Di tempat terpisah, Yunada sangat geram ketika diganggu oleh dua pemuda asing ketika ia sedang berjalan-jalan di pusat keramaian kuta, tepatnya di pusat alun-alun kuta utama Kuta Tandingan yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sanggabuana. "Hai, Gadis manis!" ucap salah seorang pemuda mulai menggoda Yunada. "Wajahmu seperti Dewi Kahyangan. Bolehkah kami berkenalan denganmu," sambungnya penuh rayuan. Dua pemuda itu terus menggoda Yunada sambil membuntuti langkah gadis cantik itu. Mereka tidak mengetahui jika Yunada itu adalah putri Senapati Lintang, sehingga mereka berani menggodanya dan terus mengikuti langkah Yunada. Awalnya Yunada memang bersikap ramah dan tidak menampakkan kemarahan. Namun, tiba-tiba saja salah seorang dari dua pemuda tersebut dengan tidak sopan memegang lengan Yunada. Dengan demikian, Yunada langsung menghantam kepala pemuda itu dengan begitu kerasnya. Tindakan Yunada sontak membuat pemuda yang satunya lagi geram dan langsung mendekati Yunada yang bernyali b
Setelah pamit kepada sang raja dan sang ratu, Sami Aji langsung pamit kepada kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Saketi, ia sungkem kepada Mahapatih Randu Aji yang tiada lain adalah pamannya sendiri. Setelah itu, Ratu Arimbi kembali memanggil putranya, "Saketi, kemarilah!" Dengan cepat, Saketi langsung menghampiri sang ratu. "Ada apa, Bunda?" "Sebaiknya kamu pamit dulu kepada calon istrimu, Nak!" bisik Arimbi mengarah kepada putranya. "Iya, Bunda," sahut Saketi lirih. Dengan demikian, Saketi langsung melangkah menghampiri Yunada yang kebetulan ikut berkumpul di ruang utama istana kerajaan. "Aku pamit, Yunada," ucap Saketi suaranya terdengar berat. Seakan-akan, ia merasa sedih harus meninggalkan Yunada dalam waktu yang cukup lama. "Iya, Kakang. Aku harap, Kakang tidak melupakan aku!" jawab Yunada lirih sambil melontarkan senyum manisnya. Akan tetapi, wajahnya tampak mendung, seakan-akan ada rasa sedih menyelimut jiwa dan pikirannya kala itu. Begitu pun dengan apa yang dirasak
Tanpa banyak basa-basi lagi, para penjahat itu bangkit dan langsung membawa kawan mereka yang sudah tewas di tangan Sami Aji. Mereka pun bergegas meninggalkan tempat tersebut, langsung masuk ke dalam hutan. Sami Aji berpaling ke arah Saketi. "Kau tidak apa-apa, Pangeran?" tanya Sami Aji lirih. "Aku baik-baik saja," jawab Saketi tersenyum lebar. "Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan. Sebentar lagi kita akan tiba di kadipaten Kuta Gandok!" ajak Sami Aji lirih. Dengan demikian, kedua kesatria muda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke arah timur. Tepatnya menuju kadipaten Kuta Gandok. Setibanya di kadipaten tersebut, Saketi langsung mengajak Sami Aji untuk beristirahat sejenak di sebuah warung makan yang ada di pinggiran jalan utama kuta tersebut. "Kata ayahandaku, kadipaten ini dulunya merupakan kadipaten pertama yang berdiri di masa terbentuknya kerajaan Sanggabuana," terang Saketi berkata kepada Sami Aji dengan meluruskan dua bola matanya ke arah saudara sepupuny
Dengan demikian, Saketi langsung bangkit dan segera melangkah masuk ke dalam saung perkemahan yang berukuran kecil, cukup untuk tidur dua orang dewasa saja. Sementara Sami Aji masih tetap duduk di depan api unggun sambil menikmati ubi yang baru saja ia bakar. Sami Aji sangat menghormati saudara sepupunya itu. Karena Saketi usianya lebih tua satu tahun darinya, ia tetap berlaku sopan terhadap Saketi, walau bagaimanapun Saketi adalah putra mahkota yang harus dihormati dan ia lindungi. Keselamatannya adalah tanggung jawab Sami Aji. Beberapa saat kemudian, Saketi sudah terlelap tidur begitu juga dengan Sami Aji, ia sudah mulai dilanda rasa ngantuk makanan dalam pegangannya pun tidak sempat ia habiskan. Lantas, ia pun tertidur pulas. Mereka tampak begitu kelelahan, setelah seharian menempuh perjalanan yang cukup jauh. Ditambah lagi dengan melakukan sebuah pertarungan dengan sekelompok orang-orang tidak dikenal, sudah barang tentu sangat menguras tenaga mereka. Ketika malam sudah mulai s
Junada pun bercerita, bahwa dirinya sudah hampir satu tahun berkelana mencari keberadaan putranya yang telah hilang secara misterius. Meskipun, ia sudah tahu kabar, bahwa putranya dibawa oleh siluman serigala. Namun, Junada masih penasaran dan terus melakukan pencarian. Setelah hampir satu tahun lamanya mencari keberadaan putranya yang hilang, Junada mendapat kabar dari seorang pria senja yang bernama Ki Ronggo, orang tua itu menyatakan bahwa putranya telah tewas menjadi tumbal ritual kesaktian petinggi istana. Namun, Ki Ronggo tidak menyebutkan siapa orangnya yang telah berbuat sedemikian rupa. Berkat informasi dari Ki Ronggo, akhirnya Junada mulai menghentikan usahanya dalam mencari keberadaan putranya, karena sudah putus harapan. Ia yakin kabar dari Ki Ronggo memang benar adanya. "Ki Ronggo?!" desis Saketi saling berpandangan dengan Sami Aji. "Ya, Ki Ronggo. Beliau adalah penasihat istana kerajaan Kuta Tandingan di masa kekuasaan Prabu Sanjaya kakek Pangeran," tandas Junada. Sa
Junada kembali berpaling ke arah makhluk tersebut. Dengan sikap sempurna, ia mulai memusatkan perhatian terhadap lawannya itu. Kaki kanannya melebar ke samping, lalu menghentakkan tubuhnya dan meluncur ke udara. Satu serangan sudah dimulai oleh Junada melalui arah yang tak terduga oleh makhluk tersebut. Junada meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi sambil menjulurkan tangan hendak menyasar kepala makhluk tersebut. Walau demikian, makhluk itu sangat peka terhadap serangan Junada. Ia mengelak dan berusaha untuk menghantam pundak Junada dengan pukulan berkekuatan tinggi. "Awas, Paman!" teriak Sami Aji memberitahu Junada ketika makhluk itu hendak memukulnya. Namun, Junada sudah tak dapat menepis serangan tersebut. Sehingga ia pun terjatuh akibat sentuhan tangan dari makhluk tersebut yang menyebabkan dirinya jatuh bergelimpangan hingga jarak yang sangat jauh. "Paman!" teriak Sami Aji cemas. Sami Aji pun mulai bersiap untuk segera melakukan perlawanan terhadap makhluk itu. Namun, S
Mereka terus berbincang hangat, sambil menunggu matahari terbit. Hari itu, mereka akan melanjutkan perjalanan menuju utara wilayah kepatihan Waluya Jaya. "Sebaiknya kita harus mencari jalan yang lebih aman lagi. Jangan menyusuri jalan yang ini!" kata Junada menyarankan, pandangannya terarah ke sebuah jalan yang ada di pinggiran hutan tersebut. "Kita akan sampai ke daerah mana jika melewati jalur lain, Paman?" tanya Sami Aji mengerutkan kening sambil menatap wajah pria paruh baya itu. "Setelah melewati jalur yang hendak kita tuju, kita akan langsung tiba di sebuah desa kecil yang ada di wilayah utara kepatihan Waluya Jaya dan akan langsung tiba di sebuah padepokan yang ada di desa selanjutnya, setelah melewati desa kecil itu!" jawab Junada menerangkan. "Tapi kalian jangan kaget! Ketika para pendekar sakti yang ada di desa tersebut menyambut kita dengan sikap penuh kecurigaan. Tentu mereka akan berhati-hati terhadap tamu yang tidak mereka kenali," tambah Junada menuturkan. Saketi dan
Pria paruh baya itu tidak lantas menjawab pertanyaan dari sang pangeran. Ia justru merasa kaget dan tercengang dengan kehadiran tiga orang yang tidak dikenalnya itu. Tak dapat dipungkiri bahwa "Tenang, Ki Sanak! Kami para pendekar pengelana, Ki Sanak tidak usah takut! Kami bukan orang jahat." Saketi berusaha meyakinkan pria paruh baya itu. Dengan demikian, pria paruh baya itu mulai bernapas lega. Ia maju dua langkah mendekati Saketi, lantas pria paruh baya itu balas bertanya, "Kalian berasal dari mana, Raden?" Saat itu bukanlah Saketi yang menjawab. Akan tetapi Junada, ia melangkah maju, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari pria paruh baya itu dengan sikap ramahnya, "Mohon maaf, Ki Sanak. Kami adalah tiga pendekar pengembara. Tujuan kami datang ke desa ini hanya untuk singgah barang sebentar, karena kami hendak membeli seekor kuda untuk melanjutkan perjalanan kami ke wilayah kepatihan Waluya Jaya," timpal Junada dengan suara lirihnya. "Ya, aku percaya. Tampang kalian tidak menun