Evan hampir saja menabrak pejalan kaki yang sedang menyebrang. Ia menghindar dengan membelokkan motor ke sembarang arah. Hingga, tanpa sengaja kaki Alana menyerempet badan mobil yang berada di sebelah motor mereka."Aw… sayang, dengkulku sakit," ringis Alana.Mendengar Alana kesakitan, Evan pun segera menepikan motornya dan mengecek kondisi istrinya tersebut."Maafkan aku, gara-gara keteledoranku kamu malah jadi terluka begini." Evan panik sekaligus merasa bersalah."Tidak apa-apa, nanti lebih berhati-hati saja. Jangan mengendarai motor sambil melamun," protes Alana."I-iya, Sayang. Sekarang kita obati dulu ya. Ada klinik bagus dekat sini," ajak Evan.Alana menahan tangan Evan. "Tidak usah! Klinik itu terkenal mahal, belikan aku alkohol dan plester saja. Itu sudah cukup," pintanya.Evan merasa sesak saat mendengar ucapan istrinya itu. Di saat ia memiliki banyak uang dan harta, Alana malah berpikir untuk berhemat meski lututnya sudah bercucuran darah."Jangan pikirkan soal uang! Aku ak
"Ah ini, aku mau mengantarkan obat pereda nyeri," ucap Evan sambil berpura-pura meraba-raba saku, "kenapa tidak ada, padahal tadi sudah aku bawa," sambungnya.Alana tak sedikitpun curiga pada suaminya itu, ia malah khawatir kalau ada karyawan lain yang melihat Evan disini dan mengusirnya karena bukan bagian dari perusahaan.Alana segera menarik Evan. "Sayang, kamu harus cepat keluar dari sini. Aku takut nanti kamu malah kena marah."Evan hanya pasrah, ia berusaha untuk terlihat senatural mungkin dengan berpura-pura merasa gelisah.Alana beberapa kali berpapasan dengan karyawan lain. Sebagian dari Karyawan itu menatap Alana dan Evan dengan tatapan terkejut, tak percaya jika sang Presdir yang mengerikan itu sedang dituntun oleh seorang karyawan biasa.Lain dengan Alana yang berpikir jika para karyawan itu terkejut karena melihat orang biasa bisa seenaknya masuk ke perusahaan bergengsi sekelas Astira."Sayang, setiap kali berpapasan dengan karyawan lain mereka malah menatap aneh pada kit
"Apa mungkin dia salah satu orang yang saat itu merundungku," gumam Alana, merasa gelisah."Hah, merundungmu? Bisa saja dia orangnya, yang namanya istri orang kaya wajar saja jika seenaknya pada orang lain," bisik Risa yang takut ucapannya terdengar oleh orang lain.Alana hanya tersenyum mendengar ucapan Risa yang ceplas-ceplos. Namun, ia sedikit tak menyangka jika salah satu peserta seleksi kemarin salah satunya adalah istri Presdir. Meski begitu, Alana sangat salut pada Presdir yang tetap memberi sanksi pada orang yang salah meski itu adalah istrinya sendiri.Jam isitirahat pun habis, Alana dan Risa kembali ke ruang kerja. Hingga waktu pulang tiba, barulah mereka bisa sedikit bersantai dari pekerjaan yang tak kunjung habis."Alana, kamu bawa kendaraan sendiri?" tanya Risa, sambil meregangkan badan."Biasanya suamiku datang menjemput," jawab Alana."Suami? Jadi, kamu sudah menikah?" Risa tertawa, ia tak menyangka jika orang yang terlihat muda seperti Alana ternyata sudah menikah.Ala
Meski cemas mereka berdua tetap pulang ke rumah."Sayang, kamu masuk duluan saja, aku akan mencari tahu siapa mereka sebenarnya," titah Evan.Alana tak berpikir macam-macam, ia langsung menuruti saja apa yang Evan suruh. Karena terlihat dari sisi mana pun dua orang itu sangatlah menyeramkan, yang membuat Alana takut untuk berurusan dengan mereka.Setelah Alana masuk ke dalam rumah, Evan pun langsung meminta kedua orang itu untuk berbincang dengan sedikit menjauh dari rumah."Jadi, ada urusan apa kalian kemari? Bukankah aku sudah mengatakan agar kalian tak usah menemuiku lagi," gertak Evan."Maaf Tuan muda! Kami diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu pada Anda," ujar salah satu dari dua pria tersebut."Apa lagi?" tanya Evan, kesal.Pria itu kemudian memberikan sepucuk surat yang ternyata adalah tulisan dari kedua orang tuanya.Evan kemudian membuka surat tersebut.'Evanders Lucio. Ibu sudah tahu jika perempuan itu adalah penyebab yang telah membuatmu menjadi seperti ini. Ibu benar-ben
Danu yang sejak tadi mengintai dari kejauhan pun menjadi panik saat melihat Alana pingsan. Sedangkan Evan, sejak meninggalkan perusahaan, ia sama sekali tak bisa di hubungi.Kehabisan akal, akhirnya, Danu pun menelepon Risa."Hallo, Risa. Om melihat temanmu tergeletak pingsan. Apa kamu bisa kemari membantunya?" tanya Danu yang kini sudah berada di samping Alana."Teman? Yang karyawan baru itu? Kenapa Om mengenalnya?" tanya Risa setengah berteriak."Sudah, cepat kemari jangan banyak tanya lagi!" Omel Danu.Risa pun bergegas kembali ke kantor dengan mengendarai motor.Ia langsung kembali ke tempat dimana Alana duduk tadi."Om, kenapa Alana pingsan begini?" tanya Risa, panik."Sepertinya dia kelelahan, apalagi belum lama kakinya terluka," jelas Danu."Bagaimana ini?" tanya Risa yang tak dapat berpikir dengan jernih."Tentu saja bawa dia ke rumah sakit, dasar bodoh!" gertak Danu yang kesal pada Risa karena banyak tanya.Risa pun langsung menggendong Alana menuju mobil Danu. Beruntung gadi
"Saya rekan kerjanya, Sus," ucap Risa yang kemudian menghampiri Perawat tersebut."Apa keluarganya tidak ada?" tanya perawat itu lagi."Kebetulan saya tidak tahu keluarganya, dan ponsel teman saya juga dalam keadaan dikunci," terang Risa.Perawat tersebut tampak kebingungan dan kemudian masuk ke dalam UGD lagi. Risa dan Danu tampak cemas. Hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa lada Alana.Beberapa menit kemudian, Perawat tersebut keluar lagi dan menghampiri Risa."Saya sudah konfirmasi ke atasan, pasien sudah bisa pindah ke ruang rawat inap. Tolong tanda tangan berkas terlebih dahulu," jelas perawat tersebut."Terima kasih, Sus. Kalau begitu, saya akan pergi ke bagian administrasi dulu." Risa kemudian menghampiri Danu."Bagaimana?" tanya Danu, cemas."Om urus administrasinya dulu saja! uangku tak akan cukup untuk membiayai rumah sakit besar begini," bisik Risa.Danu menatap sinis pada Risa. Bisa-bisanya keponakannya itu masih memikirkan uang disaat genting seperti ini."Om juga tah
Risa datang dengan membawa bakso. Didapatinya Alana sedang menangis tersedu. Ia pun buru-buru menaruh bakso ke meja samping kasur dan langsung memeluk Alana."Apa ada yang sakit? Atau kamu sedih karena belum ada kabar dari suamimu?" tanya Risa, berusaha menenangkan Alana.Bukannya berhenti, perasaan Alana malah semakin merasa tersentuh. Bukan orang terdekatnya, tapi malah orang yang baru beberapa hari dikenalnya lah yang saat ini sedang memeluknya.Risa semakin bingung, jangankan berhenti, Alana malah menangis semakin kencang."Alana, katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Risa yang panik."Barusan, aku menelepon suamiku, dan seorang perempuan yang mengangkatnya," terang Alana sambil menghapus air mata.Risa bingung harus mengatakan apa, ia takut salah bicara, apalagi suami Alana adalah sang Presdir."Bersabarlah dulu, kita tunggu suamimu, biar dia yang akan menjelaskannya nanti." Risa menjawab sebisanya, beruntung selama ini ia selalu menjadi tempat curhat teman-temann
"Siapa perempuan yang mengangkat teleponku?" bentak Alana, membuat Risa tersentak kaget."Anu… Aku ke toilet dulu, Ya!" ujar Risa yang tak mau masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain.Seolah tak dihiraukan, tak ada yg menjawab Risa. Alana dan Evan malah sibuk berdebat."Aku sama sekali tak tahu siapa perempuan itu!" Evan berusaha membela diri."Lalu, memangnya dimana kamu seharian kemarin? Bahkan kamu lupa pada janjimu untuk menjemputku!"Evan berusaha mencari alasan, karena terburu-buru menemui Alana, ia sampai lupa untuk memikirkan sebuah alasan yang tepat."Kenapa diam saja? Apa kamu berselingkuh di belakangku?" tanya Alana yang mulai meneteskan air mata."Aku sangat mencintaimu! Mana mungkin aku menyelingkuhimu!" sanggah Evan yang memang tak mungkin selingkuh disaat cintanya pada Alana begitu besar.Evan berusaha untuk berpikir. Hingga terbesit sebuah pikiran untuk mengatakan yang sebenarnya saja."Aku habis menemui kedua orang tuaku," jelas Evan."Lalu, mengapa ada suara pe