Satu tamparan keras mendarat dipipi kananku. Semua itu disebabkan oleh note dalam gadget yang tidak sengaja terbaca oleh kakek.Aku memiliki trauma mendalam sejak umur sepuluh tahun. Diakibatkan melihat baku tembak yang terjadi di rumah.Dalam ingatan, suara desing peluru beradu serta darah yang menggenang hampir melumuri lantai putih. Selebihnya aku tidak ingat apa yang terjadi kemudian.Kami pindah rumah ke wilayah ini untuk meneruskan hidup dengan tenang, berbagai macam rangkaian terapi rutin aku lakukan untuk menghilangkan trauma. Salah satunya dengan menulis kegiatan keseharianku, cukup ampuh mengurangi pikiran cemas yang berlebih serta menstabilkan emosi yang mudah meluap."Apa kamu pantas memiliki perasaan itu!?"Kakek membentak didepan kedua orangtuaku, tapi tidak ada satupun dari mereka merespon untuk membela. Keduanya malah terdiam sambil melayangkan tatapan menghakimi.Beruntung Thea tidak melihat semua ini, dia sedang pergi les piano. Jika saat ini dia ada, apa pandang
Suara pintu besi terbuka memunculkan sesosok laki-laki jangkung. "Berdiri!" Aku tidak ada keharusan menuruti perintahnya. Siapa dia! Maka aku jawab dengan dengusan nafas.Tanpa aba-aba dia berlari kearahku dan meninju wajah bagian kiri. Apa dia sinting!Karena mendapat bogeman mentah, emosi dalam dirku juga tersulut. Aku pernah belajar seni bela diri dari korea. Sial! Tendanganku tidak mempan untuknya. Tubuh itu terlalu kekar untukku. Sekarang kakiku malah berada dalam genggamannya. Secepat kilat dia memelintir hingga tubuhku ikut terjungkal."Arghhhhhhh!" Sakit sekali rasanya. Kakiku patah. Dia terus melanjutkan aksinya. Berjalan selangkah demi selangkah untuk mengintimidasiku. Sedang akan aku mengesot menghindari.Mentok. Tembok menghalangi punggungku. Satu lagi layangan tinju. Aku pasrah. Sudah tidak tahu berapa kali dia memukuli wajahku. Terkapar. Aku berharap mati saja kali ini. Disiksa seperti ini membuatku kepayahan baik secara fisik maupun secara mental. Rasa amis dan
"Jangan berisik nanti Kakak bangun.""Kamu sedang apa disini?""Aku bosan dirumah." Suara dua orang? Kenapa berat sekali untuk membuka mata. Sekujur tubuhku semuanya terasa sakit.Aku masih hidup? Padahal aku berharap mati saja, lebih baik daripada hidup tanpa tujuan."Lihat tangannya bergerak.""Cepat panggil Kak Eva!" Genta, bocah yang aku temui diruang bawah tanah dan yang baru saja pergi tadi pastilah Raka. Ada yang aneh, aku mengenali wajah mereka, Tapi terasa berbeda auranya. Bahkan bentuk tubuh mereka sudah berbeda. Mereka bukan anak kemarin sore, mereka sudah tumbuh menjadi laki-laki muda.Hal terakhir yang aku ingat adalah Ayah memukuliku dengan tongkat besi sebelum dia akhirnya menembakkan beberapa peluru kepadaku."Untung peluru itu tidak menembus organ vital. Semuanya masih bisa diselamatkan. Mungkin butuh beberapa bulan untuk pulih."Ingin aku ucapkan terima kasih, tapi mulutku tidak bisa menyuarakan itu. Hanya erangan kosong yang tanpa arti."Tuan Muda mungkin tidak b
"Cuman ini yang bisa aku lacak." Kami sedang berkumpul di meja makan. Raka turun sambil menyerahkan tumpukan kertas yang dia jepit diatas papan dada. Aku pikir ini akan setebal aset-aset keluarga Theodora. Nyatanya kurang dari lima puluh lembar. "Apa... Enggak sesuai ekspetasi Kakak?" Raka mulai bergabung menyantap makan malam miliknya. "Aku jamin! Ini paling akurat. Kakak mau cari dimanapun engga akan seakurat yang aku temukan ini." Lanjutnya lagi."Kenapa bisa begtu?""Karen Tuan sudah menghapus dan mengganti sebagian besar data dirinya.""Wah. Aku pikir selama ini Tuan memang anak kandung dari Tuan besar.""Maksud kamu?" Tanyaku pada Genta yang mulai memperhatikan Raka. "Sepertinya kalau aku yang ngomong, kalian engga akan percaya. Gimana kalau Kak Eva aja?" Usul Raka sambil menyendokan nasi ke mulutnya. Kini lagi-lagi semua mata tertuju pada Eva. "Tuan adalah menantu Tuan besar. Sama seperti kalian. Dia adalah anak yang diselamatkan dari peperangan antar anggota mafia.""Ap
Sesuai rencana diawal, maka aku akan mulai dari tempat yang terdekat denganku.Selain untuk memudahkan ku menyusun rencana, juga menghindari agar tidak terlalu menimbulkan perhatian dari berbagai pihak.Hanya kami bertiga yang berangkat ke pelabuhan. Menurut Eva kehadiran dia dan adiknya sudah cukup bisa menjagaku.Mobil berhenti di salah satu gudang di samping pelabuhan.Aku mulai gugup, di depan pintu saja sudah ada dua orang yang berjaga."Ini." Evan yang duduk di kursi pengemudi menengok dan menyerahkan satu senjata api.Jenis Glock tapi aku tidak yakin ini tipe yang mana.Isinya bisa enam sampai delapan peluru tergantung tipe. Kecepatan dan jarak tembaknya juga berbeda-beda dalam setiap tipe. Mungkin aku harus mulai mecari tahu tentang jenis-jenis senjata api dalam waktu dekat ini."Tuan muda tidak usah diberi." Eva mengambil langsung dari tangan adiknya."Apa salahnya? Dia butuh itu sebagai jaga-jaga.""Bisa saja ini menjadi senjata makan tuan, bagi Tuan muda yang belum terbias
Sudah seminggu untuk insiden akuisisi pelabuhan. Aku harus kembali kesana untuk mengisi kekosongan akibat terbunuhnya pemimpin mereka. Kata Eva mereka tidak boleh dibiarkan kebingungan. Hari ini, tidak seperti kemarin. Kami mengganti formasi. Evan tidak ikut sebab digantikan oleh Raka. Raka akan bertugas untuk menyiapkan segala keamanan gudang. Akan ada pemasangan cctv dan pemasangan kode agar tidak akan bisa sembarang orang masuk kedalam gudang nantinya. Eva masih ikut sebagai pelindungku. Itu yang dilontarkanya. "Jadi ini tempatnya?" Raka mengedarkan pandangannya. Bahkan sampai kepala dan badannya ikut berputar-putar. Mengajaknya kemari seperti mengajak anak pergi ke taman wisata. Ada dua koper berukuran besar yang ikut di dereknya."Apa ada masalah?" Tanyaku saat melihat senyuman di wajahnya tiba-tiba hilang."Hm, listriknya. Kayaknya ini gudang tua yang usang.""Kamu berharap ini apa? Taman bermain?""Seenggaknya instalasi listriknya memadailah." Setelah kami masuk mere
"Duh, ngapain kita disini sih?" Evan terlihat berjalan ogah-ogahan melintasi taman depan. "Bawa yang aku pesan?" Genta mengacungkan dua keresek besar di tangannya. Yup. Hari ini aku ingin sedikit merayakan keberhasilan kita. Merayakan diarea pelabuhan. Lebih tepatnya di halaman rumah singgah. Aku menamai rumah yang dulunya dimiliki boss dengan nama rumah singgah. Siapa pun bisa menggunakannya tidak hanya untukku saja. Satu peti kayu berisikan daging sapi segar dan yang satunya lagi berisi daging ikan. Ini adalah pemberian anak buah baruku. Kami ingin mengadakan barbeque. Genta dan Evan, aku suruh berbelanja keperluan tambahan. Seperti sayuran dan saus yang akan dipakai. Surya membantu mempersiapkan peralatan panggang dan piring yang sudah tersedia di rumah ini. Eva membantu menyiapkan meja panjang di luar ruangan untuk tempat kami menikmati hidangan nantinya setelah semua ini matang. Lagi-lagi aku teringat keluarga Theodora. Mungkin sebenarnya aku melakukannya karena meri
"Yakin?" Genta memandang orang yang mengantri di bandara. Jujur aku tidak percaya diri. Jadi aku ajak saja semuanya sekalian. Termasuk semua anak buah di pelabuhan. Dibantu oleh Eva, kami memesan khusus penerbangan umum hanya untuk perjalanan kami. Jet pribadi yang di miliki keluarga Theodora di Bali tidak mampu menampung penumpang sebanyak ini. Kami gunakan saja fasilitas umum yang dimodifikasi sedikit demi kenyamanan kami maupun penumpang lainnya. "Gunanya bawa anak buah segini banyak apa coba?" Genta kembali berkomentar. "Ya enggak apa-apa dong. Makin banyak orang makin seru perjalanan kita." Raka menimpali dengan ceria. "Aku rasa tumbal segini cukup untuk menyelamatkan kita di situasi genting." Sekarang giliran Evan yang angkat bicara. "Heh! Maksudnya tumbal apaan?" Mulai lagi. Raka dan Evan bertengkar. Disana juga semuanya sudah dikoordinasi dengan baik oleh Eva. Dia sangat berjasa untuk urusan seperti ini. Mungkin jika semuanya sudah selesai aku akan mengangkat Eva men