baru yang dibelinya dari toserba walau selalu diawasi bodyguard hingga dirinya meminta pada kasir untuk mengambilkan gembok yang dimaksud.
Satu jam kemudian Ansel kembali ke dalam rumah sewa membawa cukup banyak uang. “Seharusnya uang-uang ini bisa mama kamu gunakan untuk membuat usaha kecil-kecilan di rumah supaya mama tidak perlu bekerja meninggalkan Ocean.” Pria ini tidak akan menggunakan uangnya untuk hal-hal tidak bermanfaat. Isi kepalanya mengatakan jika uang ini harus berputar supaya tidak habis. “Tapi itupun andai mama kamu setuju.” Senyuman kecil Ansel diarahkan pada putranya yang kembali terlelap setelah menyusu.
Pukul empat sore tiba. Alea pulang dengan napas terengah-engah karena khawatir Ansel kembali meninggalkan Ocean, tetapi senyuman mengembang tenang saat melihat anaknya tetap berada dalam pangkuan Ansel.
“Sayang, bagaimana hari-hari kamu,” sambutan hangat Ansel.
“Baik. Sangat baik.” Senyuman masih mengembang di wajah Alea. Kecupan segera mendarat di pipi Ocean. Kemudian mengeluarkan uang dari dalam tas kecilnya. “Ini gaji pertamaku.” Bangganya.
“Syukurlah ....” Ansel menunjukan senyuman penuh dukungan untuk istrinya yang telah bersedia berjuang bersama.
Malam tiba, barulah Ansel menceritakan kunjungannya pada kediaman orangtuanya hingga Alea excited mendengarnya. Terdapat perasaan bahagia tetapi juga bercampur cemas, “Apa Evan tidak tahu?”
“Tidak. Dia tidak di rumah. Tapi dia sangat lancang karena memerintahkan semua penjaga keamanan untuk tidak meloloskanku!” Dengusan berang Ansel saat mengingat yang barusaja terjadi.
Alea segera mengusap lengan Ansel. “Jangan marah. Kita semua sudah tahu bagaimana Evan.” Wanita ini tidak ingin suaminya tenggelam dalam kebenciannya pada pria itu.
Udara pendek dibuang Ansel. Pria ini segera menutup pembahasan tentang Evan, lalu membukanya dengan kabar gembira. “Aku mendapatkan banyak uang dari Aisha.” Tumpukan uang ditunjukan pada Alea walau jumlahnya tidak terlalu banyak untuk Ansel di masa lalu, tetapi untuk Ansel di kehidupannya yang sekarang uang-uang ini terlihat sangat banyak.
Alea menutup mulutnya yang menganga. “A-isha memberikannya? Tapi bukankah Aisha tidak memegang uang sepeser pun.” Ini adalah salah satu hal mengerikan yang didengar Alea dan Ansel.
“Ya. Tapi sekarang Aisha sudah memiliki kartu bank. Hanya saja untuk brankas dan lainnya masih dikuasi si bedabah itu!” Dengusan kasar selalu menyertai Ansel setiap kali membahas kelicikan serta kejahatan Evan.
“Syukurlah.” Alea dibuat sedikit tenang saat mendengar keadaan Aisha kini, tetapi cemas tetap dirasakannya, “tapi ... alasan apa yang akan dikatakan Aisha pada Evan? Apa kalian yakin Evan tidak akan mencari tahu.”
“Tidak perlu dipikirkan. Aisha sudah tahu apa yang akan dikatakannya nanti.” Ansel tidak ingin pembahasan pilu ini berlangsung panjang lebar maka jawaban itu yang diberikannya. Kini, dia membahas uang di hadapan mereka. “Kalau kamu bersedia, buatlah sebuah usaha kecil-kecilan di rumah supaya Ocean tetap menjalani hari-harinya bersama kamu.” Tatapan Ansel mengandung banyak harapan pada Alea, berharap istrinya menyetujui usulannya.
Alea memandangi tumpukan uang yang berada di hadapannya. Tanpa basa-basi jawaban diberikan, “Baiklah ....”
Ansel segera menghadiahkan kecupan serta pelukan hangat penuh kasih untuk Alea. Namun, di balik kebahagiaan mereka ada Aisha yang mendapatkan interograsi dari Evan. “Kenapa Ansel bisa datang kemari. Apa kamu mengundangnya, Sayang?” Nada suaranya selalu manis hanya saja isi kalimatnya sangat pahit di ruang dengar Aisha.
“Wajar kan Kakak kesini toh ini juga rumah kakak!” Aisha sedikit meninggikan suaranya, kemudian memasang tatapan tidak suka pada Evan, “seharusnya kamu mengizinkan kakak masuk. Ingat. Ini rumah kami!” Wanita ini memberanikan diri melakukan perlawanan kecil pada Evan.
Senyuman sarkasme ditunjukan Evan, kemudian mengutarakan kalimat jahat dengan santai, “Sekali lagi aku mendapatkan laporan kehadiran Ansel di sini, maka aku tidak akan segan membuatnya dipecat dari pekerjaannya. Kamu tahu sendiri kan Sayang, akibat jika Ansel dipecat. Bukankah ... kehidupannya akan semakin melarat. Hahahaha!” Tawa puasnya mengudara hingga seakan memecah ruang dengar Aisha.
Bersambung ....
Aisha ingin mengekspresikan kekesalannya, tetapi ditahan serapat mungkin karena bisa saja membuat Evan murka dan berakhir membahayakan mereka semua terutama Ansel. “Kak Ansel tidak akan datang lagi.” Tatapan nanarnya.“Bagus.” Senyuman lembut dibentuk Evan kemudian mengecup permukaan bibir tipis Aisha yang berujung pada hubungan ranjang panas. Sementara, Ansel kembali menjalani propesinya sebagai satpam yang dimulai sejak pukul sebelas malam. Persenjataan yang dibutuhkannya mulai dikantongi, mulai dari senjata ringan yaitu tongkat kayu, hingga pada senjata yang cukup mengerikan yaitu pistol listrik kemudian terakhir senjata api yang hanya dipakai di saat paling genting saja. Itupun hanya bisa diarahkan pada bagian betis atau organ tubuh lainnya yang tidak akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.Ansel menjadi penjaga keamanan tempat berkumpulnya berlian mahal dan banyak juga berlian langka yang tinggal di dalam gedung ini, maka persenjataan penjaga keamanan di sini berbeda denga
Evan berkata lembut saat berpamitan pada Aisha serta mertuanya, “Sayang, aku tidak bisa terlambat.”Aisha segera menoleh ke arah suami jahatnya. “Aku akan menemani kamu sarapan,” ucap berat hatinya karena wanita ini harus kembali meninggalkan ayahnya. Lirikannya segera mengarah pada Adhitia sebelum berlalu. Tatapannya hanya diisi sendu. Evan berjalan ke arah Adhitia yang terbaring, memasang wajah datar dengan senyuman kaku. “Evan minta maaf karena harus meminjam Aisha sebentar.”Tatapan Adhitia menyimpan amarah besar pada menantu yang dipilihkannya untuk mendampingi Aisha, tetapi dirinya tidak dapat melakukan apapun, tidak dapat mengekspresikan amarah yang selalu membara di dadanya hingga jalan satu-satunya hanya membiarkan Evan berlalu membawa putrinya.Di ruang makan, lagi, Evan mengungkapkan pesannya, “Ingat ya Sayang, kali ini kamu tidak bisa keluar rumah. Andai kamu memaksa sekali pun satpam tidak akan meloloskan kamu.” Senyuman lembutnya, tetapi itu adalah senyuman jahat di mat
“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan. Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya. “Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini. “Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir. Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya. Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian
Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum,
Satu jam kemudian, Alea membiarkan Ansel beristirahat. Dia ingin memberikan waktu tidur lebih lama pada suaminya. Jadi, wanita ini bergegas mengajak Ocean keluar dari rumah tentunya dengan sangat berhati-hati supaya tidak berpapasan dengan Rima. “Apa Rima masih berada di daerah sini?” Ini adalah satu-satunya pertanyaan yang diukir di hatinya. Halaman mulai ditinggalkan, Alea menyusuri jalanan sempit meninggalkan area rumah sewa milik Rina hingga berakhir di lapangan luas. “Aku harus bersembunyi. Tempat ini terlalu terbuka,” cemasnya. Maka, sebuah warung dipilihnya, tentunya dengan jarak cukup jauh dari rumah sewa. Namun, tidak lama Alea duduk di sini Rina menyapa, “Eh, ada Ocean. Tumben di sini,” kekeh hangatnya, tetapi sikapnya membuat Alea terkesiap.“Bu ...,” sahut Alea dengan grogi. Rina segera duduk di bangku panjang di sisi Alea. “Suami kamu sudah pulang, Nak?” tanya lembutnya. “Sudah, Bu ..., Ansel sedang tidur jadi sengaja Alea bawa Ocean kesini.” Senyuman kakunya akibat p
Alea barusaja kembali tiga jam kemudian saat Ocean hendak dimandikan, Ansel masih terlelap sangat damai hingga tanpa sadar senyuman ditarik teduh. “Selamat tidur,” bisiknya.Setelah Ocen dimandikan, bayinya ikut terlelap bersama ayahnya. Saat ini Alea meraih handphone milik Ansel walaupun sebelumnya wanita ini tidak pernah melakukannya karena tidak ada seorang pun yang harus dihubungi. “Eh, ada Aisha?” Maka, pesan adik iparnya dibaca dengan saksama. “Malam ini ada pesta dan Evan akan menghadirinya. Aku tidak boleh lupa mengatakannya pada Ansel!” Wajahnya sedikit memucat karena ini adalah kabar menakutkan. [Ansel sedang tidur, akan aku sampaikan nanti. Aisha, bagaimana kabarmu?] Sebuah chat diluncurkan. Panggilan dari Aisha segera berdering. “Kak, jangan lupa ya. Aku takut kakak kenapa-kenapa kalau bertemu Evan!”“Kakak juga sangat khawatir.” Pun, Alea mengutarakan isi hatinya. “Bagaimana kabar kamu dan papa?” ulangnya dengan cemas.“Keadaan papa masih sama, Kak?” sendu Aisha, sedangk
Alea ternganga mendengar kalimat Ansel. “Kenapa? Harusnya kamu ambil libur saja, kamu bisa beralasan.” “Tidak. Aku harus menghadapi Evan, aku ingin tahu bagaimana dia sekarang dan apakah dia masih berani menjatuhkanku di sana. Supervisor tahu aku adalah putra dari papa, salah satu pemasok berlian di sana.” Ansel berkata tegas.Saat ini ada banyak kekhawatiran yang ingin disampaikan Alea, tapi wanita ini juga tidak bisa melarang niat Ansel toh setidaknya suaminya pintar beladiri walaupun mungkin itu kurang efektif saat mengadapi Evan yang menyerangnya lewat kekuasaan. Puncak kepala Alea dibelai lembut bersama senyuman teduh. “Jangan khawatir, buang khawatir kamu, Sayang. Aku akan baik-baik saja malam ini dan aku akan pulang tepat waktu, aku janji.” Seharusnya janji Ansel menjadi obat ketegangan yang menyerang Alea, tetapi nyatanya tidak. Justru kekhawatiran semakin menjalar. Pada sore harinya Ansel membantu Alea memersiapkan usaha kecil-kecilan istrinya. Pria ini mendukung penuh lan
Evan dan Ansel berjabatan tangan formal. “Sudah lama kita tidak bertemu.” Sikap hangat Evan yang jelas adalah kepalsuan. Namun, Ansel meladeni penjilat di hadapannya ini, dia memasang sikap yang sama. “Aku sibuk.” Kalimat singkat Ansel dengan senyuman hambar. Saat ini tangannya saling menggapai bahu lawan bicaranya, tetapi Evan maupun Ansel saling meremas bahu alih-alih bersikap sebagaimana seorang ipar.“Aku tahu hidupmu berat,” kekeh Evan yang sebenarnya sangat puas, tetapi dibuat seolah sangat iba. Dia tidak pernah memberikan penjelasan apapun pada kolega jika Ansel hidup melarat, maka kalimatnya itu diungkapkan berdasarkan seragam satpam yang akhirnya diketahui semua orang di dalam pesta. “Ya, papa membuatku hidup dari nol. Itu sangat berat, tapi aku yakin akhirnya aku akan sukses seperti papa atau bahkan lebih dari papa.” Kalimat ini adalah sindiran untuk Evan walaupun terpaksa Ansel harus menggunakan ayahnya sebagai kambing hitam karena mereka berbicara di sekitar kolega.Evan