Ruangan kerja Nathaniel terasa begitu sunyi setelah kepergian Arissa. Aroma lembut parfumnya masih samar tercium, meninggalkan jejak yang menyakitkan di hati Nathaniel. Ia berdiri mematung di depan meja kerjanya, menatap amplop putih yang ditinggalkan Arissa. Amplop yang membawa keputusan yang paling tidak ingin ia terima: pengunduran diri Arissa.Tangannya terulur perlahan, menyentuh amplop itu dengan gemetar. Bagaimana bisa hanya selembar kertas mampu menghancurkan hatinya sekeras ini? Ia ingin merobeknya, ingin menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Namun kenyataannya tetap ada di sana, begitu nyata dan menyakitkan.Nathaniel menjatuhkan dirinya di kursi, rasa lelah menyerangnya secara tiba-tiba. Pikirannya dipenuhi bayangan Arissa, tatapan terluka yang diberikan wanita itu saat mengucapkan selamat tinggal.“Aku mencintaimu... tapi aku tidak bisa berada di dekat seseorang yang meragukan ketulusanku.”Kata-kata itu menggema di kepalanya, memukul hatinya dengan keras. Arissa menc
Angin sore yang sejuk bertiup pelan di halaman kecil klinik tempat Arissa bekerja. Daun-daun berguguran, menyebar di atas jalan setapak yang menuju pintu masuk. Arissa berdiri di depan jendela ruangannya, memandang kosong ke luar. Sekilas, ia tampak tenang dan damai, namun jauh di dalam hatinya, gelombang emosi terus berkecamuk tanpa henti.Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia meninggalkan pekerjaan sebagai terapis pribadi Nathaniel. Ia kembali ke kehidupannya yang sederhana di klinik ini, tempat di mana ia merasa nyaman dan aman. Namun, meski ia berusaha keras melanjutkan hidup seperti biasa, bayang-bayang masa lalu terus membayanginya.Arissa menghela napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang terasa sesak. Ia mengalihkan pandangannya ke tumpukan berkas pasien yang menanti untuk diperiksa. Dengan berat hati, ia berusaha memfokuskan pikirannya pada pekerjaannya saat ini. Namun, setiap kali ia mencoba melarikan diri dari pikirannya sendiri, bayangan
Nathaniel duduk di ruang kerjanya dengan wajah yang tertekan, berusaha memahami apa yang baru saja ia temukan. Ponselnya masih tergeletak di meja, menampilkan rincian dari penyelidikan yang ia lakukan selama beberapa hari terakhir. Ia tidak bisa lagi menutup mata dari kenyataan bahwa selama ini ia telah dibohongi. Selama ini, ia telah membuat kesalahan besar dengan meragukan orang yang paling tulus dalam hidupnya.Segalanya bermula ketika Nathaniel merasa ada yang aneh dengan laporan-laporan yang diterimanya tentang Arissa. Laporan-laporan itu menunjukkan bahwa Arissa tidak profesional, bahwa ia mungkin memiliki agenda tersembunyi dalam bekerja dengannya. Tapi sesuatu di dalam diri Nathaniel merasakan ketidakberesan dalam semua itu. Ketika ia memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam, ia akhirnya menemukan apa yang selama ini tersembunyi.Dengan bantuan dari beberapa orang terpercaya, Nathaniel menggali lebih jauh. Ia memeriksa data internal, percakapan yang tersimpan d
Arissa duduk di meja kerjanya di klinik, matanya fokus pada tumpukan berkas yang harus diselesaikan. Hari-hari berjalan dengan cepat, dan meskipun ia merasa lebih tenang dibandingkan beberapa waktu lalu, ada sesuatu dalam dirinya yang terus mengganjal. Pekerjaan menjadi pelarian terbaik baginya, tapi ia tidak bisa menepis perasaan hampa yang terkadang muncul di tengah kesibukannya.Setiap kali seseorang berbicara tentang hubungan atau perasaan, hatinya terasa berat. Seakan-akan, ada sesuatu yang menahannya untuk benar-benar membuka diri kepada orang lain. Tidak ada satu pun yang tahu betapa dalam luka yang masih ia simpan, betapa ketakutan akan pengkhianatan yang terus membayanginya.Namun, meskipun ia berusaha keras untuk menekan perasaan itu, teman-temannya mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda pada Arissa. Lila, sahabat baiknya, adalah salah satu yang pertama kali merasakannya. Lila sudah lama mengenal Arissa, dan ia tahu betul bahwa ada sesuatu yang tidak
Arissa duduk di kamar tidurnya, menatap kosong ke luar jendela. Cahaya senja yang redup mengalir melalui tirai jendela, menerangi wajahnya dengan lembut. Tetapi meskipun pencahayaan itu menenangkan, bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya, menyelimutinya dengan kenangan yang sulit dilupakan. Saat itu, ia tidak sedang berada di klinik atau bersama teman-temannya. Ia sedang merenung, memikirkan kehidupan yang pernah ia jalani, dan bagaimana semuanya berubah begitu drastis dalam sekejap.Flashback itu datang tanpa diundang, kembali menghidupkan kenangan pahit yang seharusnya telah lama terlupakan. Arissa masih ingat betul bagaimana kehidupannya yang sebelumnya damai dan penuh kemewahan, hancur dalam sekejap mata.Dulu, keluarganya adalah keluarga yang dihormati dan sangat dihargai di kota. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, memiliki banyak perusahaan yang beroperasi di berbagai sektor. Ibunya adalah wanita yang sangat elegan, selalu tampil dengan sempurna, menjadi pus
Nathaniel duduk di kursi kantornya yang besar, tangan terlipat di atas meja, menatap layar komputer yang berisi laporan-laporan bisnis yang tak kunjung selesai. Meski fisiknya berada di sana, pikirannya jauh. Tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian atau memberikan rasa kepuasan yang biasa ia rasakan ketika fokus pada pekerjaan. Segala sesuatu terasa kosong.Selama bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia yang dipenuhi kesuksesan dan kekuasaan, tempat di mana segalanya seharusnya bisa dibeli dengan uang dan pengaruh. Namun, sejak Arissa pergi, segala sesuatu tampak hampa. Kehidupannya yang dulunya padat dengan berbagai aktivitas, kini terasa seperti rutinitas yang tidak berarti. Meskipun ia mencoba untuk membenamkan dirinya dalam pekerjaan, hatinya terus tergerus oleh kekosongan yang semakin terasa setiap harinya.Nathaniel meremas ujung jari-jarinya, berusaha menenangkan diri. Pekerjaan memang bisa mengalihkan sebagian besar pikirannya, tetapi tidak bisa mengusir perasaa
Suasana acara sosial itu penuh dengan kegembiraan dan canda tawa, tetapi bagi Nathaniel, semuanya terasa jauh. Ia berdiri di sudut ruang, memegang gelas anggur yang sudah hampir habis, sementara matanya berkeliling, menatap orang-orang yang tampak terlibat dalam percakapan yang riuh. Di tengah keramaian itu, hatinya tetap terperangkap dalam kehampaan yang sama, perasaan bersalah yang tak kunjung hilang setelah kepergian Arissa.Nathaniel tidak tahu bagaimana ia bisa terjebak dalam acara seperti ini. Biasanya, ia akan sangat menikmati kesempatan untuk bertemu dengan kolega dan orang-orang penting, tetapi kali ini, ia merasa asing di tengah kerumunan. Setiap percakapan yang terjadi di sekitarnya terdengar bising dan tak berarti. Pikirannya terus kembali pada Arissa, pada segala yang telah terjadi, dan pada rasa sakit yang ia rasakan setelah mengusir wanita yang sebenarnya begitu berarti baginya.Di tengah keramaian itu, matanya tertumbuk pada seseorang yang tidak ia duga
Pagi itu, Nathaniel berdiri di luar klinik Arissa, matanya menatap pintu kaca yang tertutup rapat. Udara pagi yang segar terasa tak berarti di sekitarnya, seolah segala sesuatu di dunia ini menjadi kabur. Dalam beberapa minggu terakhir, ia telah berusaha sekuat tenaga untuk menebus kesalahan yang ia perbuat terhadap Arissa, dan kini, untuk pertama kalinya, ia berdiri di depan pintu tempat wanita itu bekerja, berharap mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengannya.Namun, meskipun hatinya penuh dengan niat baik, Nathaniel merasa ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk masuk. Rasa bersalah yang mendalam masih membebani langkahnya, dan ketidakpastian akan bagaimana Arissa akan menerima kehadirannya semakin membuatnya ragu.Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah mendekat ke meja resepsionis di depan pintu klinik. Seorang resepsionis yang ramah menyapanya, tetapi ada keraguan dalam matanya ketika ia menyadari siapa yang berdiri di sana. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Tua
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa