Mendengar suara yang tak asing baginya itu, Evan pun bergegas keluar. Ia meminta Alana untuk membelikan kopi hitam demi membuat sang istri menjauh dari Ayahnya.
"Sayang, kopi yang Ayahku suka hanya dijual di toko ujung gang depan," ujar Evan."Tapi... bukankah tidak sopan kalau aku pergi sekarang?" tanya Alana yang sebenarnya merasa tak enak pada orang yang mengaku sebagai Ayah mertuanya."Tidak, Ayah malah senang karena menantunya sangat perhatian." Evan berusaha untuk mencari-cari alasan.Alana yang tak memiliki prasangka buruk pun langsung pergi untuk membelikan kopi yang Evan pinta.Setelah istrinya pergi, barulah Evan menghampiri Ayahnya untuk berbicara empat mata."Apa yang Ayah lakukan disini?" tanya Evan, sinis."Ayah hanya ingin memastikan lagi. Kamu lebih memilih Ayah atau perempuan itu? Lihatlah kehidupanmu yang memprihatinkan ini. Jika kamu kembali, Ayah akan memberikan semua yang kamu mau.""Keputusanku sudah bulat. Aku rela melepas semua yang ayah berikan, agar bisa bersama Alana.""Dasar anak bodoh. Kamu adalah seorang pewaris tunggal perusahaan. Hanya karena perempuan rendahan seperti itu saja sampai rela melepaskan semuanya!" Sang Ayah kemudian pergi dengan perasaan penuh amarah."Jangan pernah hina istriku lagi, Ayah!" teriak Evan, yang samar terdengar oleh ayahnya.Evan duduk di kursi sambil memegangi keningnya. Ia tak habis pikir dengan sikap sang Ayah yang masih saja tak terima dengan pernikahannya. Padahal, Evan sudah melepas semua harta pemberian orang tuanya itu hingga hanya tersisa sebuah perusahaan yang selama ini ia kelola tanpa campur tangan keluarga. Yang mana, baik orang tua maupun kerabatnya sama sekali tak ada yang tahu dengan perusahaan itu.Beberapa menit berlalu, Alana telah kembali dari warung."Sayang, dimana Ayah? Aku tak menemukan kopi yang kamu minta tadi." Alana menghela napas panjang."Ayah sudah pergi, katanya ada urusan mendadak," ucap Evan yang tak tahu lagi harus memberi alasan apa pada Alana."Huh, padahal aku ingin mengobrol sebentar," keluh Alana, mengerutkan bibir.Evan sangat gemas melihat tingkah istrinya itu. Selain cantik, Alana juga memiliki wajah yang terlihat lebih muda dibanding perempuan seusianya."Jangan cemberut lagi. Kita kan mau makan sate." Evan mencubit kedua pipi Alana."Iya, iya. Kita pergi sekarang saja, ya! Aku sudah sangat lapar," ajak Alana sambil mengusap perutnya.Evan dan Alana pergi mencari tukang sate hanya dengan berjalan kaki. Mereka berdua benar-benar hidup dalam keadaan yang kekurangan. Bahkan, sepasang suami istri itu selalu bepergian dengan hanya berjalan kaki atau naik angkutan umum karena tak memiliki kendaraan entah itu mobil atau pun motor."Apa kamu lelah?" tanya Evan sambil menggandeng Alana."Lumayan," jawab Alana, mengatur napas."Mau kugendong?" Evan berjongkok dengan posisi siap menggendong alana.Bukannya naik ke punggung Evan, Alana malah memeluk suaminya itu dari belakang. "Kita sama-sama kelelahan. Aku tak mau menambah rasa lelahmu," bisiknya tepat di telinga Evan.Lagi-lagi Evan dibuat gemas oleh tingkah istrinya itu. Entah bagaimana jadinya jika ia tak bisa menikahi Alana yang merupakan perempuan paling sempurna di mata Evan.Meski lumayan jauh, perjalanan ini tak membuat keduanya merasa lelah. Mereka benar-benar menikmati langkah demi langkah dengan orang yang dicintai."Sayang, itu tukang satenya?" Alana menunjuk tukang sate gerobakan yang sedang berhenti."Iya, tapi sepertinya tak ada kursi disana," ujar Evan"Kita duduk di pinggiran trotoar saja," ajak Alana.Mendengar ajakan sang istri, Evan malah terkejut. Ia tak menyangka jika masih ada perempuan secantik Alana yang mau duduk di pinggir jalan, menemani seorang suami yang hanya seorang pekerja serabutan."Sayang, terima kasih sudah mau menerimaku yang tak memiliki apa-apa." Evan menatap Alana penuh cinta."Aku lebih senang seperti ini, bukankah sudah kukatakan jika aku tak terlalu menyukai lelaki kaya, selain sombong mereka juga seringkali mempermainkan perasaan perempuan," ucap Alana yang selalu teringat dengan ketakutan di masa lalunya.Pesanan sudah matang, mereka berdua pun langsung melahap sate ayam yang sengaja Alana pilih agar harganya lebih murah.Baru saja makan beberapa suap, Brian, adiknya Alana tanpa sengaja melihat Kakaknya sedang makan sate di pinggir jalan. Ia dengan beberapa orang temannya hanya kebetulan lewat saat itu. Namun, Brian malah berpikir jika ini adalah kesempatan untuk mengerjai kakak iparnya yang miskin itu.Brian berjalan mendekati Alana. "Wah, satenya enak ya, Kak?"Alana yang malas meladeni adiknya itu pun tak menghiraukannya.Merasa kesal, Brian pun berinisiatif menghampiri tukang sate. "Bang, pesen sate sepuluh porsi!" ucapnya tersenyum."Wih, traktiran nih, Bro!" ucap salah seorang teman Brian."Yoi, dibayarin kakak ipar baru nih," sahut Brian menatap Evan sambil tertawa meledek."Brian… kamu tuh keterlaluan! Kamu tahu sendiri kalau penghasilan kakak iparmu ini tak seberapa. Kalian cuma berlima, tapi kenapa malah pesan sepuluh?" bentak Alana, semakin kesal pada adiknya."Alah, jadi orang tuh jangan pelit! Salah kakak sendiri kenapa pilih suami miskin," cela Brian sambil menertawakan Evan dan Alana.Alana sudah sangat emosi, ia kemudian berdiri, tapi tangannya ditarik oleh Evan."Sudah biarkan saja," pinta Evan dengan wajah tenang."Tapi… kita tak ada uang untuk membayar sepuluh porsi sate," timpal Alana."Aku akan meninggalkan KTP untuk jaminan, dan kemudian membayarnya saat gajian," bisik Evan sambil menarik tangan Alana dengan lembut agar istrinya itu duduk kembali dan melanjutkan makan.Meski rasa kesalnya pada Brian benar-benar sudah di puncaknya, Alana masih berusaha untuk berbakti pada suaminya itu dengan tetap menuruti permintaan Evan."Sayang, maaf… perbuatan adikku benar-benar sudah keterlaluan." Alana menunduk, ia merasa malu pada Evan."Kenapa kamu yang minta maaf? Sayangku sama sekali tak bersalah! Lagipula, hanya perkara uang, biarkan sajalah," sahut Evan sambil mengusap rambut istrinya itu.Meski Evan terus mengatakan hal seperti itu, tetap saja Alana merasa bersalah sekaligus kesal pada adiknya.Brian yang merasa jika Evan tak melawan pun lantas memesan sepuluh porsi lagi. Setelah mendapat apa yang ia mau, Brian kemudian pergi tanpa mengucapkan terima kasih pada kakak iparnya itu."Dasar bocah, sudah di bayarin masa langsung pergi begitu saja. Setidaknya bilang terima kasih kek sama kakaknya," celetuk tukang sate yang ternyata sejak awal sudah geram melihat Brian.Alana dan Evan saling pandang mendengar ucapan tukang sate tersebut."Sayang, tolong belikan air mineral," pinta Evan yang sengaja membuat Alana menjauh agar ia bisa membayar lunas semua sate yang Brian beli."Oke… cuma air mineral?""Iya, sekalian jajan saja, di rumah juga sudah tidak ada makanan," pinta Evan."Tapi… uangku tidak banyak lagi," bisik Alana, ia malu jika sampai terdengar oleh tukang sate."Besok kan aku gajian. Kebetulan hasil lemburnya lumayan," sahut Evan.Mendengar itu, Alana pun bergegas pergi ke warung di sebrang jalan.Disaat itu, Evan buru-buru menghampiri tukang sate sebelum Alana kembali."Bang, semuanya berapa?" tanya Evan sambil melirik Alana, ia memastikan jika sang istri tak melihat ke arahnya."Totalnya tiga ratus ribu sajalah. Saya diskon tiga puluh ribu karena kasihan lihat kamu di manfaatkan orang lain," ujar tukang sate.Evan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya."Bang, saya ga bawa uang cash. Abang pegang ini saja, nanti saat anak buah saya datang kemari, langsung tunjukan kartu ini," jelas Evan.Bukannya menjawab, tukang sate itu malah melamun. Antara percaya tak percaya karena di kartu nama tersebut tertera jika Evan adalah seorang CEO dari perusahaan nomor satu di Indonesia."Ini… apa saya tidak salah lihat?" tanya tukang sate, tangannya gemetar saking kagetnya."Tidak, Bang. Mungkin sekitar beberapa menit lagi anak buah saya kemari."Di tengah perbincangan Evan dengan tukang sate. Samar ia melihat Alana tengah berbincang dengan seorang pria. Keduanya terlibat cekcok, hingga tak berselang lama orang tersebut menarik istrinya dengan paksa. Dari kejauhan Alana menatap Evan, tatapan matanya menyiratkan emosi sekaligus luka.Tanpa basa-basi, Evan pun bergegas menghampiri Alana."Lepaskan istriku!" hardik Evan pada lelaki tersebut.Melihat suaminya datang, Alana langsung menarik tangannya sekuat tenaga. Namun, bukannya melepaskan Alana, pria itu malah mencengkramnya semakin kuat. Tangan Alana memerah, ia meringis kesakitan.Tanpa basa-basi, Evan pun menghajar pria yang berusaha menyakiti istri tercintanya tersebut. "Beraninya menyentuh istriku!" bentaknya."Sial, apa yang pria miskin sepertimu lakukan padaku? Berani sekali tangan kotormu itu menyentuh wajah mahalku" bentak pria itu sambil memegangi pipinya yang baru saja dihajar Evan.Alana tak ingin pertikaian itu berlanjut. Ia langsung menghampiri Evan dan menahan suaminya itu agar tidak terus terbawa emosi."Sayang, jangan terlibat dengannya. Lebih baik kita pergi dari sini," ajak Alana, ia menarik-narik tangan suaminya itu."Jadi ini lelaki miskin yang menikah denganmu. Ternyata wajahmu saja yang cantik tapi kamu sangat bodoh. Melepas orang hebat sepertiku dan malah memilih orang rendahan sepertinya," lede
Danu kemudian memanggil salah seorang security yang kebetulan sedang berdiri tak jauh dari sana."A-ada apa, Direktur?" Security tersebut gugup, ia berpikir jika dirinya dipanggil oleh Evan karena telah melakukan kesalahan. Wajar saja, karena hampir seluruh karyawan tahu jika atasannya itu tak segan untuk memecat siapa saja yang menurutnya melalaikan tugas."Mengapa kamu sangat gugup?" Evan, keheranan."S-saya masih baru disini, saya tidak tahu telah melakukan kesalahan apa sampai Direktur memanggil kemari," ucap Security itu sambil terus menunduk. Ia tak berani menatap mata sang Direktur."Aku ingin kamu melakukan sesuatu!" tatapan Evan menghunus jantung satpam.Mendengar hal itu, anak buah Evan yang berada di sana pun terkejut. Mereka yang awalnya menunduk karena segan pada Evan, kini mengangkat wajah sambil menatap sang Direktur yang sikapnya terlihat sedikit tak seperti biasanya."Saya siap melakukan apa pun yang Direktur perintahkan," ucap Security, yang dari nada bicaranya sudah
Merasa kesal, ia pun langsung menelepon Danu."Hallo… ada apa, Pak?" Danu merasa, heran."Segera pantau laki-laki yang duduk di belakang Alana. Sejak tadi dia terus menatap istriku sambil senyum-senyum sendiri," perintah Evan.Danu terdiam, ia tak habis pikir dengan sikap pencemburu atasannya itu. Di saat seperti ini saja, masih sempat-sempatnya melihat pria lain yang belum tentu menatap istrinya."Hallo… kenapa malah diam saja?" bentak Evan dari balik telepon."I-iya, Pak. Saya akan memantaunya," jawab Danu, terpaksa mengiyakan."Ya sudah, kerjakan tugasmu dengan benar. Jangan sampai ada laki-laki yang menatap istriku! Jika sampai ketahuan, langsung coret namanya dari daftar kandidat," gertak Evan."Siap, Pak!" teriak Danu yang terkejut mendengar gertakan Evan.Mendengar teriakan Danu, para peserta yang sedang mengikuti tes pun langsung terkejut dibuatnya. Bahkan Alana yang tadinya fokus menulis pun langsung menoleh menatap Danu.Evan yang masih memandangi layar laptopnya pun dibuat k
"P-pakDanu?" Alana terkejut, tak menyangka jika seseorang yang memiliki jabatanseperti Danu malah membantunya."Siapa kamu? Berani sekali membuat keributan disini!" bentak Danuyang melampiaskan semua amarahnya pada Robi.Robi sejak tadi hanya melongo, ia bingung harus mengatakan apa karena tahu jikaseseorang yang bernama Danu adalah asisten dari orang nomor satu di AstiraCorp. Hingga terpikir olehnya sebuah ide untuk mengkambing hitamkan Alana."Saya tidak membuat keributan apa pun, Pak! Tapi perempuan inilah yangberusaha menggoda saya. Demi wajah perusahaan, saya pun berusaha menolaknyabaik-baik, tapi dia tetap memaksa. Maka terjadilah keributan kecil tadi,"terang Robi berusaha meyakinkan Danu dengan kebohongannya."Bohong! Saya sama sekali tak pernah menggodanya!" sanggah Alana, takterima."Saya memiliki saksi, Pak!" sahut Robi."Benar, Pak Danu. Perempuan ini yang menggoda Pak Robi terlebihdahulu," bela salah seorang bawahan Robi."Saya juga melihat jika perempuan itu yan
"Tapi, Pak…bukankah ini sudah sangat keterlaluan? Bagaimana nasib karyawan lain yang tidakbersalah?" Danu menelan ludah, ia tak percaya jika atasannya sampaiberbuat sejauh itu hanya karena cinta."Boyong semua karyawan ke pusat! Aku tak menginginkan lagi kantor cabangitu. Jika perlu aku akan membuat cabang baru di dekat situ," tegas Evan.Robi dan rekannya terkejut setengah mati. Dari perbincangan Evan dan Danu,sangat jelas jika kantor cabang tempat Robi bekerja akan ditutup."Pak, tolong jangan tutup kantor cabang. Saya masih ingin bekerja diAstira, saya berjanji akan melakukan apa pun yang Bapak minta," Robi kinibersujud di depan Evan.Rekan Robi dan juga bawahannya langsung mengikuti Robi untuk bersujud. Merekabenar-benar tak ingin sampai berhenti bekerja hanya karena hal sepele yang samasekali tak ada hubungan dengan pekerjaan. Bagaimanapun, selama ini mereka sudahmengabdikan hidup demi Astira Corp.Danu merasa kasihan pada ketiganya. Ingin membujuk Evan, tapi rasanya pe
"Benar-benarmerepotkan! Padahal aku sedang buru-buru!" Evan sedikit menggerutu.Salah seorangAjudan keluarga Lucio tampak sedang berdiri di depan meja Resepsionis.Evan panik, ia takut kalau sampai Ayahnya tahu jika Astira adalah perusahaanyang selama ini ia kelola tanpa sepengetahuan keluarganya.Evan yang sudah tak sabar ingin pulang pun mencari cara agar bisa melewatiAjudan tersebut tanpa harus ketahuan. Hingga terbesit sebuah ide gila yang relaia lakukan walau hal itu sangat tak sesuai dengan imejnya di kantor."Hey, kemarilah!" Evan melambai ke arah seorang Office Boy."S-saya, Direktur?" tanya pria yang sedang memegang sapu itu."Cepat kemari!" seru Evan yang membuat pria itu gugup."Apa saya telah membuat kesalahan?" tanya pria itu ketakutan."Ambil seragam baru Office Boy! Aku sedang membutuhkannya," perintahEvan sedikit mendesak.Pria itu pun terdiam, ia tak mengerti mengapa sang atasan meminta sesuatu yangsama sekali tak ada hubungan dengannya."Apa kamu tak dengar?"
"Ada seorang kenalanku, tadi dia ikut seleksi juga di Astira Corp. Tapi dia tidak lolos, sepertinya karena hanya lulusan SMA," jelas Alana sedikit bersedih mengingat sahabatnya Rena yang hamil tua."Memangnya kenapa? Bukankah memang seperti itu jika tidak sesuai kriteria.""Tapi, dia itu pintar sekali. Sangat disayangkan perusahaan hanya memandang gelar tanpa melihat kemampuan juga," keluh Alana.Evan merasa tersindir, karena dirinyalah yang telah membuat Aldi gugur. Bahkan alasannya pun lebih konyol dari yang Alana pikirkan."Mungkin memang dia belum beruntung. Mengapa kamu begitu perhatian padanya? Apa jangan-jangan, kamu menyukainya?" cecar Evan yang mulai merasa cemburu."Tentu saja tidak, aku hanya menyukai kamu seorang," sanggah Alana tak terima."Lalu kenapa?" Evan semakin penasaran."Dia itu suaminya sahabatku, namanya Rena. Sekarang Rena sedang hamil besar dan bulan depan akan melahirkan, sedangkan Kak Aldi sampai sekarang masih belum mendapat kerja karena tak memiliki gelar.
"Maaf, kamu siapa? Apa kita saling mengenal?" tanya Evan yang gugup karena harus berhadapan dengan sekretarisnya yang bernama Ella."Oh, maaf mungkin saya salah orang," jawab Ella.Meski Evan berkata seperti itu, tapi Ella masih ragu, ia yakin jika orang tersebut adalah atasannya. Seandainya memang hanya mirip saja, rasanya sangat mustahil sampai tahi lalat di dekat alisnya pun sama.Namun, melihat atasannya itu terus bergandengan dengan perempuan yang hanya dari kalangan orang biasa-biasa saja. Ia langsung berpikir jika pria itu bukanlah Evan. Mengingat bosnya terlalu angkuh dan arogan, terlalu kecil kemungkinannya untuk menyukai seorang perempuan yang sangat sederhana seperti itu.Angkutan umum pun berhenti tepat di depan restoran mewah yang mereka tuju."Sayang, apa benar kita bisa masuk sana?" Alana merasa ragu."Tentu saja bisa.""Tapi, aku tidak tahu cara memesan makanan di sana.""Tenang saja, aku tahu."Evan menggandeng tangan Alana sambil memasuki restoran. Hingga sesampainya