Share

Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin
Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin
Penulis: Tuti Subekti

Bab 1 (Pertemuan)

Aku terpaksa pura-pura miskin untuk mencari wanita yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa memandang segi materi. Aku terlalu sering di tipu oleh berbagai wanita karena mereka hanya ingin hartaku, tapi bukan dengan diriku. Aku sangat trauma akan hal itu. Aku sebenarnya tak ingin beristri, tapi ibu dan ayahku selalu memaksaku agar cepat beristri. Jika aku tak beristri, maka tak akan ada cucu, yaitu anak biologis dariku dan jika tak ada cucu, maka tak ada pula pewaris perusahaan selanjutnya.

Apalah dayaku, jika aku seorang pewaris tunggal perusahaan dan harus melanjutkan sebuah usaha papi yang telah di bangunnya dari nol hingga maju pesat seperti sekarang ini, tapi aku juga tak ingin menikahi seorang wanita yang hanya menggerogoti hartaku saja. Aku ingin wanita yang benar-benar mencintai aku dari hati dan karena Allah, bukan karena sebuah ambisi untuk memiliki hartaku seperti sederet mantan kekasihku dulu dan bukan pula memandangku dari fisikku yang cool dan sedikit ganteng, bisa di bilang begitu sih!"

****

"Yah, ini kunci mobil beserta surat-surat penting lainnya." Aku memberikannya pada ayah.

"Makan dulu, Sien." ibu mengambilkan sepotong roti untukku.

"Maaf, Bu, aku mau cepat berangkat. Ini sudah terlambat." Aku menoleh arloji di pergelangan tangan kiriku.

"Pakai baju begituan?" kening ibu mengerut.

"Iya, Bu.”

"Husein, jangan malu-maluin keluarga. Masa anak pengusaha sukses harus pakai baju yang seharusnya jadi serbet kayak begitu." Alis ibu terangkat ke atas.

"Terus harus bagai mana?"

"Bu, biarkan saja Husein menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia sudah dewasa." Ayah angkat bicara.

"Tapi, Yah?"

"Husien kan lagi menyamar, Bu.”

Ketika ayah dan ibu memperdebatkan tentang penampilanku, terdengarlah suara ketukan pintu dari depan rumah.

Tok ... tok ... tok ....

"Bibi, tolong buka dong pintunya," teriak ibu memanggil Bi Lasmi, asisten rumah tangga kami yang telah lama ikut keluarga kami bekerja selama bertahun-tahun.

Bibi tak menyahut sedikit pun. Mungkin ia terlalu sibuk mencuci dengan pancuran air kran yang deras hingga akhirnya tak mendengar panggilan mami dari meja makan.

"Biar aku saja, Bu, yang buka pintunya," sahutku.

****

Krek!

"Ya Allah anggun sekali wanita ini,” bisikku.

Ia sepertinya wanita lugu yang berasal dari kampung. Pakaiannya pun seadanya, tidak glamor seperti wanita kebanyakan, tapi ia sangat sopan dan memesona.

"Rezeki nomplok, pagi-pagi bidadari sudah berada diambang pintu, entah dari manakah Ia? Sungguh cantik. Hi hi hi." Aku sedikit tertawa bahagia.

"Hai.” Wanita itu mengibaskan tangan kanannya di depan wajahku.

"Oh, hai juga, selamat pagi Nona cantik." Rayuan mautku keluar juga. Untuk ronde pertama ini aku keluarkan sedikit jurus jitu merayu wanita.

"Pagi juga. Ah, bisa saja. Kenapa tadi melamun?"

"Enggak kok," jawabku sambil terus memandangnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Maaf ya, aku bukan LB alias liur baung seperti ikan baung, apa saja di embat, tapi wajarlah aku kan lelaki normal jadi ingin dapat calon istri yang bukan hanya sopan, tapi juga cantik jadi aku sedikit mengeluarkan jurus andalanku untuk memikat hati wanita.

"Ada yang salah dengan penampilanku?" tanya wanita itu padaku karena ia melihat tingkahku yang aneh saat memandangnya.

"Iya."

"Apa?"

"Cantik." Aku sedikit tersenyum.

"Masa?"

"Benar."

"Cantiknya kayak siapa?" tanya wanita itu dengan matanya melirik ke sana kemari karena takut menatap bola mataku yang tajam memandangnya.

"Kaya bidadari yang turun dari langit." Aku keluarkan jurus rayuan keduaku.

"Iya, memang aku seperti bidadari, tapi yang turun dari pohon kelapa. Ha ha ha." Aku tertawa terbahak.

Gadis ini memang cantik apalagi jika ia tersenyum, aku jadi makin tertantang untuk mendapatkan cintanya dan memilikinya.

"Ya Allah beri aku jalan untuk bisa mendapatkan cinta dari gadis ini nan ayu jelita." Hatiku berbisik.

"Mau cari siapa Nona?"

"Maaf, benarkah ini rumah Pak Sastro Wijaya?" gadis itu bertanya balik padaku.

"Iya. Benar Nona," jawabku.

"Ah, jangan panggil Nona terus." Gadis yang berada di depan mataku ini tersipu malu.

"Lalu?"

"Panggil saja aku Jannah." Wanita itu mengajakku berjabat tangan.

"Aku Husien." Aku membalas jabatan tangan Jannah.

"Nama yang indah seperti pemiliknya. Ups ....” Aku menutup mulutku. Aku takut ketahuan memuji dia lagi.

"Apa Bang?"

"Enggak, tak apa. Ada perlu apa?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Aku ingin ketemu Pak Jaya.” Jannah dengan sedikit tersenyum.

"Untuk?"

"Melamar jadi asisten rumah tangga," ucap Jannah tanpa rasa malu.

"Hebat, wanita cantik seperti ini mau jadi asisten rumah tangga di rumahku? Mimpi apa aku tadi malam, tiba-tiba ada bidadari datang ke rumahku dan melamar jadi asisten rumah tangga?"

"Kenapa bengong?" Jannah mengibaskan tangannya di depan wajahku.

"Mari, silakan masuk!" Ajakku pada Jannah untuk masuk ke dalam rumahku.

"Kamu di sini sebagai apa?"

"Kok dia bertanya begitu." Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal.

"Kenapa ditanya malah menggaruk kepala, Bang?"

"Gatal, pagi tadi lupa keramas." Aku berbohong.

Aku melihat diriku dan baju lusuh yang aku pakai juga penampilanku yang agak sedikit acak-acakkan. Oh, pantas saja Jannah bertanya begitu padaku karena aku tak terlihat seperti Tuan muda di rumah ini.

"Kenapa diam?" Jannah heran melihat gelagatku.

"Aku sopir di sini. Iya, aku sopir Tuan Jaya." Dengan sigap aku jawab pertanyaan Jannah.

"Besar sekali ya rumah Pak Jaya?"

"Iya, kan pengusaha sukses," jawabku.

"Anaknya ada berapa, Bang?"

"Satu. Cowok pula, ganteng loh." Pancingku pada Jannah.

"Oh, di mana sekarang?"

"Di luar negeri."

"Kamu mau enggak punya suami orang kaya seperti putranya Pak Jaya?"

"Aku belum ke pikiran akan hal itu karena jodoh itu kan rahasia Allah," jawab Jannah dengan ramah dan santun sambil terus mengekorku.

"Memang putranya Pak Jaya belum menikah?"

"Belum, lagi pula ia masih kuliah di luar negeri dan belum ada calon." Aku mencoba memancing kembali Jannah.

"Oh."

"Apa kamu tak tertarik?"

"Tidak.”

"Kenapa? Dia kan kaya dan ganteng?"

"Mana mau dia sama wanita seperti diriku."

"Maksudnya?"

"Miskin dan kampungan." Jannah tertawa dengan mengeluarkan sederet gigi putihnya.

"Ah, kamu bisa saja," ucapku.

"Benar, kok," sahut Jannah.

"Tunggu sebentar di sini," ucapku dengan tiba-tiba berhenti di ruang keluarga dengan memotong pembicaraan tadi.

"Kenapa?" Jannah bingung.

"Aku panggilkan mami dan papi dulu."

"Apa?" Jannah terkejut.

"Maaf, maksudnya aku panggilkan Tuan dan Nyonya di ruang makan," jawabku dengan santai dan sedikit menggigit bibir.

"Baiklah."

Untung saja aku bisa bersilat lidah dan tak ketahuan jika akulah sebenarnya Tuan muda di rumah ini. Foto keluarga? aduh, bikin ribet saja jika foto-fotoku yang terpampang di dinding di lihat oleh Jannah. Bibi! iya, Bi Lasmi." Otakku encer juga rupanya pagi ini, sambil berjalan ke meja makan aku berpikir.

"Bu," sapaku pada ibu yang sedang makan roti tawar bertabur selai coklat.

"Siapa yang datang?" tanya ayah.

"Yah," panggilku pada ayah.

"Apa Husien?" tanya ayah dan ibu berbarengan.

"Kita mulai jalankan rencana, ya?"

"Rencana apa?"

"Ada cewek cantik di depan yang mau melamar jadi asisten rumah tangga, tolong terima ya, Bu, tapi jangan bilang jika Husien ini anak ayah dan ibu. Bilang saja jika Husien adalah sopirnya ayah. Please.” Aku memohon pada ayah dan ibu.

"APA?" Mata ayah dan ibu melotot.

"Aku naksir sama dia, Bu? Bolehkan, jika aku naksir sama cewek yang status sosialnya beda dengan kita?" bujukku pada ayah dan ibu.

"Up to you, sayang," jawab ayah.

"Bu?" Aku meminta persetujuan ibu.

Terdiam.

"Bu?" Aku memasang wajah memelas pada ibu.

"Oke, sayang."

"Terima kasih, Yah." Aku memeluk ayah.

"Terima kasih juga, Bu." Aku mencium kening ibu.

"Mana dia?" tanya ibu.

"Tunggu sebentar. Aku bawa dia ke sini."

****

Sebelum aku menemui Jannah di ruang keluarga, aku menemui Bibi Lasmi yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah.

"Bi, tolong ambil semua foto-fotoku yang terpampang di semua sudut ruangan di rumah ini," ucapku dengan pelan.

"Untuk apa, Den?"

"Ah, enggak usah banyak tanya, ini uang," kataku dengan memberikan sejumlah uang untuk Bi Lasmi.

"Oke, Den!" Uang pemberianku di ambil Bi Lasmi dan masuk ke dalam saku bajunya.

"Oh, ya satu lagi, jika gadis yang bernama Jannah itu tanya, bilang saja aku adalah sopir di sini," jelasku pada Bi Lasmi.

"Maksudnya?" Wajah Bi Lasmi terlihat bingung.

"Sudah! Ikuti saja perintahku dan jangan banyak tanya," bentakku pada Bi Lasmi.

"Adul, Den!"

"Hah, apa artinya?" mataku melotot.

"Ada duit urusan lancar, Den." Raut wajah Bi Lasmi tersipu malu.

"Mata duitan juga ini asisten rumah tangga." Kepalaku menggeleng.

****

Semua orang di rumah ini sudah aku kasih aba-aba, semoga rencana berjalan dengan lancar.

"Lama ya nunggu?"

"Enggak juga."

"Ini foto kok kayaknya mirip kamu?" tanya Jannah dengan menunjuk fotoku saat wisuda beberapa tahun yang lalu.

"Bukan! Mungkin mata kamu ke balik kali. Masa anak Tuan besar di sini mirip aku yang cuma sopir di sini? enggak mungkin, ah!" Kutarik tangan Jannah berjalan menuju ruang makan.

Jannah melihat tanganku yang sedang menggenggam telapak tangannya. Aku memberhentikan langkahku di depan ayah dan ibu. Aku melepas tanganku. Ups ... Maaf!” ucapku.

Jannah tersenyum tipis.

"Oh, Jannah," seru ibu.

"Aku melongo."

"Apa kabar sayang?" tanya ibu.

"Dahiku mengerut disertai dengan keringat."

"Baik, Tante," jawab Jannah.

"Nyonya, kenal?" tanyaku pada ibu.

"Ini Jannah. Ia adalah gadis yang aku temui di pusat perbelanjaan waktu aku sedang keberatan membawa sejumlah belanjaan. Ia menolongku untuk membawakan belanjaanku dan membantu memasukkannya ke dalam mobil," tutur ibu.

"Lalu?" Aku masih penasaran dengan mengusap keringat pada keningku.

"Ia butuh pekerjaan jadi aku suruh ia bekerja di sini," jawab ibu.

Ayah hanya diam.

"Bekerja sebagai apa ya, Yah?" tanya ibu.

Tak ada jawaban.

"Bawa Jannah ke kamar di sebelah kamar Bi Lasmi biar nanti aku dan Tuan pikirkan pekerjaan untuk Jannah," perintah ibu padaku.

"Baik, Ibuku sayang.”

Jannah melirikku.

"Ups ... Aku menutup mulutku kemudian membukanya kembali, maaf! maksudku, baik, Nyonya."

Mungkin belum terbiasa berakting. Hampir saja keceplosan. Ayah dan ibu sampai mengangkat alis karena melihat tingkahku yang hampir saja keceplosan beberapa kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status