Share

Benar-benar Tidak Punya Aturan

Winda cewe yang sangat lembut. Cewe Jawa yang tentunya menjunjung tinggi arti kesucian. Pasti juga banyak cowo yang jatuh cinta pada Winda. Termasuk, Beryl pun mungkin menyukainya. Wajah melankolis penuh keibuan. Bukankah itu sangat menggoda para lelaki? Di tambah lagi, mata Winda yang jernih.

Ernasari berusaha mengusir bayang-bayang Winda. Namun, sejauh ini belum berhasil. Mata Winda seperti terus mengejarnya. Menghantui pikirannya. Mata Winda seakan menghakimi Ernasari. Mata yang menyalahkan Ernasari. Bagaimana tidak, selama kegiatan ospek, Winda yang menjaganya saat pingsan. Dan, sekarang Ernasari dikenai rasa bersalah telah merampas Beryl dari Winda. Ernasari bisa merasakan sakit di hati Winda.

Ernasari menggelengkan kepalanya. Merapikan kembali rambutnya yang berserakan di kening. Ernasari bisa merasakan kalau Winda itu sangat baik. Tapi, Ernasari juga menyimpan pertanyaan, mengapa Winda selalu baik?

Apa karena Winda itu cewe Jawa? Apa karena Winda itu memiliki karakter lembut? Dengan karakter yang dimilikinya pasti banyak cowo yang respek padanya. Apa mungkin Winda ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya sempurna? Sedang, Ernasari hanya cewe liar yang tak punya aturan?

Mungkin juga Winda baik karena khawatir Ernasari akan merebut pacarnya. Tapi, tiba-tiba Ernasari ingat kalau Winda itu baik padanya sebelum Ernasari kenal dengan Beryl. Yah, sebelum Ernasari mengenal Beryl. Berbagai pikiran berkecamuk di diri Ernasari.

Maka, Ernasari punya pikiran yang lain. Bahwa semua kebaikan Winda itu punya tujuan untuk memperlihatkan kesempurnaan pribadinya sebagai cewe yang lembut, suci, melankolis, dan bersifat keibuan.

Ernasari, kemudian membandingkan dengan dirinya. Dirinya siapa? Dirinya hanya seorang cewe liar yang tak punya aturan. Cewe berhati culas dan judes. Cewe kotor, yang penuh noda, dan sangat jahat. Dirinya hanya cewe berhati kejam. Ernasari merasa dirinya tak punya arti jika harus dibandingkan dengan Winda.

Ernasari bisa masuk kampus Unair karena menggunakan dana sogok. Mengambil jurusan sastra, tapi sesungguhnya nol terhadap sastra. Lingkungan pergaulannya lebih banyak dengan cowo-cowo norak non kuliahan. Kebanyakan teman pergaulannya adalah anak-anak drop out.

Winda itu aktivis mahasiswa yang punya nama. Hampir seluruh mahasiswa mengenalnya. Dosen pun juga mengenalnya. Mulai dari dosen biasa hingga rektor . Lalu, bagaimana jika dibandingkan dengan dirinya?

Ernasari masih berdiri di teras rumahnya. Dia memandang bunga-bunga di halaman yang sedang mekar. Ernasari masih tegak berdiri dengan membiarkan pikirannya terus mengembara. Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada tumbuhan anggur yang menjalar di sepanjang tiang.

Ernasari kemudian memperhatikan jari-jari tangannya. Jari-jari tangan dengan kukunya yang berwarna merah menyala. Kukunya yang selalu dicat. Ernasari kemudian membandingkannya dengan kuku Winda yang putih, bersih, tanpa dipoles cat kuku, namun tetap menarik. Winda memang simbol cewe dengan budi pekerti yang sangat halus dan lembut.

Ernasari berpikir, mengapa Winda bisa menjadi cewe yang selembut itu? Juga menjadi cewe yang tetap bisa menjaga kesuciannya sebagai seorang wanita. Cewe semacam Winda pastinya memperoleh jodoh laki-laki yang suci pula.

Seorang lelaki yang berhati tulus. Yang memiliki cinta kasih yang suci. Lelaki seperti itu yang cocok untuk mendampingi hidup Winda. Dan, lelaki yang cocok itu hanya Beryl. Lelaki yang tak kan pernah menduakan hati dan cintanya pada perempuan lain. Tentunya, Beryl juga mencari seorang perempuan yang memiliki karakter keibuan.

Beryl pasti lebih mengabaikan kalau dirinya lebih mengenal Ernasari. Pasti Beryl lebih memilih Winda. Pastilah setiap burung, akan lebih suka hinggap di dahan dan ranting yang dirasanya lebih cocok. Yang lebih nyaman buat dirinya.

Ernasari menghembuskan nafas panjangnya. Lalu dia melangkah menuju kamarnya. Ernasari masih berdiri di depan jendela kamarnya. Ernasari tiba-tiba jadi ingat, dirinya telah berjanji pada teman-temannya. Berjanji untuk datang dan berkumpul dengan teman-teman pergaulannya.

Ernasari berganti pakaian. Dan, tak lama kemudian dia sudah meluncur di jalan raya dengan mengendarai motor beatnya. Angin yang berhembus menerpa wajah dan mengibaskan rambutnya.

Seperti siang sebelumnya, siang seperti itu, Winda pasti ada di gedung perpustakaan. Ernasari bermaksud ke sana. Dan, memang benar, Winda tengah merenungi buku yang ada di depannya.

Di pintu perpustakaan, Ernasari telah menyunggingkan sebuah senyum. Di dalam hati, Winda menggerutu begitu melihat kedatangan Ernasari. Ernasari mengambil posisi duduk di dekat Winda.

“Mbak, ayok jalan-jalan lagi,” ajak Ernasari.

“Maaf, Dik Erna. Aku harus belajar.”

“Mbak Winda pasti alasannya seperti itu. Mengapa setiap kali aku ajak selalu menolak?”

Winda hanya diam.

“Ayok, Mbak, kita jalan-jalan. Hanya berdua kok.”

Winda masih tetap diam.

“Mbak Winda mengapa sih, jadi berubah sama aku?”

“Kapan aku berubah. Aku tidak pernah berubah,” kata Winda dengan malas.

“Itu, buktinya setiap kali aku ajak selalu menolak.”

Winda tambah mengeluh di dalam hati.

"Aku salah apa sama Mbak Winda?” Tanya Ernasari.

Winda membolak-balikkan halaman buku yang ada di depannya.

“Mbak Winda sekarang seperti membenciku,” kata Ernasari.

Nafas Winda mendadak terasa sesak. Apa lagi katika Ernasari terus memaksanya. Menggoyang-goyangkan tangan Winda dan mengajaknya pergi.

“Ayok, Mbak!”

“Dua hari lagi aku ada ujian, Dik.”

“Itu sangat kebetulan, Mbak. Hitung-hitung buat menyegarkan pikiran Mbak Winda. Agar nanti saat ujian pikirannya menjadi tenang.”

Winda seperti menimbang-nimbang dan berpikir.

“Ayolah, Mbak! Tak baik menolak terus.”

“Mengapa? Karena memang aku mau ujian.”

Dada Winda kembali terasa sesak. Bahkan sesaknya kian menghimpit.

“Banyak teman-teman yang bilang, aku telah merebut cowo Mbak Winda.”

“Merebut?”

“Pada hal aku tidak pernah merasa merebut cowo Mbak Winda. Atau menurut Mbak Winda, aku memang telah merebut cowo Mbak Winda?” mata Ernasari menatap lekat Winda, membuat Winda jadi tambah membencinya.

“Apa benar Mbak?” Ernasari mengulang kembali pertanyaannya.

Winda mencoba tersenyum, meskipun terasa sumbang.

“Memangnya siapa yang bilang?”

“Banyaklah, Mbak. Dibilang begitu, hatiku jadi sakit. Banyak yang memvonisku telah menyakiti hati Mbak Winda. Sedang aku tak merasa seperti yang mereka tuduhkan. Aku tak pernah tahu kalau Mas Beryl itu cowo Mbak Winda. Kalau memang ia, aku lebih baik mundur, Mbak,”

Winda hanya mengeluh di dalam hati.

“Apa yang dibilang teman-teman itu benar, Mbak?”

Winda menggeleng.

“Benar, tidak, Mbak?”

Ernasari melepaskan nafasnya dengan lega.

“Syukurlah, Mbak, kalau begitu.” Kata Ernasari penuh kemenangan.

Winda juga melepaskan nafasnya, meskipun bukan nafas lega. Hanya sebuah kemurungan yang harus selalu terpendam.

“Kalau begitu kita jalan-jalan ya, Mbak. Biar teman-teman yang melihat tidak lagi menganggapku merebut Mas Beryl dari Mbak Winda.”

“Mau jalan-jalan kemana?” Tanya Winda lesu.

Ernasari tersenyum.

“Di sekitaran kampus juga gak apa-apa, Mbak.”

Pelan-pelan Winda mengemasi buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tas. Ernasari masih terus tersenyum. Kemudian, cewe itu menggandeng tangan Winda dan segera mengajaknya meninggalkan perpustakaan.

“Kita ke vilaku saja ya, Mbak?”

Mereka kini telah melaju di jalanan yang menanjak. Di sepanjang jalan dihiasai rindangnya pepohonan.

Semakin mendekati vila terdengar hingar-bingar suara musik.

“Mengapa ada suara ramai, juga suara musik?” Tanya Winda.

“Karena teman-temanku yang lain sedang berkumpul juga di sini, Mbak.” Jawab Ernasari santai.

Mereka melangkah pelan-pelan. Sebenarnya telinga Winda merasa sakit mendengar suara musik yang begitu keras.

“Kita masuk ya, mbak? Kita temui mereka.” Ajak Ernasari.

Winda hanya bisa mengangguk.

“Hai, Erna!” seorang cowo dengan rambut gondrong bangkit dari tempat duduknya.

“Hai, juga!”

Winda mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Mereka anak-anak muda, teman-temannya Ernasari, sangat tak punya aturan. Duduk dengan seenaknya, cewe dan cowo. Bahkan banyak juga yang tiduran di lantai.

“Sudah lama kami menunggu. Ini siapa?”

“Ini, Mbak Winda. Perkenalkan, Mbak, ini Yanyan.”

Winda hanya mengangguk. Kemudian dengan sopan dia mengangguk lagi pada yang lain. Kepala Winda merasa pening mendengar suara keras musik di ruangan itu. Mereka teman-teman Winda berjoget semaunya.

“Betapa sangat bebasnya mereka, cewe-cowo saling berpelukan tanpa ada rasa canggung. Bahkan ada juga yang saling bergumul di lantai,” pikir Winda.

Berkali-kali Winda melirik Ernasari. Winda berharap Ernasari segera mengajaknya pergi dari vila itu. Namun, Ernasari sudah terlibat kegembiraan dengan teman-temannya yang lain. Tak mungkin juga Winda mengajaknya pergi lebih dulu.

Udara yang ada di vila itu semakin terasa sejuk. Suara musik di ruangan itu masih tetap hingar-bingar. Asap rokok juga mengepul memenuhi ruangan itu. Kesejukan itu, akhirnya seperti jadi hilang. Ruangan berubah jadi pengap.

“Orang-orang aneh,” pikir Winda.

Winda ingin sekali keluar dari ruangan itu. Namun, Yanyan terus mengajak ngobrol.

Ernasari kini justru entah kemana. Tak bisa dilihat lagi. Yanyan menangkap keresahan yang menyelimuti wajah Winda. Wajah yang menurut Yanyan sangat halus dan begitu menggairahkan. Yanyan tersenyum-senyum menatap wajah Winda sambil terus menghisap rokoknya.

Winda merasakan seluruh kerongkongannya kering. Dia haus. Terlihat seorang cewe menyodorkan minuman pada Winda. Winda langsung meminumnya.

Rombongan teman-teman Ernasari masih asyik menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama musik yang ada. Tingkah teman-teman Ernasari tampak seperti orang gila. Kepala Winda jadi tambah pening. Urat-uratnya menjadi tegang.

Winda ingin keluar. Setidaknya tidak melihat langsung aksi gila mereka. Perasaan Winda sangat benci pada sikap mereka yang sangat urakan sekali. Perasaan Winda berubah menjadi tidak karuan. Perasaan yang sebelumnya tak pernah dialaminya. Kepalanya pening, perasaannya runyam. Kelopak matanya juga berubah menjadi berat. Tubuh Winda seperti terasa layu. Jaringan tubuhnya terasa lunglai.

Bersambung

Ternyata seperti itu kehidupan Ernasari. Benar-benar penuh keliaran dan tak punya aturan. Dan, Winda terlanjur dibawanya ke villa itu. Apa yang selanjutnya akan dialami Winda?

Reader setia, jangan pernah beranjak dari Playboy Kampus. Kasih subscribe, vote, dan review. Kutunggu juga hadiahnya, ya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status