Share

Bagian 7: Ini Gila!

Penulis: Puziyuuri
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-26 22:58:16

“Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”

~Aleeya Puspita Wulandari~

---

“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”

Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.

Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.

Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.

Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!

“Di mana aku? Ugh, pusing ....”

Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular Poppy, sih, lewat.

Seraut wajah oval dilengkapi dengan mata bundar yang tampak cerdas dan bersemangat. Padahal, sosoknya seperti tengah bersedih. Namun, kedua bola bening itu tetap memancarkan pesona istimewa. Hidung mungil, tapi bangir sangat padu dengan alis bagai semut beriring.

Jika dilihat-lihat, kami seperti seumuran. Mungkin dia bisa memberikan informasi tentang tempat aneh ini. Aku baru saja hendak bicara, tapi urung ketika melihat wajah cantik berubah semringah.

“Kamu sadar, Nak!”

Bersamaan dengan seruan keras si wanita cantik, tubuh ini ditarik kuat. Aku hanya bisa pasrah sambil menahan napas saat dibenamkan dalam pelukan. Sosok terbalut kebaya cokelat itu berbau tidak sedap.

Ya ampun, cantik-cantik, kok, bau badan? Tuh, ‘kan, aku jadi julid.

“Putriku ... putriku yang cantik sudah sadar.” Suara serak-serak basah bergetar. Tangan halus menyentuh wajahku dengan lembut.

Ada hal aneh di sini. Kenapa wanita ini terus menyebutku putrinya? Padahal, kami, kan, tampak seumuran?

“Mbak ini, kok, manggil saya putriku. Usia kita paling hanya beda tiga tahunan.”

Wanita berkebaya cokelat menutup mulut. Air matanya kembali mengalir. Aku menjadi serba salah. “Bawang Merah, apa yang terjadi padamu, Nak?”

Tunggu dulu! Bawang Merah? 

Ingatan tentang buku cerita yang kudekap saat kecelakaan kembali terbayang. Aku menggeleng beberapa kali. Logika tentu tidak ingin memercayai kejadian aneh ini. 

Setelan menelan ludah dan menguatkan hati, aku bangkit dari kasur dan menuju cermin di dekat jendela. Gadis belia yang baru memasuki usia remaja terpantul dari sana. Wajahnya cantik serupa wanita berkebaya cokelat tadi.

Aku pun refleks menjerit, “Tidaaak! Aku benar-benar jadi Bawang Merah!”

Ya ampun, ini benar-benar gila! 

Aku mencubit lengan berkali-kali, memastikan ini semua hanya mimpi. Sayangnya, rasa sakit membuktikan apa yang terjadi adalah kenyataan. 

“Mbah! Mbah! Tolong! Bawang Merah kenapa?” Wanita berkebaya cokelat berteriak-teriak histeris.

Pintu kamar dibuka dari luar. Lelaki tua berpakaian serba hitam masuk dengan mata merah yang melotot. Dia membawa segelas air putih dan tempat pembakaran kemenyan. Aku sampai batuk-batuk dibuatnya.

“Dia diganggu roh jahat penunggu pohon di depan rumah,” tuduh aki-aki bau tanah itu.

Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.  

Mata merah si dukun semakin melotot, membuat nyaliku seketika ciut. Tangan keriput memegang erat gelas berisi air putih. Dia juga memutar-mutar tempat pembakaran kemenyan yang berasap tebal. Bibirnya tak henti komat-kamit, kadang lirih, kadang berteriak-teriak. Jika dipikir-pikir, kakek inilah yang lebih mirip orang kesurupan.

Tubuh beraroma kemenyan itu berjalan mendekat. Aku mundur beberapa langkah. Dukun itu mendadak berhenti merapal mantra, lalu meminum air dalam gelas dan ....

Byur! 

Semburan maut dari bibir kehitaman membuat wajahku basah kuyup. Bau jigong bercampur aroma nikotin berebutan merangsek ke dalam hidung. Perut terasa diaduk-aduk. Aku langsung terduduk lemas dan muntah di lantai.

“Bawang Merah, kamu baik-baik saja, Nak?”

Ibu Bawang Merah eh ibuku di dunia ini menatap dalam dengan mata berkaca-kaca. Mbah dukun masih siaga di posisinya, siap menyemburkan lagi air mantra beraroma jigong. Aku menelan ludah.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Raka

    Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Syahril (Dharma)

    Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Ardhan (Danar)

    Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 3: Waktu Berlalu

    Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 2: Tekad Ardhan

    Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 1: Sesal

    Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status