Share

Pies of Love
Pies of Love
Penulis: Anastasia Syah

Prolog

“Terima kasih, kakak, silakan datang lagi!” kata Erin dengan ramah sambil memberikan minuman yang dipesan seorang pembeli terakhir di kafenya. Setelah pembeli itu keluar dari kedai kopi, kini kafe hanya tinggal dia dan Alya, sahabatnya sekaligus pemilik kedai kopi.

“Akhirnya, last order kelar juga,” ujar Alya sambil menghitung uang hasil penjualan hari ini di mesin kasir. Kini di kafe hanya tinggal dia dan Erin. Karyawan yang lain sudah pulang duluan setengah jam lalu. Hari ini kedai kopi tidak terlalu ramai karena hujan deras sejak tadi siang, sehingga para karyawan bisa beres-beres dan pamit duluan.

Erin membersihkan konter. “Lu ‘kan nggak perlu di sini sampai tutup,”

“Nggak apa-apa, gue nggak mau lu pulang malem sendirian.” Alya tersenyum pada Erin. “Lagian hari ini hujannya deras banget. Kita bisa pulang bareng naik mobil gue.”

Erin melihat ke luar kedai kopi. Ternyata di luar sudah gerimis. Selang beberapa menit kemudian, hujan mulai turun lagi dengan deras. “Makasih banget, Al.”

“Jadi nggak sabar sampai rumah. Kita istirahat sambil nonton drakor, yuk.”

“Gue masih harus siapin kulit pai buat besok Sabtu,” jawab Erin. Dia melihat rak pendingin di konter yang berisi kue-kue dan roti untuk camilan. Salah satunya adalah pai buatan Erin. Dia menghitung jumlah pai buatannya yang tersisa. “Kayaknya kita bisa makan pai malam ini. Masih sisa dua iris.”

“Asiiik! Bisa buat ngemil sambil nonton, nih. Yuk ah, kita pulang.”

Erin tertawa kecil mendengar antusiasme Alya. Akan tetapi, kesibukan mereka mendadak terhenti ketika mereka mendengar pintu kedai terbuka. Seorang pria masuk ke dalam kedai dalam keadaan basah kuyup. Pria itu mengenakan jaket dengan tudung menutupi kepalanya. Napasnya tersengal-sengal karena berlari kehujanan.

Sorry, coffee shopnya masih buka? Apa saya boleh berteduh di sini sebentar? Saya sedang jalan kaki ke apartemen tapi malah kehujanan.” tanya pria itu sambil di sela-sela napasnya. Erin dan Alya menyadari logat bahasa Indonesianya masih belum fasih dan tercampur oleh bahasa Inggris, seakan pria itu belum lama menghabiskan waktunya di Indonesia.

Erin tidak bisa menjawab apa-apa karena terpana dengan sosok pria itu. Dia adalah pria tertampan yang pernah Erin lihat. Dia memiliki paras blasteran dengan tulang pipi tinggi, alis tebal yang terbentuk rapi, dan mata cokelat terang. Rambut hitamnya menutupi sebagian dahinya karena lepek kehujanan . 

Dia tersenyum memelas untuk menarik simpati agar dua wanita di depannya mengizinkan dia singgah sebentar di sini. Erin makin tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya pada pria itu dengan meneruskan mengelap konter sambil menunduk malu.

Melihat Erin sangat gugup, Alya akhirnya menyambut pria itu, “Boleh, kok. Silakan pesan dulu, kak.”

“Terima kasih.” Pria itu tersenyum lagi lalu berjalan ke konter. Dia melihat daftar menu di atas konter sejenak, sama sekali tidak menyadari kegugupan Erin. Alya masih menunggu pesanan dari pria itu dengan sabar.

Dia akhirnya menyebutkan pesanannya. “Aku mau coba kopi susu hangat.” 

Alya pun memasukkan pesanannya di mesin kasir. “Mau sekalian coba makanannya, kak?”

Dia pun melihat ke rak pendingin. Sepertinya tidak ada yang menarik perhatiannya kecuali pai bluberi buatan Erin.

Dia menunjuk pai tersebut. “Painya kelihatan enak. Aku mau satu iris.”

“Erin, tolong siapin painya, ya,” kata Alya. Perasaan Erin makin tidak karuan. Di antara sekian camilan yang bisa pria ini pilih, dia malah memilih pai buatannya?

Masih diam, Erin mengambil seiris pai lalu memanaskannya di microwave. Sambil menunggu pai siap, Erin membuat kopi susu pesanan pria itu sambil terus curi-curi pandangan padanya yang sedang membayar pesanannya pada Alya.

Setelah membayar pesanan, dia duduk di bangku terdekat, menaruh tas selempangnya di atas meja lalu mengecek isinya. Dia terlihat bernapas lega karena isinya tidak basah. Erin memperhatikan tasnya ternyata berisi kamera. Di bagian depan tasnya, tertulis nama pria tersebut dalam bentuk bordir. Alex.

Alya mendekati Erin lalu berbisik, “Padahal gue tahu semua cowok yang pernah lu pacarin. Tapi gue nggak pernah liat lu sampai kayak gini di depan cowok!”

“Ssh!” Erin menengok ke arah Alex yang masih sibuk mengecek kameranya. Untungnya dia tidak mendengar ucapan Alya. “Gue nggak nyangka aja bakal ketemu cowok secakep dia hari ini.”

“Ajak ngobrol aja,” seloroh Alya. “Siapa tahu dia juga suka sama lu.”

“Jangan, ah! Kalau dia terganggu gimana?” wajah Erin kian memerah sehingga membuat Alya menahan tawa. Meskipun kesal, Erin juga sebenarnya ingin tahu lebih banyak soal Alex. Dia belum pernah melihat Alex sebelumnya di kedai ini. Apakah Alex tidak tinggal di sekitar sini dan hanya kebetulan lewat? Pertanyaan itu membuat Erin sedih sekaligus lega. Sedih karena berarti ini pertama dan terakhir kalinya dia melihat Alex. Lega karena dia tidak akan merasakan kegugupan dan kegelisahan seperti ini lagi.

Namun, kedua rasa itu belum akan berakhir dengan cepat, karena Erin masih harus mengantar pesanan Alex ke mejanya. Dia menaruh pesanannya di atas nampan lalu berjalan ke meja Alex.

Alex terlihat bahagia pesanannya sampai dengan cepat. “Terima kasih.”

Erin berusaha tersenyum lalu mencoba mengatakan sesuatu. Tidak ada yang bisa dia ungkapkan kecuali “Selamat menikmati.”

Erin kembali ke balik konter di mana Alya mengamati mereka. Alya berbisik lagi, “Kok lu nggak kenalan sama dia? Tadi kalian udah deket banget!”

“Kasihan, biarin dia makan dulu!” elak Erin.

“Rin, kalau kalian nggak ketemu lagi gimana? Nanti lu yang nyesel, lho.”

“Kalau nggak ketemu lagi, ya udah. Berarti nggak jodoh.”

Alya memutar matanya. “Duh, kok sahabat gue gampang nyerah gini, sih.”

Sambil menunggu Alex selesai makan, mereka melanjutkan beres-beres. Tanpa sepengetahuan Alya, Erin kembali curi-curi pandang ke Alex sambil membersihkan mesin espresso. Erin pun bertanya-tanya dalam hati. Erin sudah bekerja di sini sejak kedai ini buka dua tahun lalu. Pelanggan kedai ini rata-rata orang yang tinggal atau bekerja di sekitar sini. Erin sudah familiar dengan hampir semua wajah para pelanggannya. Namun, dia belum pernah melihat Alex sebelumnya. Siapakah dia?

Ketika Alex selesai makan, hujan sudak mulai agak reda. Erin melihat Alex menyeka bibirnya dengan tisu lalu mulai beranjak.

“Hujannya udah mulai reda. Aku mau jalan lagi. Makasih sudah diizinin berteduh,” Alex berkata sambil berjalan keluar.

“Iya, sama-sama, kak!” jawab Alya.

Namun, sebelum Alex membuka pintu, dia menengok ke arah Erin dan Alya sambil memberikan senyuman yang tidak akan pernah dilupakan Erin. “Oh iya, tadi pai yang kumakan enak banget. Next time aku ke sini lagi buat beli painya.”

Ucapannya membuat Erin dan Alya tercengang. Sampai Alex pergi pun, mereka masih belum percaya dengan apa yang dia ucapkan.

“Dia… dia suka pai gue…” Erin akhirnya berujar. “Dia suka pai gue!”

“Dan dia bakal balik lagi ke sini!” sahut Alya.

“Yaaay!!!” Erin dan Alya pun berpelukan sambil bersorak gembira.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status