Share

Chapter 1

“Dua es kopi susu buat Kak Desi dan Kak Ana!” seru Erin di balik kasir seraya memberikan dua gelas plastik kopi ke dua teman baristanya, Hana dan David. Erin melihat di belakang wanita yang baru saja dia layani masih ada tiga orang lainnya yang masih mengantre untuk membeli minuman. Sayangnya, ketiga orang itu bukanlah Alex. 

Erin melirik jam tangannya. Sekarang sudah hampir pukul 4 sore. Biasanya Alex datang tiap jam makan siang. Erin yang hari ini sedang shift siang sengaja masuk lebih awal supaya bisa bertemu Alex. Namun, kata karyawan kedai yang masuk shift pagi, Alex belum datang saat jam makan siang tadi. 

Erin menerka-nerka alasan Alex masih belum datang. Cuaca hujan deras sejak tadi pagi. Apa itu sebabnya Alex tidak datang hari ini?

Erin berusaha menepis kekhawatirannya dengan fokus pada pembeli berikutnya. Dengan senyum ramah, Erin menyapa pembelinya, “Selamat datang di Pi Coffee. Silakan pesanannya, Kak!”

“Saya mau teh earl grey hangat satu,” jawab si pembeli. “Sama pai apelnya satu iris, ya.”

“Oke, atas nama siapa, Kak?” Erin mencatat pesanan di gelas kertas.

“Atas nama Bayu.”

“Satu teh earl grey hangat buat Kak Bayu!” Erin memberikan gelasnya ke Hana. Setelah pembeli membayar pesanannya, Erin mengambil seiris pai dari rak pendingin untuk dihangatkan di microwave.

“Silakan tunggu pesanannya di sebelah ya, Kak,” kata Erin sebelum melayani pelanggan berikutnya.

Saat sibuk melayani, Erin melihat sahabatnya, Alya, keluar dari mobilnya yang dia parkir di seberang jalan. Dia berjalan ke kedai memakai payung.

“Wah, hujan-hujan gini tetep ramai juga,” komentar Alya saat masuk. Dia berjalan ke dapur yang ada di bagian belakang kedai untuk menaruh tas dan jaketnya lalu kembali ke konter.

“Iya, tapi dia belum datang,” jawab Erin dengan cemberut.

“Dia udah murung tuh dari tadi siang,” timpal Hana sambil membuat minuman pesanan.

“Rin, lu udah tahu dia dari kapan? Dua bulan lalu? Tapi sampai sekarang lu masih aja nggak ajak dia kenalan,” Alya kembali mengomeli Erin.

Erin menghela napas. Ini sudah kesekian kalinya sahabatnya mengomel seperti ini soal Alex. Sejak pertemuan pertama mereka pada Oktober lalu, Alex benar-benar menepati ucapannya. Kini dia mampir ke kedai hampir setiap hari untuk membeli kopi susu dan pai buatan Erin.

“Gue malah ngeri bikin dia takut karena kalau gue ajak kenalan, dia bakal tahu selama ini gue amati dia,” Erin memberikan alasannya.

“Lho, wajar, dong. Dia ‘kan hampir setiap hari ke sini. Dia pasti hapal juga sama tampang lu,” jawab Alya. “Terus selama dua bulan ini, lu stalking semua medsosnya juga, kan? Stalking doang tapi nggak ajak ngobrol padahal ketemu tiap hari. Serem banget, ih.”

“Gue nggak bermaksud begitu!” protes Erin.

“Tahu, nih. Bisanya follow doang. Kapan dinotisnya?” goda David yang sedang memberi minuman dan pai Erin yang sudah jadi ke pembeli.

“Anak magang diem aja!” seru Erin.

“Tuh, David aja setuju sama gue.” Alya tersenyum jahil sebelum mereka tos.

“Kalian kenapa sih, pada jahil semua sama gue. Mentang-mentang kalian udah pada punya pasangan semua!” keluh Erin pada mereka. Di kedai saat ini, hanya Erin yang belum punya pasangan. David si anak magang punya pacar yang satu jurusan dengannya di kampus. Hana sudah menikah. Alya punya pacar yang hubungannya sudah berjalan hampir lima tahun.

“Ngomong-ngomong soal pasangan,” Alya berkata dengan nada yang bikin semua karyawannya penasaran. “Gue bentar lagi bakal nyusul Hana, nih.”

“Maksud lu?” tanya Erin, mengernyitkan dahi.

Alya langsung memamerkan tangan kirinya. Di jari manisnya, tersemat cincin emas bermata berlian kecil yang sangat indah. “Barusan Daniel lamar gue! Gue bentar lagi mau nikah!”

“Aaaaah!!!” Erin meloncat kegirangan lalu memeluk Alya erat-erat. “Selamat, Alya!”

“Wah, selamat ya, Mbak Alya! Semoga lancar sampai hari H.” Hana juga ikut memeluk Alya. Dia sangat bahagia akhirnya atasannya sebentar lagi mengikuti jejaknya.

“Selamat ya, Mbak,” David menjabat tangan Alya. “Jangan lupa traktirannya. Hehe.”

“Makasih banyak, kalian semua,” jawab Alya terharu melihat reaksi sahabat dan rekan kerjanya yang turut berbahagia untuknya.

Erin pun mulai menangis bahagia. Dia adalah saksi hubungan Alya dan pacarnya, Daniel. Erin masih ingat momen-momen kebahagiaan Alya saat dia jadian dengan Daniel lima tahun lalu. Erin tidak menyangka akhirnya hari ini Daniel melamar Alya.

“Sebentar, gimana ceritanya kok tahu-tahu hari ini dia ngelamar Mbak Alya?” tanya Hana. Dari nada bicaranya, dia berharap Alya mau menceritakan seluruh detilnya.

“Jadi, hari ini kita janjian makan siang bareng. Nggak tahu kenapa, Daniel ajak makan siang di restoran tempat kita kencan pertama dulu,” Alya bercerita dengan senyum dan rona merah di pipinya. “Waktu makan dessert, dia minta pelayan buat taruh cincin di samping tiramisu yang gue pesan. Di piring kuenya ada tulisan ‘Will you marry me?’”

So sweet banget…” timpal Erin dan Hana bersamaan.

“Iyaa…” Alya menatap cincin pertunangan di jari manisnya dengan penuh cinta. “Simpel tapi romantis. Daniel banget, deh.”

“Kalian udah tentuin tanggalnya?” tanya Erin.

“Belum, tapi kita bakal adain acara pertunangan sebelum tahun baru nanti. Pertunangan kita bakal diresmiin sama keluarga kita sekalian tentuin tanggal pernikahan,” jawab Alya. “Nanti semua karyawan Pi Coffee datang, ya!”

Erin mulai menangis terharu mendengar kabar tersebut. Dia tahu sahabatnya dan Daniel pasti akan menikah cepat atau lambat. Erin berjanji pada dirinya sendiri dia akan melakukan apa saja untuk membantu Alya mewujudkan acara pernikahan yang sahabatnya impikan.

“Erin, gue mau ngomong sebentar sama lu.” Alya menarik Erin menuju dapur.

“Ada apa, Al?” tanya Erin.

“Khusus buat lu,” kata Alya. “Gue pesan lima loyang pai buat acara pertunangan gue, ya.”

“Siap, Al, apa pun buat lu,” Erin menyanggupi sambil menahan tangis bahagia. “Sekali lagi, selamat, ya. Gue seneng banget akhirnya Daniel lamar lu juga. Gue harap semuanya lancar dan kalian selalu langgeng.”

“Makasih buat support lu, Er,” Alya memeluk Erin. Alya jadi ikut menangis bahagia.

Setelah berpelukan, Alya berkata, “Gue harap lu bisa cepat nyusul, Er.”

“Ah, gue sih nikahnya masih lama,” tepis Erin. “Lagian gue juga masih jomblo.”

Alya tertawa mendengar elakan Erin. “‘Kan ada Alex.”

Erin mendadak jadi salah tingkah mendengar nama tersebut. “Apaan sih, Al.”

“Maksud gue, lu masih punya kesempatan. Mumpung cowok yang lu suka tiap hari mampir ke sini, kenapa nggak lu ajak kenalan aja?”

“Gue tahu…” jawab Erin dengan ragu. “Tapi kalau dia nolak gue gimana? Terus, gimana kalau habis dia nolak gue, dia nggak mau dateng ke sini lagi?”

Alya mengangkat bahu. “Ya udah, lu bisa move on. Sakit hati karena ditolak cuma lu rasain sebentar. Tapi nyesel karena nggak coba kenalan sama sekali bakal lu rasain seumur hidup.”

Erin ingin berkata sesuatu buat memprotes ucapan Alya. Namun, seperti biasanya, kata-kata sahabatnya ada benarnya. Erin hanya menghela napas sebelum kembali bekerja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status