"Ceraikan suamimu dan menikahlah dengan Sean. Dia jauh lebih baik dibanding lelaki miskin itu!" bentak Rudi yang tak lain adalah ayahnya Alana.
"Tapi aku sangat mencintai Evan, Ayah! jangan paksa aku berpisah dengannya!" Hati Alana sangat sakit mendengar ucapan tak pantas yang keluar dari mulut ayahnya sendiri.“Apa yang bisa kamu banggakan dari suami miskin seperti dia? Hanya kerja serabutan, mana bisa mencukupi keseharian kalian!” sentak Rudi dengan penuh emosi.Rudi datang ke rumah Alana saat sore hari, ia ingin memastikan keadaan sang anak yang katanya tidak tercukupi setelah menikah dengan Evan empat bulan yang lalu."Yang terpenting kan aku masih bisa hidup dengan baik, Yah," jawab Alana, “bagiku, terlepas Evan bekerja seperti apa, yang penting dia tidak melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum dan agama,” Lanjutnya."Ayah tak terima melihatmu bersama dengan pria miskin itu, Alana!" bentak Rudi lagi, "coba kamu bayangkan, seandainya kamu menerima saat dijodohkan dengan Sean, sudah pasti hidupmu saat ini tidak akan susah," sindir Rudi, mengungkit-ungkit lelaki yang Alana tolak.Alana tertunduk diam dan tidak membantah, kata-kata menyakitkan seperti ini bukan hanya sekali atau dua kali ia dengar dari Rudi. Bahkan Ibu dan juga Adik laki-lakinya pun terus menerus menyudutkan Evan karena latar belakangnya yang miskin dan hanya bekerja serabutan.Bahkan, Adik lelaki Alana yang bernama Brian pun juga sering mengatakan hal menyakitkan seperti itu. Jangankan menghargai sang Kakak ipar, adiknya Alana itu bahkan berani menghina dan merendahkan suami dari kakaknya tersebut."Sudahlah, lebih baik Ayah jangan mengomel terus. Evan pun tentunya tidak ingin terlahir dengan kehidupan yang sulit. Mungkin saja, memang sudah takdirku yang seperti ini, Yah," jelas Alana sembari meminta Rudi untuk duduk dengan maksud agar Ayahnya itu menjadi lebih tenang."Salah Ayah yang merestui hubungan kalian." Walaupun nadanya mengecil, Alana masih dapat mendengarnya dengan jelas, rasanya sangat sakit saat Rudi mengatakan telah menyesal merestui pernikahan mereka."Ayah! Jangan bicara seperti itu," sergah Alana. "Apa ayah rela melihatku lebih menderita Ketika tidak menikah dengan Evan?!" sambungnya."Ayah bisa menjodohkanmu dengan laki-laki lain yang bisa kamu cintai, Alana. Jangan berpikir bahwa kamu itu tidak memiliki apa pun, kamu itu cantik serta pandai, dan juga pantas mendapatkan yang lebih baik dari Evan!" sentak Rudi lagi.Alana langsung bangkit berdiri, meninggalkan ruang tamu dan menuju dapur."Kalau Ayah masih terus ingin mengomel, lebih baik Ayah pulang, sebentar lagi Evan sampai rumah dan aku tidak ingin dia mendengar omelan Ayah.""Alana! Sudah berani kamu, ya!" Rudi beranjak dari kursi dan langsung pergi dari rumah anak perempuannya itu.Alana menangis dalam diam, air mata mengalir perlahan membasahi pipi, dadanya terasa sesak setiap kali mendengar sang Ayah selalu menghina suaminya."Aku pulang!" suara Evan terdengar dari pintu, Alana buru-buru menghapus air mata."Oh, kamu pulang telat hari ini," jawab Alana sembari mengusap air mata dan mencoba untuk menenangkan diri supaya tidak menangis lagi."Matamu sembab, kamu habis menangis?" tanya Evan."A-ah iya, ini aku menangis karena gagal membuat kue," jawab Alana berbohong, agar suaminya tak curiga."Benarkah? Tidak apa-apa, kamu bisa mencobanya lagi, jangan menyerah sebelum berhasil!” jawab Evan, mengelus lengan Alana. Hal itu membuatnya semakin merasa nyaman karena sikap lembut sang suami."Kamu lapar, kan? Sayang sekali, aku tidak masak apa pun hari ini.”“Ya sudah, kita beli saja. Di depan gang sana, aku lihat tadi ada tukang sate, kamu mau?”“Mau!” jawab Alana dengan semringah.Setidaknya, kedatangan Evan dapat membuatnya melupakan sejenak omongan Rudi tadi.Alana pun bergegas untuk mandi, ia sekilas melihat Evan sedang menghubungi seseorang di depan rumah, hal itu membuat Alana berpikir jika atasan suaminya mungkin sedang mengomel lagi, karena pendapatan dari toko hari ini yang sepertinya tak mencapai target.Alana merasa kasihan pada Evan, karena harus mati-matian bekerja keras demi dirinya. Terbesit niat untuk bekerja supaya bisa membantu suaminya. Karena itulah, Alana memutuskan untuk mencari kerja esok hari.Sedangkan di depan rumah, Evan tampak masih asyik berbincang di telepon selagi menunggu Alana selesai mandi.“Pak, Anda harus segera muncul di rapat penting perusahaan kali ini, karena, para investor ingin Anda sendiri yang mengurus persoalan ini," ujar Danu, yang merupakan asisten pribadi Evan. Selama ini dialah yang telah membantu untuk menyembunyikan identitas Evan yang sebenarnya kepada Alana dan keluarga.“Suruh mereka untuk datang lagi, besok pukul 09.00,” jawab Evan.“Baik Pak, apakah besok, Anda ingin saya jemput?” tanya Danu dengan hati-hati.“Tidak usah, aku akan berangkat ke kantor sendiri.”Setelah Evan menutup telepon, Alana memanggil untuk menyuruhnya membersihkan diri.“Kamu cantik sekali, sayang," puji Evan pada Alana yang memang bukan hanya parasnya saja yang cantik, tetapi hatinya pun cantik.“Tidak usah menggombal, lebih baik sekarang kamu membersihkan diri, lalu kita berangkat makan.”“Baik, Ibu Ratu!” ledek Evan.Setelah selesai mandi, Evan pun segera bersiap.“Maaf, ya. Aku hanya bisa mengajakmu membeli sate, itu pun di pinggir jalan. Lain kali, aku berjanji akan membawamu makan ke restoran mahal dan enak!” sungguh Evan merasa kasihan pada Alana gara-gara harus merasakan hidup sulit karena kebohongan yang dilakukannya.“Iya, iya, aku tak masalah meski kita harus membeli makanan di pinggir jalan. Justru aku yang harus minta maaf, karena belum bisa menjadi istri yang bisa kamu banggakan. Bahkan, aku sama sekali tak bisa membantu perekonomian kita," ucap Alana dengan raut kesedihan yang tersirat dari wajah cantiknya.“Tidak, kamu sudah menjadi kebanggaanku lebih dari apa pun yang kamu ketahui. Terima kasih karena sudah menerimaku menjadi suamimu, Alana," ucap Evan begitu tulus. Ia bahkan rela menjadi miskin asalkan bisa menikah dengan wanita pujaannya itu.Kemudian Alana berjalan maju ke arah Evan, dan memeluknya dengan erat.Ketika Evan sedang merasakan kehangatan pelukan sang istri, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Alana yang terkejut pun kemudian melepaskan pelukan dan bergegas membukakan pintu.“Maaf, Anda siapa?” tanya Alana, heran.“Mana suamimu? Suruh dia keluar dan temui ayahnya!”Mendengar suara yang tak asing baginya itu, Evan pun bergegas keluar. Ia meminta Alana untuk membelikan kopi hitam demi membuat sang istri menjauh dari Ayahnya."Sayang, kopi yang Ayahku suka hanya dijual di toko ujung gang depan," ujar Evan."Tapi... bukankah tidak sopan kalau aku pergi sekarang?" tanya Alana yang sebenarnya merasa tak enak pada orang yang mengaku sebagai Ayah mertuanya."Tidak, Ayah malah senang karena menantunya sangat perhatian." Evan berusaha untuk mencari-cari alasan.Alana yang tak memiliki prasangka buruk pun langsung pergi untuk membelikan kopi yang Evan pinta.Setelah istrinya pergi, barulah Evan menghampiri Ayahnya untuk berbicara empat mata."Apa yang Ayah lakukan disini?" tanya Evan, sinis."Ayah hanya ingin memastikan lagi. Kamu lebih memilih Ayah atau perempuan itu? Lihatlah kehidupanmu yang memprihatinkan ini. Jika kamu kembali, Ayah akan memberikan semua yang kamu mau.""Keputusanku sudah bulat. Aku rela melepas semua yang ayah berikan, agar bisa bersa
"Lepaskan istriku!" hardik Evan pada lelaki tersebut.Melihat suaminya datang, Alana langsung menarik tangannya sekuat tenaga. Namun, bukannya melepaskan Alana, pria itu malah mencengkramnya semakin kuat. Tangan Alana memerah, ia meringis kesakitan.Tanpa basa-basi, Evan pun menghajar pria yang berusaha menyakiti istri tercintanya tersebut. "Beraninya menyentuh istriku!" bentaknya."Sial, apa yang pria miskin sepertimu lakukan padaku? Berani sekali tangan kotormu itu menyentuh wajah mahalku" bentak pria itu sambil memegangi pipinya yang baru saja dihajar Evan.Alana tak ingin pertikaian itu berlanjut. Ia langsung menghampiri Evan dan menahan suaminya itu agar tidak terus terbawa emosi."Sayang, jangan terlibat dengannya. Lebih baik kita pergi dari sini," ajak Alana, ia menarik-narik tangan suaminya itu."Jadi ini lelaki miskin yang menikah denganmu. Ternyata wajahmu saja yang cantik tapi kamu sangat bodoh. Melepas orang hebat sepertiku dan malah memilih orang rendahan sepertinya," lede
Danu kemudian memanggil salah seorang security yang kebetulan sedang berdiri tak jauh dari sana."A-ada apa, Direktur?" Security tersebut gugup, ia berpikir jika dirinya dipanggil oleh Evan karena telah melakukan kesalahan. Wajar saja, karena hampir seluruh karyawan tahu jika atasannya itu tak segan untuk memecat siapa saja yang menurutnya melalaikan tugas."Mengapa kamu sangat gugup?" Evan, keheranan."S-saya masih baru disini, saya tidak tahu telah melakukan kesalahan apa sampai Direktur memanggil kemari," ucap Security itu sambil terus menunduk. Ia tak berani menatap mata sang Direktur."Aku ingin kamu melakukan sesuatu!" tatapan Evan menghunus jantung satpam.Mendengar hal itu, anak buah Evan yang berada di sana pun terkejut. Mereka yang awalnya menunduk karena segan pada Evan, kini mengangkat wajah sambil menatap sang Direktur yang sikapnya terlihat sedikit tak seperti biasanya."Saya siap melakukan apa pun yang Direktur perintahkan," ucap Security, yang dari nada bicaranya sudah
Merasa kesal, ia pun langsung menelepon Danu."Hallo… ada apa, Pak?" Danu merasa, heran."Segera pantau laki-laki yang duduk di belakang Alana. Sejak tadi dia terus menatap istriku sambil senyum-senyum sendiri," perintah Evan.Danu terdiam, ia tak habis pikir dengan sikap pencemburu atasannya itu. Di saat seperti ini saja, masih sempat-sempatnya melihat pria lain yang belum tentu menatap istrinya."Hallo… kenapa malah diam saja?" bentak Evan dari balik telepon."I-iya, Pak. Saya akan memantaunya," jawab Danu, terpaksa mengiyakan."Ya sudah, kerjakan tugasmu dengan benar. Jangan sampai ada laki-laki yang menatap istriku! Jika sampai ketahuan, langsung coret namanya dari daftar kandidat," gertak Evan."Siap, Pak!" teriak Danu yang terkejut mendengar gertakan Evan.Mendengar teriakan Danu, para peserta yang sedang mengikuti tes pun langsung terkejut dibuatnya. Bahkan Alana yang tadinya fokus menulis pun langsung menoleh menatap Danu.Evan yang masih memandangi layar laptopnya pun dibuat k
"P-pakDanu?" Alana terkejut, tak menyangka jika seseorang yang memiliki jabatanseperti Danu malah membantunya."Siapa kamu? Berani sekali membuat keributan disini!" bentak Danuyang melampiaskan semua amarahnya pada Robi.Robi sejak tadi hanya melongo, ia bingung harus mengatakan apa karena tahu jikaseseorang yang bernama Danu adalah asisten dari orang nomor satu di AstiraCorp. Hingga terpikir olehnya sebuah ide untuk mengkambing hitamkan Alana."Saya tidak membuat keributan apa pun, Pak! Tapi perempuan inilah yangberusaha menggoda saya. Demi wajah perusahaan, saya pun berusaha menolaknyabaik-baik, tapi dia tetap memaksa. Maka terjadilah keributan kecil tadi,"terang Robi berusaha meyakinkan Danu dengan kebohongannya."Bohong! Saya sama sekali tak pernah menggodanya!" sanggah Alana, takterima."Saya memiliki saksi, Pak!" sahut Robi."Benar, Pak Danu. Perempuan ini yang menggoda Pak Robi terlebihdahulu," bela salah seorang bawahan Robi."Saya juga melihat jika perempuan itu yan
"Tapi, Pak…bukankah ini sudah sangat keterlaluan? Bagaimana nasib karyawan lain yang tidakbersalah?" Danu menelan ludah, ia tak percaya jika atasannya sampaiberbuat sejauh itu hanya karena cinta."Boyong semua karyawan ke pusat! Aku tak menginginkan lagi kantor cabangitu. Jika perlu aku akan membuat cabang baru di dekat situ," tegas Evan.Robi dan rekannya terkejut setengah mati. Dari perbincangan Evan dan Danu,sangat jelas jika kantor cabang tempat Robi bekerja akan ditutup."Pak, tolong jangan tutup kantor cabang. Saya masih ingin bekerja diAstira, saya berjanji akan melakukan apa pun yang Bapak minta," Robi kinibersujud di depan Evan.Rekan Robi dan juga bawahannya langsung mengikuti Robi untuk bersujud. Merekabenar-benar tak ingin sampai berhenti bekerja hanya karena hal sepele yang samasekali tak ada hubungan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, selama ini mereka sudahmengabdikan hidup demi Astira Corp.Danu merasa kasihan pada ketiganya. Ingin membujuk Evan, tapi rasanya pe
"Benar-benarmerepotkan! Padahal aku sedang buru-buru!" Evan sedikit menggerutu.Salah seorangAjudan keluarga Lucio tampak sedang berdiri di depan meja Resepsionis.Evan panik, ia takut kalau sampai Ayahnya tahu jika Astira adalah perusahaanyang selama ini ia kelola tanpa sepengetahuan keluarganya.Evan yang sudah tak sabar ingin pulang pun mencari cara agar bisa melewatiAjudan tersebut tanpa harus ketahuan. Hingga terbesit sebuah ide gila yang relaia lakukan walau hal itu sangat tak sesuai dengan imejnya di kantor."Hey, kemarilah!" Evan melambai ke arah seorang Office Boy."S-saya, Direktur?" tanya pria yang sedang memegang sapu itu."Cepat kemari!" seru Evan yang membuat pria itu gugup."Apa saya telah membuat kesalahan?" tanya pria itu ketakutan."Ambil seragam baru Office Boy! Aku sedang membutuhkannya," perintahEvan sedikit mendesak.Pria itu pun terdiam, ia tak mengerti mengapa sang atasan meminta sesuatu yangsama sekali tak ada hubungan dengannya."Apa kamu tak dengar?"
"Ada seorang kenalanku, tadi dia ikut seleksi juga di Astira Corp. Tapi dia tidak lolos, sepertinya karena hanya lulusan SMA," jelas Alana sedikit bersedih mengingat sahabatnya Rena yang hamil tua."Memangnya kenapa? Bukankah memang seperti itu jika tidak sesuai kriteria.""Tapi, dia itu pintar sekali. Sangat disayangkan perusahaan hanya memandang gelar tanpa melihat kemampuan juga," keluh Alana.Evan merasa tersindir, karena dirinyalah yang telah membuat Aldi gugur. Bahkan alasannya pun lebih konyol dari yang Alana pikirkan."Mungkin memang dia belum beruntung. Mengapa kamu begitu perhatian padanya? Apa jangan-jangan, kamu menyukainya?" cecar Evan yang mulai merasa cemburu."Tentu saja tidak, aku hanya menyukai kamu seorang," sanggah Alana tak terima."Lalu kenapa?" Evan semakin penasaran."Dia itu suaminya sahabatku, namanya Rena. Sekarang Rena sedang hamil besar dan bulan depan akan melahirkan, sedangkan Kak Aldi sampai sekarang masih belum mendapat kerja karena tak memiliki gelar.