Share

Chapter 2

Antrean pembeli sudah habis saat mendekati jam tutup. Setelah Erin memberikan minuman ke pelanggan terakhir hari ini, Erin menghela napas dengan lesu. Ia menaruh semua peralatan pembuat minuman di bak cucian lalu mengambil kain lap untuk membersihkan konter kedai sambil menggerutu. Hanya pada hari ini Erin benci kedai yang sepi karena tidak ada lagi kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dari teguran Alya tadi siang. Sudah dua bulan sejak ia mencoba kenalan dengan Alex tetapi ia tidak pernah dapat keberanian untuk melakukannya.

“Udah close order, ya?” David keluar dari belakang kedai. Dia mengenakan celemeknya untuk mulai mencuci. “Alex hari ini nggak dateng?”

Erin menggerutu lagi saat David menyebut nama itu. “Nggak.”

Seakan sadar dengan suasana hati Erin yang kurang baik, David menoleh ke arahnya dengan tatapan menghibur. “Nggak usah khawatir. Besok dia pasti dateng, kok.”

Erin tersenyum kecil pada David. “Makasih.”

Mereka membersihkan kafe dalam diam supaya bisa cepat tutup kedai. Usai mengelap konter dan mesin-mesin, Erin mengambil sapu untuk membersihkan lantai sekaligus merapikan meja dan kursi. Namun, ketika mereka hampir selesai, terdengar lonceng bel dari pintu kedai yang dibuka. Erin menoleh ke arah pintu, melihat sosok Alex berdiri lima meter di depan dirinya yang sedang menyapu.

Sorry, kafenya udah tutup, ya?” Alex bertanya dengan segan karena dia masuk ke kedai yang sudah tutup. Erin yang tidak menyangka kedatangannya malam ini hanya bisa terpaku lagi. Seluruh energinya hanya digunakan untuk menggenggam sapu agar ia tidak menjatuhkannya di depan Alex. 

David mencoba untuk merespons Alex. “Iya, kak, maaf

Alex tersenyum sambil meminta maaf sebelum menutup pintu. Namun, entah dapat keberanian dari mana, Erin tiba-tiba menyahut dengan lantang ke arahnya. “Kak! Nggak apa-apa masuk aja, kita juga baru banget close order, kok!”

“Tidak usah, maaf, ya.” Alex berbicara di balik pintu kaca kedai. “Kalian sudah bersih-bersih kafe.”

Erin melirik ke arah David dengan tatapan memohon. David menyanggupi Erin sambil tersenyum geli. “Nggak apa, kak! Silakan masuk!”

“Terima kasih. Tapi benar tidak apa-apa?” Alex menatap mereka berdua.

“Beneran nggak apa, Kak. Kakak ‘kan udah biasa ke sini.” Seketika Erin menyesali ucapannya. Ketahuan sudah selama ini dia mengamati Alex tanpa ia sadari.

Namun, Alex tampaknya senang dengan ucapan Erin sehingga akhirnya masuk ke kafe. “Kalian baik sekali.” Setiap langkahnya membuat jantung Erin berdebar makin kencang. Alex mulai memesan saat berdiri di depan kasir. “Kalau tidak merepotkan, aku mau pesan kopi susu reguler sama...” dia melirik freezer untuk melihat apakah painya Erin masih tersedia atau tidak. “Ng? Painya sisa dua iris lagi? Aku pesan dua-duanya, ya. Satunya lagi bisa aku makan untuk sarapan besok.”

“Sini, aku aja yang nyapu, Kak Erin.” David mendekati Erin lalu mengambil sapu dari tangannya. “Kak Erin buatin minum buat kakaknya aja.”

“Ah, oke,” gumam Erin sambil berjalan ke balik konter dengan tertunduk malu. Dia tidak sanggup menatap wajah Alex saat ia memproses pesanannya di mesin kasir. Alex membayar dengan non-tunai, yang membuat Erin separuh senang dan kecewa karena ia tidak bisa curi-curi sentuhan dengannya saat mereka bertukar uang tunai.

Erin mengambil lagi peralatan minuman yang sudah dibereskan untuk membuat minuman pesanan Alex. Ia berjanji akan mencuci dan mengembalikan lagi semuanya sendiri supaya David tidak telat pulang. Lagi-lagi ia mencuri pandang ke arah Alex. Alex mengenakan setelan kaus dan jaket denim sambil membawa tas kamera yang hampir selalu ia pakai setiap ke sini. Walaupun ia menunggu pesanannya dengan sabar, nanar mata dan ekspresi wajahnya terlihat lelah. Mungkin karena dia habis melakukan pemotretan foto seharian. Erin tahu karena ia melihat unggahan Alex di media sosialnya tadi sore. Erin makin tidak menyangka Alex masih menyempatkan waktu untuk mampir ke sini terlepas dari jadwalnya yang sangat sibuk.

Sambil menunggu kopi selesai diseduh di mesin, Erin mengambil irisan pai bluberi buatannya dari freezer untuk dihangatkan di microwave. Ia berusaha keras untuk tidak kelihatan goyah di depan Alex. Ia tidak paham kenapa sang gebetan masih tetap terlihat tampan walaupun sudah kerja seharian sampai lelah. Mungkin setelah ini Alex tidak bisa langsung istirahat. Erin tahu karena Alex sering aktif di media sosial saat tengah malam dengan mengunggah foto atau story dirinya sedang menyunting foto atau lagu-lagu yang ia dengarkan saat bekerja.

Erin mengambil pai buatannya setelah microwave berdenting. Semoga pai ini bisa bikin dia lebih nyaman bekerja malam ini, doanya dalam hati saat ia membungkus painya ke dalam plastik untuk digabungkan dengan kopi susu. “Silakan, Kak Alex!”

Saat Alex berjalan ke konter untuk mengambil pesanannya, ia terlihat bingung. “Kalau tidak salah, aku tidak menyebutkan namaku saat tadi memesan.”

Oh, tidak. Jantung Erin seakan-akan berhenti sesaat. Erin mencoba cari alasan supaya malam ini bukan terakhir kalinya Alex datang ke sini. “Ngg, maaf kak, kakak ‘kan sering ke sini. Kita selalu hapal orang yang langganan sama kita,” ujarnya dengan nada sesantai yang ia bisa agar Alex tidak curiga.

“Lho, kenapa minta maaf?” Alex malah terlihat sumringah. “Aku senang kalian ingat aku. Justru aku yang tidak enak hati karena ini sudah kedua kalinya aku ke sini saat sudah tutup. Kalau tidak salah, kamu juga yang lagi kerja saat itu.”

Secara refleks, Erin mengeluarkan tawa. Kalau ia tidak tertawa, ia pasti akan menangis saat itu juga karena Alex masih ingat pertemuan pertama mereka. Kira-kira apa yang dia lakukan malam itu sampai bikin Alex ingat dirinya? “Iya, Kak. Waktu itu yang bolehin kayak masuk yang punya kafe ini. Dia sahabat aku.”

“Kamu kerja dengan sahabat kamu? Hebat sekali,” puji Alex. Ia mengangkat bungkusan kopinya seraya pamit. “Anyway, terima kasih untuk kopi dan painya.”

Erin terus memandang Alex saat ia keluar dari kedai. Setelah sosoknya sudah pergi, ia tiba-tiba mendengar dehaman dari David yang daritadi menyapu. “Ciyee, yang abis dinotis gebetan.”

“David!” seru Erin sambil menahan malu. “Nggak ngajak kenalan gebetan salah, ngajak kenalan salah juga. Gimana sih?” Namun, David masih terus menggoda Erin. “Saking mesranya, gue sampe jadi nyamuk di sini.” Ia mengelus dada seakan-akan dirinya teraniaya.

“Ya maaf,” jawab Erin.

“Eh, tapi tadi kalian ‘kan nggak kenalan. Dia belum tahu nama kakak.”

Erin tidak mempermasalahkan itu. Setidaknya malam ini ia bisa mengobrol dengan Alex walaupun sebentar. Berhubung mereka pertama kali mengobrol di hari Alya bertunangan dengan pacarnya, Erin berharap ini adalah pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya. Erin pun mulai membersihkan konter kedai lagi lalu berkata pada David, “Yuk, buruan beres-beresnya biar kita cepet pulang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status